UNRAM SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN BUKAN LEMBAGA POLITIK

*Unram sebagai Lembaga Pendidikan, bukan Lembaga Politik*

Oleh: H. Nuriadi Sayip *)

Menjelang pemilihan rektor Unram, pemberitaan media dan diskusi panjang tentang berbagai hal terkait institusi perguruan tinggi terbesar di NTB ini kian memanas. Unram menjadi trending topic yang menarik untuk dibincangkan bagi publik. Ini tentu menjadikan suasana tambah hangat, bahkan terkesan gaduh. Ruang-ruang media sosial cukup terwarnai oleh suksesi pemilihan rektor tersebut. Lembaga perguruan tinggi yang harusnya menjadi lembaga akademik atau Lembaga Pendidikan, kini serasa menjadi lembaga politik dari segi pemberitaan. Sosok yang kelak akan menjadi rektor atau pemimpin tertinggi lembaga ini seakan-akan menjadi pejabat publik-politik layaknya seperti seorang gubernur ataupun bupati, sehingga proses pemilihannya, dari sisi pemberitaan, haruslah sama. 

Hal ini menandai bahwa, pertama, Unram benar-benar menjadi lembaga pendidikan tinggi negeri yang sudah sangat besar dan berpengaruh di tingkat lokal maupun nasional dan, kedua, masyarakat luas (publik) memiliki perhatian besar dan kecintaan pada perguruan tinggi ini sebagai idolanya. Meskipun demikian, lembaga ini serta segenap akademikanya tidak perlu panik  sebagaimana yang saya sebutkan pada artikel sebelumnya. Lembaga ini harus menatap dinamika politik dan pemberitaan ini sebagai sebuah fase di dalam memperkuat “jati dirinya” sebagai lembaga perguruan tinggi yang besar, maju, dan berpengaruh. Dengan ini, Unram harus semakin unjuk kemampuannya di dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi-nya, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian sebagai roh, akar, batang, cabang, dan ranting lembaganya, yang kemudian hasil atau buahnya bisa dinikmati oleh masyarakat luas.

Berdasarkan tupoksinya sebagai lembaga yang menjalankan Tri Dharma itu, Unram jelas-jelas merupakan lembaga pendidikan, bukan lembaga politik an sich yang proses pemilihannya memenuhi jalur politik sesuai regulasi atau peraturan perundang-undangan pemilu atau pilkada. Jika pun mekanisme pemilihan pimpinannya ini melalui tahapan politis yang masih meniti proses demokratisasi di dalamnya, namun lembaga ini tetaplah berpangkal tolak pada posisinya sebagai lembaga pendidikan dengan Tri Dharma sebagai penciri utamanya. Dengan kata lain, sebagai konsekuensinya, tahapan politis itu seyogyanya menjadi proses yang wajar yang lebih mengedepankan integritas dan kualifikasi kandidat daripada hiruk pikuk pemberitaan yang saling menegasikan satu dengan yang lain. Dalam pandangan masyarakat luas, tampilan hiruk pikuk politis-lah menjadi lebih tampak, bukanlah  prestasi dan pencapaian Unram yang sudah digapai. Dalam konteks ini, adalah integritas dan etika menjadi obor utama dalam proses demokratisasi internalnya. Selain itu, adalah visi-misi para kandidatlah yang dikedepankan dan bisa terbaca oleh publik, bukan sebaliknya suasana gaduh yang cenderung mendegradasi eksistensi Unram sebagai lembaga perguruan tinggi besar. 

Mungkin ke depan, lembaga perguruan tinggi di Indonesia, khususnya Unram, patut meniru apa yang terjadi di negara-negara Barat, khususnya di Amerika. Bahwa posisi rektor itu bukanlah hal yang menjadi posisi yang paling bona fide. Akibatnya, posisi itu bukanlah menjadi posisi yang dikontestasikan sedemikian kencangnya secara politis. Justru yang di kedepankan di sana adalah keahlian, hasil riset, dan penemuan. Seorang akademisi diposisikan sangat terhormat apabila mempunyai karya, teori dan hasil riset ataupun penemuan yang berdampak luas, tidak hanya di masyarakat sekitarnya tetapi juga di masyarakat dunia. Perguruan tinggi di sana akan sangat terbuka mengundang dan menghadirkan akademisi atau orang luar untuk diberikan panggung dan melakukan riset bersama dengannya. Sebagai implikasi dari paradigm ini, jabatan politik kampus seperti rektor atau dekan bukanlah menjadi ajang “pursuit of happiness” atau ajang pencapaian yang utama. Memang betul, di Indonesia kebijakannya sudah mulai bergeser ke arah sana sehingga jabatan-jabatan di kampus itu disebut sebagai “tugas tambahan”, akan tetapi paradigma di masyarakat tidaklah demikian. Masih saja dipandang sebagai jabatan di kampus sebagai posisi yang mentereng dan dikejar-kejar hingga melampaui nalar keumuman. Jabatan itu laksana satu-satunya sumber eksistensi diri atau sebagai puncak aktualisasi diri paling utama sebagai akademisi. Padahal tidaklah demikian. 

Di Amerika, contohnya di Universitas Harvard, jabatan rektor dicari dan dipilih oleh panitia seleksi yang berjumlah 15 orang dengan kualifikasi dan integritas tak terbantahkan yang menyeleksi calon rektor secara terbuka dari berbagai asal. Proses pemilihannya itu pun melibatkan mahasiswa dan alumni serta tokoh masyarakat di dalam memberi masukan nama-nama kandidat rektor. Panitia menyebarkan secara massif angket terkait hal itu, lalu kemudian dipilih melalui proses yang ketat dan bertahap. Dalam proses penjaringan ini, para calon itu pun ditelisik latar belakang keilmuan, rekam jejaknya, karya-karyanya, jejaringnya, serta visi misinya di dalam membangun lembaga perguruan tinggi itu. Panitia seleksi pun berkali-kali berkonsultasi dengan dewan pengawas dan Harvard Corporation dalam rangka membahas sisi rekam jejak integritas dan etika sang calon. Dalam pembahasan ini, jika pun sang calon sudah memenuhi syarat rekam jejaknya yang bagus, berikutnya yang mereka diskusikan secara intensif adalah visi-misi sang calon. Visi misi mana yang lebih jelas dan cocok dengan Piagam Harvard tahun 1620, serta yang selaras dengan tantangan zaman. Demikianlah sedemikian ketat dan panjang proses itu. Namun hasilnya, rektor terpilih Universitas Harvard sangat berterima dan tidak menimbulkan gaduh setelahnya. Hasilnya, kita tahu semua, Universitas Harvard tetap menjadi salah satu perguruan tinggi paling terkemuka di dunia hingga saat ini.

Sistem dan mekanisme yang dilakukan Universitas Harvard tentu tidak harus sama untuk diadopsi di Indonesia khususnya di Unram. Tidak demikian yang dimaksud. Akan tetapi, hal yang menjadi catatan kita bahwa betapa proses itu dilakukan dalam rangka untuk menunjukkan Universitas Harvard sebagai lembaga pendidikan yang senantiasa mengedepankan etika dan integritas serta menitikberatkan pada rekam kinerja meritokratis. Dalam konteks ini, Unram pasti bisa dan harus bisa. Karena lembaga ini sudah menjadi perguruan tinggi yang maju serta diisi oleh dosen-dosen yang mumpuni. 

Selamat datang para bakal calon rektor Unram.
Selamat mendaftar. Harapan kami sebagai warga Unram dan masyarakat, marilah kedepankan semangat, visi misi, serta prosedur mekanisme yang patut elegan sehingga bisa menjadi contoh serta tauladan bagi masyarakat luas. Pantaskanlah kehadiran Saudara dalam kontestasi ini sebagai “pepadu” untuk selalu menjaga marwah Unram. Semoga Saudara yang terpilih kelak murni karena rekam jejak dan kualifikasi yang hebat serta dinilai cocok di dalam memajukan lembaga, NTB, dan Indonesia. Ingatlah, arahkan pemikiran Saudara bahwa kini dan ke depan Unram akan selalu bertitik tolak pada tiga aras pemajuan: sebagai lembaga yang beraras dengan kebijakan pembanguan Propinsi NTB, sebagai lembaga yang beraras dengan arah kebijakan pemerintah pusat, dan sebagai lembaga yang diakui dunia internasional. Sekian!

Mataram, 7 Nopember 2025

*) Penulis adalah guru besar sastra dan budaya FKIP Unram
UNRAM SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN BUKAN LEMBAGA POLITIK UNRAM SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN BUKAN LEMBAGA POLITIK Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on November 09, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.