SEKILAS ASAL-USUL TERJADINYA PERNIKAHAN "MELAIQ" DI SASAK

*SEKILAS ASAL-USUL TERJADINYA PERNIKAHAN "MELAIQ" DI SASAK*

Oleh: H. Nuriadi Sayip *)

Akhir-akhir ini, perbincangan tentang model pernikahan khas masyarakat Sasak yang dikenal dengan istilah "Merariq" atau "Melaiq" tengah mencuat di masyarakat, yang mulanya dipicu oleh peristiwa  pernikahan dini (yang disebut dalam bahasa Sasak dengan "Merariq Kodeq") di salah satu tempat di Kabupaten Lombok Tengah. Peristiwa ini sangat viral di media terutama di media sosial di hampir semua platform. Hal ini tentu memicu keprihatinan, dan semua pihak yang terkait termasuk sejumlah tokoh agama dan adat turun tangan memberi pemikirannya, yang sebagian besar cenderung "mengkritisi" atas kejadian tersebut. 

Menurut mereka, sejauh pantauan saya, peristiwa ini terjadi disebabkan, salah satunya, oleh tradisi pernikahan Sasak yang disebut "melaiq" itu. Melaiq atau "merariq", harus diakui, sudah menjadi tradisi, custom, atau budaya di masyarakat Sasak. Dikatakan demikian karena ia telah masuk ke dalam mentalitas atau perangkat pengetahuan masyarakat Sasak yang tumbuh berkembang secara alamiah di dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Pada saat yang sama, model pernikahan ini sudah melembaga sebagai "adat" yang di dalam prosesinya terdapat serangkaian tahap adat serta awig-awig, aturan sosial yang bersifat konsensus dan konvensional, yang harus dijalankan oleh kedua mempelai dan keluarganya sehingga dipandang "syah" di mata masyarakat Sasak. Meskipun demikian, terlepas dari adanya sistem dan awig-awig tersebut, tidak sedikit para tokoh berpandangan bahwa pernikahan dini bisa terus terjadi sebagai isu sosial di Sasak disebabkan oleh model pernikahan "melaiq" ini. Hal ini terjadi karena menikah ala "melaiq" ini masih memberikan "ruang bebas" kepada kedua calon mempelai disebabkan tidak adanya persetujuan atai ijin dari orang tua terutama orang tua calon pengantin wanita. Lalu, dengan adanya ruang bebas tersebut menjadikan rentannya keharusan terjadinya pernikahan atas dasar dorongan emosi dan romantisme cinta tanpa mempertimbangkan umur dan kesiapan mental serta material dari kedua belah pihak. Akibatnya, pernikahan ini benar-benar dipertanyakan relevansi eksistensinya sekarang ini, apakah sebaiknya ditinggalkan atau terus dibiarkan hidup seperti sedia kala.

Sembari mengikuti diskursus yang begitu kencangnya ini, saya malah mencoba berpikir mengapa pernikahan dini ala Sasak yang disebut "Melaiq" ini terjadi? Apa penyebab utamanya sehingga pernikahan ini dilembagakan secara adat dan berlangsung lama? Pertanyaan-pertsnyaan semacam ini tiba-tiba muncul di pikiran saya, yang tentu memaksa saya harus menjawabnya sendiri. 

Setelah sekian lama saya berpikir untuk mencari-cari jawaban yang sangat logis dan berterima dengan eksistensi masyarakat Sasak, akhirnya saya bisa mengambil sebuah inferensi atau jawaban sementara mengapa "melaiq" ini terjadi dan berkembang di masyarakat Sasak sebagai sebuah adat. Tentu, harus diakui awal, jawaban atau pemikiran saya terkait ini tidak selamanya benar dan butuh pengkajian lebih mendalam lagi.

Jawabannya adalah ini terjadi karena faktor historis pada masa lalu. (Definisi historis di sini tidak dipahami secara ketat dalam kajian sejarah). Sebagaimana kita sudah ketahui bersama bahwa secara historis-sosiologis masyarakat Sasak merupakan "asimilasi" dari bangsa pendatang dari daerah lain dan sudah berlangsung lama. Pun, pada saat yang sama, mereka semua membentuk komunitas dan enklav di daerah-daerah di Pulau Lombok, yang kemudian membentuk sistem kekuasaan berupa "kerajaan kecil" yang dikenal selanjutnnya sebagai kedatuan. Model komunitas ini pun merata dan tumbuh berlembang di setiap pelosok Lombok, yang kemudian kedatuan-kedatuan ini melakukan komunikasi antar kedatuan bahkan ada pula yang saling mengalahkan dan/atau saling menguasai satu dengan lainnya sehingga muncullah kemudian kerajaan-kerajaan yang lebih besar sebagai kerajaan induk seperti kerajaan Selaparang, Kerajaan Pejanggik, kerajaan Siledendeng, Kerajaan Langko, kerajaan Sokong, kerajaan Pujut, kerajaan Bayan, dan alin sebagainya. Sebagai catatan, peristiwa pembentukan kedatuan ini secara umum dinarasikan di Babad Lombok. Model peristiwa ini terus berlanjut hingga pengaruh Jawa dan okupasi kerajaan Karangasem berkuasa.menguasai Lombok. 

Apa dampak dari peristiwa ini? Dampaknya adalah bahwa, pertama-tama, setiap kerajaan memiliki batas kekuasaan yang tentu rasa nativistik dan etnosentristik yang dilanggamkan oleh penguasa kedatuan. Fakta ini menjadikan bahasa Sasak mempunyai dialek dan kosa kata yang berbeda-beda di setiap daerah atau desa. Berikutnya, tentu setiap daerah kedatuan mempunyai harkat trah kekuasaan yang menjadikannya sangat menjaga diri dan melakukan kontak politik dan budaya dengan kedatuan lain dalam konteks formal. Artinya, secara lebih konkrit, mereka tetap melakukan komunikasi dan kerja sama namun dalam tataran pengawasan yang ketat. Akibatnya identitas asal.muasal mereka sangatlah dijaga. Lalu apabila terjadi pernikahan antar kedatuan, maka akan lebih mudah diselesaikan setelah  membawa lari anak gadis atau putri dari kedatuan lain tanpa sepengetahuan keluarganya ketimbang pernikahan model melamar dilakukan. Sebagai langkah lanjutan pernikahan model "melaiq" ini, pihak keluarga mempelai laki-laki dari kedatuan berbeda akan mengirim utusan berupa tokoh masyarakat atau punggawa kedatuan lengkap dengan lambang kebesaran kedatuan untuk datang ke keluarga mempelai perempuan ke kedatuan lain dengan maksud untuk memberi tahu keberadaan dan keselamatan sang putri selain menyampaikan niat pernikahan serta kerja sama kedatuan yang lain setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan ini kemudian bisa diterima dan dilamsgungkan setelah adanya "win-win solution" di antara kedua belah pihak. Maka, tidaklah heran adanya istilah "nyelabar", "masejati", "perabaq pucuk" dan "bait wali" muncul sebagai prosesi awal sebelum acara akad nikah, "begawe" (pesta), sorong serah aji krama, "nyongkolan-mendakin" serta "bejango" ataupun "bales ones nae" dilangsungkan setelahnya. Jadi, singkatnya, pernikahan "melaiq" ini terjadi dikarenakan munculnya sekian banyak kedatuan yang mempunyai batas wilayah kekuasaan serta sangat mengetatkan terjadinya pernikahan antar kedatuan, sehingga jika pun terjadinya pernikahan antar kedatuan maka model melaiq-lah yang dipakai dengan selanjutnya prosesi-prosesi yang sangat santun, beradab, dan damai diutamakan di antara mereka setelah itu. Kejadian pernikahan ini pun kemudian cepat ditiru oleh daerah kedatuan lain karena sangat mendamaikan semua pihak serta selanjutnya terus berkembang secara alamiah dan dilembagakan dalam adat-istiadat sebagai tradisi adiluhung pada masa-masa berikutnya terutama masa okupasi Bali Karangasem hingga sekarang ini. Ia kemudian menjadi ciri khas bangsa Sasak yang dapat mencerminkan nilai-nilai yang baik terhadap kesejatian bangsa Sasak. Tentu, tradisi pernikahan yang lain pun secara minoritas muncul pada saat yang sama seperti model pernikahan "melamar" yang semula dirintis oleh komunitas Arab dan Jawa di daerah tertentu di Lombok. 

Selain itu, jawaban saya atas mengapa terjadinya model pernikahan model "melaiq" ini terjadi dan menjadi langgam adat Sasak adalah disabkan faktor sosiologis, yang sebenarnya beririsan dengan faktor historis di atas. Yang saya maksud dengan faktor sosiologis di sini adalah pada masa lalu, perempuan atau putri dibolehkan mempunyai pacar lebih dari satu laki-laki. Bahkan pada masa lalu, gadis dipandang bisa "membanggakan" keluarga jika bisa mempunyai pacar banyak. Tidak mengherankan, gadis atau putri akan sangat disibukkan oleh usahanya di dalam menerima secara baik setiap pacar yang datang "midang" atau ngapel setiap malam ke rumahnya. Kaum laki-laki bersaing dan berlomba-lomba merebut perhatian dan cintanya sang gadis. Bahkan tidak sedikit terjadinya perkelahian dan pembunuhan antar mereka disebabkan kompetisi ketat mengambil perhatian sang gadis. Gambaran putri atau gadis perempuan yang mempunyai pacar banyak ini dapat dilihat atau dicerminkan pada kisah cerita rakyat Putri Mandalika. Adalah karena mempunyai pacar atau laki-laki/putra mahkota yang banyak yang menjadikan dia mengambil keputusan untuk membunuh diri dengan mencemplungkan diri ke laut selatan demi perdamaian bisa tetap terjaga di antara putra mahkota dari berbagai kerajaan/kedatuan yang datang meminangnya. Demikianlah hal serupa terjadi secara faktual di dunia nyata di masyarakat Sasak pada masa lalu khususnya di daerah perkampungan atau pedesaan. 

Disebabkan oleh fakta sosiologis di atas, maka jalan satu-satunya yang sangat patut dan penuh damai dalam melangsungkan pernikahan adalah dengan cara "melaiq" itu. Jika melamar yang dipakai, maka tentu laki-laki lain tidak akan menerima. Tentu mereka pasti akan berusaha menggagalkan acara lamaran itu karena mereka juga mempunyai hak dan ikhtiar yang sama pada gadis/putri itu. Hal ini akan menimbulkan konflik atau masalah baru bagi keluarga si gadis. 

Oleh karena itu, pernikahan model "melaiq" pada saat itu menjadi sangat berterima di masyarakat. Pernikahan model "melaiq" dilembagakan sebagai adat-istiadat yang diiringi regulasi adat dan konvensi yang sangat ketat dan haris dipatuhi. Dalam praktiknya, pernikahan "melaiq" disyaratkan untuk diawali dengan niat "suka sama suka" di antara kedua calon, yang kemudian merrka atur janji secara diam-diam untuk dijemput di rumahnya antara wakti magrib hingga waktu isya'. Lebih dari tidak boleh, karena itu sudah masuk kategori mencuri. Selanjutnya, saat si gadis dibawa ke rumah si calon pria pun harus dibawa secara berombongan, tidak datang hanya mereka berdua. Ini untuk menghindari fitnah. Setelah itu, si calon perempuan disembunyikan tanpa sepengetahuan para pesaiang atau pacar-pacar lain si gadis, supaya tidak disabotase atau supaya kedua calon tidak diserang.  Lalu selama belum terjadinya kesepakatan secara adat (belum disetujui waktu akad nikah), calon mempelai perempuan harus dijaga ketat atau dipisahka dari kontak dengan calon mempelai laki-laki. Demikian seterusnya, sebagai upaya untuk menjaga marwah masing-masing.

Demikian faktor-faktor diuraikan di atas, menurut saya cukup berterimalah memang apabila model pernikahan "melaiq" ini dijalankan sebagai adat budaya di masyarakat Sasak pada masa lalu. Akan tetapi, apakah pernikahan model ini masih cukup relevan? Pertanyaan ini muncul karena dewasa ini perempuan Sasak secara praktiknya sudah tidak lagi berpacaran seperti seorang gadis tempo dulu, yang dapat mempunyai pacar banyak. Kini, rata-rata gadis atau perempuan Sasak mempunyai satu calon. Mereka bahkan menilai bajwa sudah tidak lazim lagi untuk mempunyai pacar lebih dari satu. Hal ini  terjadi setelah arus komunikasi dan informasi sudah cukup luas terbuka pada mereka sehingga pandangan dan kebiasaan mereka berubah, meniru tradisi dan pandangan yang terjadi di daerah-daerah lain.

Dalam pandangan saya, apabila pernikahan model "melaiq" terus-menerus menimbulkan masalah sosiologis, mungkin sebaiknya, pertama, pernikahan model ini harus dibuatkan regulasi yang ketat dan kuat dari pemerintah, tidak cukup hanya berdasar peraturan desa atau awig-awig kampung saja, yang mana di dalamnya orang tua pihak perempuan mempunyai kuasa besar di dalam mengambil atau mem-"belas" anaknya untuk tidak perlu lanjut ke pernikahan apabila terjadi "melaiq". Tentu dengan pertimbangan-pertimbangan yang berterima dan kemanusiaan. Kedua, mungkin ke depan masyarakat Sasak perlu diintrodusir model pernikahan yang lebih berterima seperti model melamar sebagai langgam adat yang dikonvensikan meskipun dalam praktiknya prosesi-prosesi adat yang sudah ada tetap dijalankan sebagai simbolisasi harkat bangsa Sasak yang agung. Pemikiran ini bisa diterima bisa juga tidak. Tapi perlu diingat bahwa salah satu sifat dasar budaya termasuk tradisi pernikahan adalah selalu berubah meskipun perubahannya itu secara evolutif dan pelan bukan revolusioner dan cepat. SEKIAN. 

Mataram, 29 Mei 2025
*) Penulis adalah guru besar sastra dan budaya FKIP Universitas Mataram
Sumber: www.nuriadisayip.blogspot.com
SEKILAS ASAL-USUL TERJADINYA PERNIKAHAN "MELAIQ" DI SASAK SEKILAS ASAL-USUL TERJADINYA PERNIKAHAN "MELAIQ" DI SASAK Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 29, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.