POLITIK IDENTITAS: Sebuah Fenomena Politik yang Lumrah


Gong politik sudah ditabuh! Inimenandai bahwa pesta demokrasi bernama “Pemilukada NTB” akan segara dihelat.Semua mata dan telinga pelan tapi pasti mulai tertuju ke satu titik momentum,dengan maksud ingin menyaksikan bagaimana hebohnya pesta demokrasi di tingkatanprovinsial ini. Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur diposisikan layaknyasebagai “pasangan pengantin” yang sedang dirias sedemikian rupa sehingga dapatbermetamorfosa menjadi “produk unggul” yang layak dipajang di etalase vendor kontestasiPemilukada NTB itu. Tidak lupa produk-produk unggul ini pun dilengkapi dengan detailsimulakra dari sisi keunggulan personal mereka. Hal ini memang suatu hal yangsyah-syah saja karena ini merupakan sebuah oksimoron dalam proses “perniagaan”politik.

Namun, ketika ditelisik lebihdalam terhadap hiruk-pikuk dan dinamika perniagaan politik menjelang pestademokrasi ini, terdapat satu hal yang cukup menohok dan mengemuka sejauh ini,ialah munculnya isu politik identitas dengan angle identitas primordial. Yaitu,suatu wacana yang menelanjangi stigma kultural dan alamiah terkait asal-usulras, etnis dan komunitas asali seseorang yang telah menginternalisasi di dalamkesadarannya. Identitas ini kemudian dapat mewujud sebagai sebuah kebanggaan yangbersifat imanen, lintas ruang dan waktu, serta menjadi framework dasar terbentuknyasistem pengetahuan diri orang tersebut sepanjang hayatnya. Target utama mengapa wacana ini diangkat akhir-akhirini sudah dapat ditebak ialah dalam rangka menakar meningkatnya simpati paravoters untuk memilih pasangan tertentu dan akhirnya memberi kemenangan elektoralpada pasangan tersebut. Target yang sungguh amat pragmatis, banal, dan bahkan animalistik!

Mengangkat wacana seperti inisebagai ragam wacana demokrasi elektoral memang tidaklah menjadi hal yangekstrem dan aneh di arena politik. Hampir semua pesta demokrasi, di berbagaibelahan dunia, bersinggungan dengan isu semacam ini. Jangankan NTB yang notabene kondisi masyarakatnya masih berkembang serta hanyalah menjadi salah satubagian kecil dari wilayah Indonesia yang luas. Amerika Serikat yang faktanyamasyarakatnya sudah maju dan mengutamakan keunggulan rasionalitas pun tidakbisa lepas dari persoalan identifikasi primordial ini tatkala (mulai)melangsungkan pesta demokrasi, entah itu di tingkatan provinsial/state untukmemilih seorang gubernur maupun di tingkatan nasional/federal untuk memilihseorang presiden.

Contoh kasus yang paling mutakhirdi Amerika adalah terpilihnya Barack Obama sebagai presiden pertama dari kaumAfro-Amerika. Kemenangannya sebagai presiden untuk dua periode salah satunyakarena kemampuannya mengelola wacana identitas primordial ini. Dia mencobamengkondisikan sentimen kaum-kaum minoritas di Amerika, khususnya kaumAfro-Amerika dan Hispanik (Latino) bahwa sosok Barack Obama dapat menjadirepresentasi dari mereka di kancah politik. Kemenangannya merupakan kemenangankaum-kaum itu yang sejak lama mengalami berbagai bentuk aneksasi, okupasi, diskriminasi, dan segregasi oleh kaumkulit putih. Kemenangannya merupakan antitesis simbolik bahwa sejarah Amerikabukan hanya menjadi milik kaum kulit putih saja, tetapi bisa menjadi milikmereka yang nota bene sebagai entitas minoritas dan kelas-dua selama ini.

Maka itu, sekali lagi, hal iniadalah sesuatu yang wajar saja. Tidak perlu dipandang sebagai sebuah keanehansehingga seakan-akan menjadi persoalan yang kontra-produktif dalam kancahperpolitikan provinsi NTB. Terlebih dewasa ini kondisi masyarakat NTB mau tidakmau sudah berada dalam arena multikultural bahkan kosmopolitan, yang sebenarnyapersoalan sekat etnisitas ini sudah cenderung luntur. Mereka semua sudahmenjadi bagian aktif dari sebuah komunitas global, yang lintas teritorial.Mengapa demikian? Hal ini tidak hanya disebabkan oleh faktor media – menjadikebutuhan warga NTB -- yang mampu menjembatani kontak dan kesaling-pahaman diantara masing-masing etnis dan budaya yang ada, tetapi, yang lebih penting,mereka sebenarnya sudah melakukan proses ini, pertama, dengan Kontak Familial secara turun-temurun berupapernikahan lintas etnik dan adat serta, kedua, dengan Kontak Sosial dalam wujudmenjadi tetangga, kolega, mitra kerja dan sebagainya dalam suatu komunitas. Dengan demikian, difusi budaya dankesaling-pahaman secara lintas-etnis telah berlangsung secara nirsadar dan alamiahdi antara mereka. Fakta ini sudah jamak terjadi pelbagai wilayah di NTB,khususnya di wilayah-wilayah urban.

Justru apabila hal ini dipandangsebagai suatu soal yang kontra-produktif seperti disinyalir oleh beberapa pihak,maka secara tidak langsung hal ini mencerminkan sejauh mana tingkat sistempengetahuan yang sudah dicapai dan terpolakan hingga saat ini. Tidak perludisebutkan di sini seperti apa. Akan tetapi apabila ini benar adanya maka iniberarti bahwa solidaritas mekanik, bukanlah solidaritas organik sepertidikatakan Emile Durkheim, masih menjadi ciri kemasyarakatan propinsi NTB. Halini tentu cukup menyedihkan. Di samping itu, apabila hal ini terus-menerusdikobarkan sebagai ajang multiplikasi elektoral, maka sebenarnya pihak-pihakyang terlibat pada persoalan ini telah berkontribusi terhadap (potensi)fragmentasi kebangsaan Indonesia di tingkat provinsial, serta konsekuensinyadapat memperbesar sekat-sekat sosial budaya yang memang sudah ada dankelak dapat menjadi sumber konfliksosial yang lebih besar dan berbahaya.

Akhirnya, biarlah isu identitasprimordial ini muncul seperti apa adanya dan anggaplah hal itu sebagai ragamstrategi pemenangan elektoral saja. Isu itu hanya bersifat plastis dan temporersaja. Isu itu sekali lagi merupakan fenomena politik yang lumrah saja. Tidaklahperlu mengernyitkan emosi dan pikiran kita. Sebaliknya, hal ini pantas diletakkansebagai hal yang klasik karena bisa jadi pihak yang mengangkat ini sebagai isuutama sebenarnya sedang “melakukan kampanye kultural” demi pemenangan pasangancalon tertentu. Justru yang jauh lebih mendasar, menurut saya, adalah wacanayang mengarah ke penakaran komitmen para pasangan calon gubernur ini khususnyaterkait dengan konkretisasi dan efektifitas visi-misi serta program yang merekakampanyekan sejauh ini. Dengan demikian, isu-isu diskusi secara otomatismengarah kepada soal-soal produktif bahkan konkret, sehingga masyarakat NTBdapat dijaminkan kehidupan mereka menjadi lebih baik. Pesta demokrasi inihanyalah wahana awal saja ke arah pencapaian hal tersebut. Tidak lebih dariitu! NTB itu faktanya adalah sebuah “rumah” kosmopolit yang menyatukan berbagaietnik, bahasa, dan budaya di dalamnya. NTB itu esensinya berslogan danbersemangat “bhinneka tunggal ika” yang senantiasa ingin disejahterakan secaramerata, lepas dari unsur favoritisme. Demikianlah, terima kasih.****

Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip

(Yogyakarta, 7 April 2013)
POLITIK IDENTITAS: Sebuah Fenomena Politik yang Lumrah POLITIK IDENTITAS: Sebuah Fenomena Politik yang Lumrah Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on November 10, 2017 Rating: 5

Post Comments

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.