TIKO, KATA YANG MENGHINAKAN DAN TABU DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA


Doorr! Langit propinsi NTB mendadak membahana seketika peristiwa penghinaan yang dialami gubernur dan tokoh ulama Nusa Tenggara Barat menjadi berita utama di berbagai media. Peristiwa itu terjadi ketika TGB dan istrinya sedang antri Check-In pesawat di bandara Changi Singapura, pada tanggal 09 April 2017 sekitar pukul 14.30 waktu setempat. Tak pelak, peristiwa ini mendadak menjadi viral di media sosial khususnya Facebook dan Whatsapp. Sebagian besar warga merasa bertanggung jawab secara moral untuk menunjukkan sikap, kecaman, dan kemarahan mereka atas peristiwa ini. Mereka intinya tidak terima perlakuan tersebut. Semua itu ditujukan kepada pelaku bernama Steven Hadisurya Sulistiyo, seorang pemuda Indonesia dari etnis Tionghoa, yang sudah berani menghina dan merendahkan martabat TGB sebagai orang asli Indonesia, yang kebetulan berbangsa Sasak dan yang berperan sebagai gubernur, tokoh masyarakat, serta tokoh agama di NTB. Penghinaannya ini memang jelas-jelas terlihat melalui kata-katanya, sebagaimana disebut di Surat Pernyataan Permohonan Maafnya (tertanggal 09 April 2017 di Jakarta), yaitu: “Dasar Indo, Dasar Indonesia, Dasar Pribumi, Tiko!”.

Reaksi dan kecaman keras masyarakat itu sangat rasional dan wajar. Hal ini dikarenakan penghinaan yang diucapkan oleh Steven HS tersebut sudah tidak lagi hanya berbau penghinaan secara pribadi dan figuritas Tuan Guru Bajang Dr. KH. Zainul Majdi, MA sebagai gubernur dan ulama kharismatis. Akan tetapi, ucapan tersebut sudah mengarah ke soal penghinaan secara SARA atau rasis. Yakni, penghinaan pada kelompok etnis asli yang menempati mayoritas wilayah Indonesia. Penghinaan yang tidak hanya menyaasar pada satu individu, tetapi tertuju pada beratus, beribu, bahkan berjuta individu di Indonesia yang nyata-nyata, di balik kata itu, mereka dinilai lebih inferior daripada kelompok etnis milik Steven HS. Dengan demikian, kelompok etnis di mana TGB berasal, kelompok etnis Sasak, tentu wajar marah dan berhak secara hukum dan konstitusional untuk menuntut atas tindakan yang dilakukan oleh pemuda Tionghoa tersebut, meskipun secara pribadi TGB sudah memaafkannya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menunjukkan ke publik dan dunia bahwa penghinaan rasis dalam bentuk apapun itu tidak diperbolehkan dan semua pihak siapapun orangnya harus menghormati keberadaan dan marwah etnis lain.

Akan tetapi, di balik peristiwa ini, hal yang menarik untuk dilihat adalah ucapan kata “tiko”. Kata ini mungkin menjadi kata sumpah serapah yang paling fenomenal untuk beberapa hari terakhir. Bagaimana tidak, kata ini sebelumnya cukup jarang didengar. Bahkan kami meyakini tidak sedikit yang baru mengetahui arti sebenarnya dari kata tersebut. Kata “tiko” kini mencuat bagai bola api sebagai kata yang sangat populer dan, boleh jadi, sangat sensitif untuk disebut-sebut sebagai ucapan guyonan sekalipun di kalangan publik Indonesia. Alasannya jelas karena kata itu sudah pasti berbau negatif atau merendahkan keberadaan orang lain. Sejelek-jeleknya orang, dia pasti mempunyai harga diri yang patut untuk diakui dan dihargai oleh orang lain. Di hampir semua etnis di dunia ini, terlebih di masyarakat Sasak, harga diri itu adalah kehormatan tertinggi yang paling dijunjung tinggi oleh setiap warga Sasak. Jika itu sudah direndahkan, maka menurut tetua Sasak, siapapun orangnya dianggap wajar untuk bertindak, bahkan nyawa pun biasa untuk dipertaruhkan. Demikian kira-kira. Oleh karena itu, sekali lagi, cukup wajarlah bila masyarakat NTB khususnya dan warga Indonesia umumnya bereaksi keras atas persoalan ini.

Tiko sebagai Kata yang Menghinakan

Selintas kata ini terasa enak didengar. Hal ini karena kata ini cukup mirip dan dekat dengan nama panggilan seseorang, semisal Nico untuk nama panggilan untuk Nicholas Saputra, artis terkenal Indonesia. Akan tetapi, kata “tiko” ini tidak bermakna demikian adanya. Kata ini justru bermakna negatif atau yang menghinakan. Bukti makna negatif kata “tiko” ini adalah: 1). Tiko berarti gelar atau label merendahkan untuk pribumi Indonesia, selain etnis Tionghoa. 2). Tiko mengacu pada suatu keadaan di mana seorang pria yang sedang mengalami puncak birahi. 3). Tiko berperan sebagai singkatan untuk “tikus kota” atau juga “tikus kotor” yang diperuntukkan untuk mereka para pribumi yang tidak tahu malu, yang maunya enak saja, yang tidak mau kerja, tetapi mau hasinya saja. 4). Tiko itu juga berarti bangs*t, yang ditujukan unntuk orang pribumi yang sangat bodoh karena keturunan babu para Penjajah seperti Belanda dan Jepang. 5). Tiko juga berarti label yang diperuntukkan bagi kaum pribumi Indonesia yang hanya mementingkan diri sendiri dan bisanya bekerja sebagai penipu. 6). Tiko pun berarti babi hitam, yang diambil dari bahasa Hokkein. 7). Tiko juga berarti semacam binatang mirip manusia yang bau, dekil, jorok, hitam, dan tidak tahu malu atau suka mencuri seperti biasanya dilakukan oleh tikus ataupun babi.

Dengan melihat sejumlah arti yang terselip dari kata “tiko” di atas, hal ini justru semakin mempertegas betapa kata “tiko” ini benar-benar menjadi bahasa umpatan atau sumpah serapah yang sangat merendahkan atau menghinakan. Orang yang dipanggil begitu sudah pantaslah marah dan bereaksi keras pada orang yang menyebutnya demikian. Sikap marah ini manusiawi. Akan tetapi, TGB, sebagai seorang gubernur dan tokoh agama dan masyarakat di NTB, tidaklah demikian. Beliau tidak marah dan sabar sekali. Beliau justru memaafkan dan mendoakan orang yang menghinanya. Sikapnya ini sungguh luar biasa. Adalah sikap seorang negarawan dan ulama yang kadar ilmunya sangat tinggi. Dan hal ini patut ditauladani oleh kita semua, tentunya.

Tiko dalam konteks Komunikasi Antarbudaya

Ucapan “tiko” itu rasis bahkan lebih rasis dari ucapan “dasar China!” untuk masyarakat Tionghoa ataupun ucapan “the Black” dan “the Negro” untuk kaum Afrika Amerika di Amerika Serikat. Oleh karenanya, tindakan mempertontonkannya di tempat umum seperti yang dilakukan Steven HS di Bandara Changi Singapura merupakan tindakan yang tabu, tidak etis, tak humanis, dan di luar batas kewajaran. Tindakan ini sudah patut untuk dituntut secara hukum. 

Dikarenakan tindakan rasis merupakan hal yang tabu dalam konteks komunikasi antarbudaya, maka orang yang melakukan tindakan semacam ini adalah orang yang sebenarnya tidak mempunyai kompetensi interkultural (intercultural competence) dan komptensi komunikasi interkultural (intercultural communication competence) seperti yang dikatakan oleh Spencer-Oatey dan Franklin dalam bukunya Intercultural Interaction (2009). Kompetensi interkultural menjadikan seseorang tahu dan menjiwai akan bagaimana situasi dan kepada siapa dia berkomunikasi, sedangkan kompetensi komuniasi interkultural mengkondisikan seseorang untuk lebih cerdas di dalam menggunakan media komunikasinya secara efektif. Atas dasar ini, tindakan pelaku tersebut sejatinya tengah merendahkan dirinya sendiri baik sebagai seorang individu yang berpendidikan maupun sebagai representasi dari orang yang beretnis Tionghoa. 

Pemikiran ini didasarkan pada konsep bahwa komunikasi antarbudaya mensyaratkan hadirnya sebuah “kesadaran yang mendewasa”, yang mana di balik sikap dan tutur kata yang ditunjukkan menyiratkan pengetahuan untuk mau menghormati dan mentoleransi perbedaan yang dimiliki oleh orang lain. Jikapun melakukan protes atau kritik pada orang lain, maka bahasa yang dilakukan haruslah sesuai dengan bahasa yang santun dengan mengedepankan sikap yang selaras dengan prinsip-prinsip humanitarian universal berupa kesetaraan dan penghormatan, bukanlah justru sebaliknya, yaitu mengedepankan sikap yang merendahkan dan stereotipikal. Penyebutan kata “tiko”, berikut dengan ucapan yang lain seperti “dasar Indo, dasar pribumi”, jelas-jelas merupakan sikap yang jauh dari prinsip humanitarian universal. Berdasarkan ini, pelaku tersebut patut dipertanyakan ada tidaknya kompetensi interkultural dan kompetensi komunikasi interkultural dalam dirinya.

Di samping itu, pelaku penghinaan itu tidak menyadari juga bahwa komunikasi adalah ekspresi budaya seperti pernah diucapkan oleh Edward T. Hall (1959). Ketika berkomunikasi atau berbahasa, seseorang sebenarnya secara nirsadar sedang mencerminkan siapa dia dan bagaimana budaya yang melatari ekspresi bahasanya. Semakin tinggi budaya yang dimiliki seseorang, maka semakin santun dan pantaslah pula bahasa yang diungkapkannya. Apakah hal ini berlaku pada seorang pemuda bernama Steven HS, yang keturunan Tionghoa tersebut? Dalam konteks ini, patut dipertanyakan. Apabila budaya tinggi yang menjadi latar kehidupan pelaku benar-benar menjadi cermin kepribadiannya, tidaklah mungkin kata “tiko” dan kata-kata merendahkan lainnya akan keluar secara spontan dari mulutnya. Hal ini disebabkan budayanya sebagai seorang warga Indonesia kelas menengah dan seorang dari keturunan etnis Tionghoa akan mampu menjadi “pengendali” atas sikap dan perkataannya.

Dengan demikian, apapun alasannya, tindakan yang dilakukan oleh Steven HS itu sungguh di luar dari nalar kehidupan pergaulan internasional. Dia telah menampik prinsip kemanusiaan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Prinsip Hak Asasi Manusia Universal PBB (1948). Dia juga telah merendahkan dirinya sebagai seorang yang berasal dari etnis yang merasa lebih superior daripada etnis milik orang yang dia hina. Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur. Rentetan kata hinaan, khususnya kata “tiko”, tampaknya telah menjadi bumerang bagi marwah pelakunya. Meskipun begitu, kita patut mendoakan semoga peristiwa ini menjadi “sumber pencerahan baru” bagi dirinya dan bagi kita juga ketika bergaul dan berkomunikasi antarbudaya. Semoga pula peristiwa ini semakin meninggikan derajat kefiguran TGB sebagai kebanggaan NTB di kancah nasional maupun internasional. ***)

Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
TIKO, KATA YANG MENGHINAKAN DAN TABU DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA TIKO, KATA YANG MENGHINAKAN DAN TABU DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on November 10, 2017 Rating: 5

Post Comments

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.