Sudah lima
tahun Embah Mangun hidup sendiri dengan perasaan kesepian di sebuah rumah tua.
Tepatnya sejak dia ditinggal meninggal oleh istri tercintanya. Namun dia baru
benar-benar hidup sendirian tatkala anak semata wayangnya menikah tiga tahun
yang lalu dan memutuskan untuk nunut tinggal
di rumah mertuanya di Surabaya .
Tak dipungkiri memang situasinya ini terasa sangat sulit untuk dilaluinya lebih-lebih
pada hari-hari pertama dia ditinggal oleh istri dan anaknya. Jiwanya begitu
goncang, dan sulit menerima kenyataan yang musti dia jalani. Istrinya sudah
meninggal beberapa tahun sebelumnya, dan satu-satunya anaknya pun meninggalkannya.
Dia baru merasa terobati kesendiriannya ini dan
menyadari dia mempunyai keluarga, tidak hidup sendirian sebagaimana ia sering
kali yakini sejauh ini, ialah pada saat hari raya besar. Anaknya beserta
menantu dan cucunya datang menjenguk dengan membawa jajanan khas suasana lebaran.
Meskipun sehari saja, tetapi perasaan sendirinya yang telah membeku berbulan-bulan
seakan meleleh berbaur menjadi rona-rona keceriaan sepanjang hari itu.
Tetapi, oh tetapi, lebaran kemarin mereka tidak datang,
kasih kabar pun tidak hingga detik ini. Aneh memang. Di hati Embah Mangun
berkali-kali mempertanyakan hal ini.
“Tole, tole,
kenapa kamu tidak pulang? Ada
apa? Atau jangan-jangan kalian sudah menganggap aku tidak ada. Semoga kamu dan
anak-istrimu sehat dan bahagia selalu di sana.”
Embah Mangun terlihat duduk melongo di ruang tamu.
Tampak sekali dia sedang memikirkan sesuatu. Benar sekali. Dia tengah
memikirkan nasibnya yang begitu rupa, hidup sendirian. Sang anak yang dulunya menjadi
harapan satu-satunya untuk memberi seberkas perhatian kini sudah mulai tidak
memperdulikannya lagi.
Wajah itu terlihat memerah dan kaku. Bibirnya bergetar.
Kedua matanya pun sembab. Lututnya lemas tak kuat berdiri dan menggelepar di
lantai sambil meratap pilu dan menggumam.
“Oh Gusti, ampunilah dosa-dosaku. Cukup. Cukup Tuhan.
Ambillah nyawaku sekarang. Aku lega lila. Sungguh, aku sudah tak kuasa lagi
menjalani hidup seperti ini.”
Agak lain dari biasanya, kesedihannya berlangsung lebih
lama dari biasanya. Air mata Embah Mangun tak sederas ini sebelum-sebelumnya, seakan
tidak bisa berhenti mengalir. Kepiluan yang berada di dalam perasaannya
benar-benar sudah begitu kuat merasuki sisi-sisi ketegaran dan keperkasaannya
sebagai seorang laki-laki yang penuh dengan asem garam kehidupan. Dia benar-benar tak ubahnya seorang
anak kecil yang kehilangan uang jajan. Menangis sejadi-jadinya sebelum dia
benar-benar lungkrah, tak bertenaga, dan diam seribu bahasa dengan mata
terpejam.
Namun sesaat kemudian, kesedihan Embah Mangun ini pun
membuyar juga, ketika dia ingat kalau dia kemarin dipesan oleh seseorang
bernama Pak Sutardjo dari kampung lain untuk membersihkan pekarangan dan
mengecat pagar rumahnya. Matanya membeliak ke atas diikuti oleh tubuh rentanya
yang meninggi. Dia tampak kaget. Lalu dengan agak sempoyongan dia mencoba
bangkit dan melangkahkan kaki ke dapur. Di sana dia mendapati sebuah bungkusan kresek
hitam berisi sisa makanan yang tidak habis disantapnya kemarin malam. Nasinya sudah
hampir basi, tapi Embah Mangun tidak perduli. Dalam hati dia berkata, yang penting
perutnya harus terisi segera sehingga ada kekuatan untuk cepat menyelesaikan
pekerjaan. Dari raut wajahnya, pak tua ini terlihat berusaha menepis sisa rasa
sedih yang masih menggelayuti dirinya.
“Aku harus bekerja.” Tegasnya berkali-kali di sela-sela kunyahannya.
Dia tidak mau dimarahi oleh siapapun yang mempercayainya
memberi pekerjaan. Dia ingin terus menunjukkan dirinya masih mempunyai kecakapan
sehingga membuat orang puas. Embah Mangun masih meyakini bahwa pengabdian dan
ketulusan terhadap pekerjaan merupakan sumber simpati dan kepercayaan orang
lain. Dan dengan keyakinan inilah menjadikan lelaki tua ini masih tetap diakui
sebagai pekerja serabutan selama ini.
Embah Mangun telah berada di sampai di jalan besar yang
begitu padat. Dengan sepeda jengki yang begitu butut dia tampak percaya diri menunggang
sepedanya bersandingan dengan mobil dan sepeda motor yang berseliweran di sisi
kanan jalan raya. Tanpa menoleh sekali pun, kepalanya terus tertuju ke depan,
dengan goyangan-goyangan reflek kedua kakinya di atas pedal sepeda yang gontai.
Setelah hampir
dua puluh menitan dia mengendarai sepedanya, dan bersiap-siap untuk berhenti
karena di depan ada bangjo, tiba-tiba
dari arah belakang sebuah sepeda motor menabrak sepeda itu. Sehingga tak pelak
lagi tubuh lelaki tua itu terseret bersama sepedanya, sebelum sepeda dan sepeda
motor itu menabrak mobil yang berhenti di depannya. Tubuh lelaki tua ini
terpental, demikian halnya dengan pengendara sepeda motor itu. Dalam sekejap
aspal jalan yang kering itu pun basah oleh tetesan-tetesan darah dari tubuh
mereka, terutama dari tubuh Embah Mangun yang terluka begitu parah. Pun, tak
lama kemudian, tempat itu menjadi ramai dan diputuskan supaya kedua korban segera
dibawa ke rumah sakit. Kedua-duanya dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Setelah satu jam, Embah Mangun akhirnya sadar dan bisa
berbicara lirih walau sangat dipaksakan karena harus menjawab pertanyaan
petugas kesehatan rumah sakit ini. Di dalam kesendiriannya, ia ingat ucapan-ucapannya
beberapa saat yang lalu ketika berada sendirian di rumahnya. Benar. Ucapan di
tengah kesedihannya tadi ternyata menjadi sebuah kenyataan.
“Terima kasih ya Gusti. Akhirnya aku merasakan betapa Kau
masih mau mendengarku. Kau ternyata ada.” Imbuhnya dengan segurat kerdipan
mata.
Embah Mangun merasa
sangat bahagia. Ia tersenyum simpul seketika dia benar-benar merasakan cubitan
mesra dan belaian kasih istrinya yang kini duduk di sampingnya, di rumahnya.
“Mas, sue tenan
tekone. Jeleh rasane ngenteni” Ucap istrinya manja.
Tapi (Embah) Mangun tidak begitu memperhatikan suara
istrinya itu, karena konsentrasinya masih tertuju kepada syukurnya kepada
Ilahi.****Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
Cerpen: Embah Mangun
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
November 10, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar