Istilah ‘maling’ atau ‘rampok’ sejauh ini mungkin
menjadi dua istilah yang paling umum atau populer bagi orang-orang yang tinggal
di pulau Lombok . Apa sebab? Tidak lain dan
tidak bukan karena berbagai peristiwa, kejadian, atau insiden yang terjadi acap
kali menghebohkan di hampir seluruh pelosok pulau ini didalangi sekaligus
diaktori oleh oknum-oknum yang dikategorikan sebagai ‘tau-tau’ bernama maling
dan rampok tersebut. Iya, mereka semua adalah orang-orang yang tidak mau
bertanggung jawab, mau menangnya sendiri, berfilsafat ‘pokoknya dapat’,
mengambil secara paksa dengan menghalalkan segala cara, tanpa perduli akan segala
regulasi, norma, pranata, dan hukum agama dan sosial, bahkan secara tega membunuh
sang pengampu pun dijalani demi akuisisi barang-barang berharga. Itulah maling!
Itulah rampok!
Walau begitu, bagi orang Lombok, dua istilah ini
berbeda, yakni ‘maling’ cenderung dipakai untuk kajadian yang disinyalir
dilakukan dengan kuantitas pelakunya sedikit (bisa satu, dua, tiga, empat, atau
lima orang) dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi (diam-diam), akan tetapi ‘rampok’
cenderung dipahami oleh orang Lombok sebagai peristiwa yang dilakukan oleh
orang-orang dengan jumlah yang sangat banyak dan biasanya dilakukan secara
terang-terangan atau atas sepengetahuan penduduk kampung yang menjadi target
perampokan. Bahkan sebelumnya, misalnya, rampok mengirim surat kaleng atau menyebarkan selebaran yang
tentu berisi perihal kapan kejadian perampokan yang akan dilakukan.
Maling atau rampok adalah sebuh fenomena sosial bahkan
budaya orang sasak, karena di pulau inilah fakta ini marak terjadi sejak dahulu
kala. Mungkin sejak orang sasak belum beragama hingga sudah beragama ‘taat’
seperti sekarang ini, maling dan rampok sudah ada secara laten, yang tak lekang
oleh usia, dan tak lekang oleh aturan regulasi serta jumlah pemuka agama yang
bernama tuan guru. Bahkan maling atau rampok adalah sebuh keunikan untuk pulau
yang terkenal sebagai Pulau Seribu Masjid dan Ratusan Tuan Guru ini!
Boleh-boleh saja dikatakan demikian, bukan? Betapa tidak, karena fenomena ini
seakan-akan menjadi penyimbang dalam wacana dialektika atas hadirnya
label-label di atas. Dengan lain kata, apabila label Lombok sebagai Pulau Seribu
Masjid dan Pulau Ratusan Tuan Guru ini sebagai sebuah Tesa, maka fenomena
maling dan rampok yang sedemikian banyak, masif, laten, dan sporadis ini
menjadi sebuah Antitesa. Atau mungkin bisa saja sebaliknya. Iya, ada Tesa, ada
Antitesa, menarik bukan?
Oleh karena itu, seorang teman, tentu bukan orang Lombok
atau orang sasak, pernah berseloroh dengan berkata begini: “Wah nek koyo ngono
ceritane, Lombok pantes juga ya dikatakan
sebagai Pulau Sejuta Maling, bukan hanya Pulau Seribu Masjid atau Pulau Sejuta Sapi
he he”. Aku tidak mengiyakan, tidak pula menidakkan ucapan teman ini kala itu.
Namun, pernyataan ini sampai kini masih terngiang-ngiang dan anehnya memperkuat
ingatan-ingatanku atas kejadian-kejadian di kampungku terkait dengan pencurian
atau perampokan. Dari peristiwa ‘lampu-lampu senter ayahku yang remuk redam
karena dipakai berkelahi melawan maling; peristiwa salah seorang tetangga yang
kepalanya terluka berdarah-darah karena berkelahi dengan pencuri yang terluka
parah juga sehingga ditemui tergeletak mengerang-ngerang di tengah jalan di pagi
harinya; peristiwa di mana paman saya yang hampir pergelangan tangannya putus
gara-gara sabetan senjata pencuri suatu malam; peristiwa pada suatu malam di
mana aku yang menjadi tukang ‘kul-kul’ alias tukang teriak bagi seluruh isi
kampung karena di kampung sebelah terjadi perampokan yang akan segera merembet
ke kampungku; peristiwa di mana aku ikut serta mengikuti sejumlah anggota Buru
Jejak semalam suntuk untuk mengejar kawanan pencuri yang membawa dua ekor sapi
milik seorang warga, dan sebagainya. Ah, ngomong-ngomong tentang persitiwa
maling atau rampok ini, tampaknya masih banyak peristiwa yang kualami sendiri bila
disebut dan diurai satu persatu.
Mengapa maling atau rampok begitu marak di pulau ini?
Pertanyaan ini sebenarnya sudah menjadi concern dan persoalan pokok yang
berkali-kali diungkapkan oleh sejumlah teman di forum ini. Namun demikian, atas
nama sebagai bagian dari masyarakat yang tinggal, hidup dan besar di pulau Lombok , ijinkan aku selanjutnya mengutarakan jawaban
terkait dengan pertanyaan tersebut.
Menurutku, jawaban sekaligus solusi atas permasalahan
ini tampaknya sangat kompleks bila diurai, dan mungkin juga membutuhkan
pendekatan yang integratif dan berkesinambungan. Hal ini disebabkan karena fenomena
maling atau rampok ini sudah menjadi sebuah budaya yang kompleks pula, lepas
dari ranah benar-salah, atau baik-buruk dari perspektif legal-formal atau
normatif. Sebuah fenomena atau kejadian dikatakan budaya (culture), menyitir
pemikiran Prof. Sjafri Sairin MA (salah satu antropolog kawakan UGM), apabila
fenomena tersebut melibatkan aksi atau aktifitas manusia yang dilakukan secara
terus-menerus, ajeg, dan muncul dengan motif bahkan modus yang tetap mirip di
suatu komunitas atau tempat. Dengan konsep ini, sekali lagi, tidakkah pencurian
dan perampokan di Lombok ini sudah terjadi
sekian lama dan terus-menerus? Tentu, dalam hal ini, maling atau rampok
dikategori sebagai budaya negatif!
Sejujurnya, bila dilihat secara komprehensif, ada banyak
alasan atau jawaban mengapa terjadinya maling atau rampok dimaksud. Di
antaranya adalah mungkin karena faktor ekonomi, atau kasarnya karena persoalan
‘perut’ yang belum terpenuhi secara merata berupa, khususnya, penyediaan
‘kesempatan’ dan ‘pendapatan’ penghidupan yang tidak sesuai dengan pengharapan
masyarakat. Alasan berikutnya mungkin karena faktor penegakkan hukum yang tidak
maksimal dan tegas. Sehingga atas dasar ini, menjadikan munculnya sejumlah
kelompok pamswakarsa (Amfibi, Buru Jejak, Lamjalalah, dsb) yang bertujuan untuk
menjaga keamanan sekaligus membantu menegakkan hukum yang sejatinya menjadi
tugas aparat keamanan.
Namun, menurutku, jawaban utama dan terutama adalah karena
proses penyadaran atau mungkin tepatnya ‘pencerahan’ yang dilakukan selama ini
tidaklah optimal dan efektif. Perlu diketahui, setelah diusut-usut, bahwa
pelaku utama dari peristiwa maling atau rampok yang terjadi sebenarnya
dilakukan oleh orang-orang yang berasal dan hidup di pulau Lombok
sendiri, apabila tidak boleh dikatakan pelaku-pelakunya adalah orang-orang
sasak sendiri. Nah, anehnya, mereka yang terlibat ini adalah hampir dipastikan
beragama semua, dan beragama Islam, yang nota bene melarang keras alias mengharamkan
atas aksi-aksi maling atau rampok itu. Walaupun demikian, ironisnya, toh maling
atau rampok terus saja terjadi dan dilakukan oleh mereka. Lantas apa yang yang
salah kemudian? Yang salah adalah upaya-upaya proses penyadaran atau pencerahan
terhadap masyarakat (khususnya pelaku-pelaku maling atau rampok) ini tidaklah efektif
dan optimal.
Sekali lagi, maling atau rampok di Lombok
adalah sebuah budaya! Maka, seorang ahli pernah berkata bahwa satu-satunya cara
untuk melawan atau membasmi sebuah budaya adalah dengan sebuah budaya juga.
Budaya bersumbu pada pola pikir (paradigma) pelaku budaya. Guna mengubah budaya
maka ubahlah pola pikir pelaku budaya itu.
Untuk ini, upaya-upaya penyadaran atau pencerahan secara
simultan dan efektif (berhasil guna) sekaligus afektif (menggugah) adalah
budaya baru yang, menurutku, bisa mengatasi budaya negatif berupa maling atau
rampok ini – yakni, budaya baru dengan penguatan dan penajaman materi agama
(Islam) sebagai pedoman hidup utama masyarakat sasak. Akan tetapi, patut
disayangkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan ini tampaknya belum demikian
efektif dan optimal. Ketidak-efektifan
dan ketidak-optimal-an ini bisa dilihat dari dua variabel yakni konten
(content) dan pendekatan (approach) yang diterapkan oleh pelaku-pelaku
pencerahan atau penyadaran, yang dalam hal ini otoritas secara informal (pemuka
agama, tuan guru) dan secara formal (polisi, pemerintah).
Pertama, dari variabel konten, adalah materi pengajian
atau ajaran agama (Islam) yang diampaikan tampaknya cenderung menitik-beratkan
pada persoalan hukum, syariat atau asas fiqih saja, yang berimplikasi pada
pemahaman keagamaan sebagai pedoman hidup menyasar hanya pada ‘kewajiban’
semata. Artinya, melakukan ibadah hanyalah sebatas demi meleburkan kewajiban
saja atas tuntutan-tuntutan keberagamaan islam, tanpa menyasar pada pembangunan
atas sebuah ‘kesadaran’ atau ‘pemahaman’ yang mendalam khususnya mengapa mereka
beragama dan melakukan ritualitas keagamaan itu. Selain itu, materi yang
diberikan adalah hal akherat saja (neraka atau surga), tetapi tidak beupaya
menyentuh proses menuju ke kehidupan akherat dengan membangun pemahaman tentang
bagaimana berkehidupan di dunia ini sebagai sebab menuju kehidupan akherat yang
ideal.
Kedua, dari variabel pendekatan, adalah kecenderungan
penyampaian pesan atau materi kepada masyarakat tampaknya dilakukan secara
klasikal, masif, dan tidaklah ‘membumi’ alias terlalu normatif, serta tidak
afektif (atau tidak menyentuh, tidak menggugah). Implikasinya kemudian adalah
pemahaman yang didapat hanyalah pemahaman agama yang berbau ‘wajib’ dan
‘takut’, bukanlah menyasar ‘butuh’ kepada agama. Singkatnya, dengan ketidakoptimalan
kedua variabel ini, agama sebagai wahana pranata sosial yang paling utama di
samping adat-istiadat (yang sebenarnya bersendi pada ajaran agama juga)
dipandang hanyalah sebatas ‘kewajiban’ bukanlah ‘kebutuhan’ bagi masyarakat.
Dampaknya kemudian, atas semua ini, para pelaku maling atau rampok itu, sudah
diyakini pasti mereka tahu bahwa aksi maling atau perampokan itu adalah salah,
haram, dikutuk Tuhan, tetapi toh mereka tetap melakukannya saja. Mereka
‘mengerti’ aturan agama namun hanya pada tataran kognitif saja, tetapi belum
‘memahami’nya pada tataran afektif.
Terkait dengan ini, di samping upaya-upaya integratif
yang lain (seperti penguatan pendapatan ekonomi, penegakkan hukum dsb) terus
berlangsung oleh otoritas formal, tampaknya perlu sebuah upaya revitalisasi dan
reformulasi atas kedua variabel yang disebut di atas tadi. Revitalisasi berupa
materi pencerahan kepada masyarakat dan reformulasi berupa pendekatan yang
diterapkan sehingga ujung-ujungnya nanti agama, sebagai pedoman hidup sekaligus
sendi adat-istiadat dan pranata sosial masyarakat Lombok (atau masyarakat sasak)
akan muncul sebagai sebuah ‘kebutuhan’ bukan ‘kewajiban’ semata dalam diri
mereka yang kemudian akan berdampak dalam sikap, perilaku keseharian mereka.
Bahwa Tuhan bukanlah sosok yang ditakuti tetapi sosok yang didekati, diakrabi
sekaligus dihargai dan dihormati. Bahwa beribadah bukanlah semata untuk
meleburkan kewajiban tetapi untuk ‘bemesraan’ dengan “sebuah jalan hidup yang
mutlak” yang bisa menjadikan mereka sebagai manusia yang baik dan terhormat,
tanpa harus berupaya menunjuk-nunjukkan diri sebagai seorang yang baik dan
pantas dihormati, serta senantiasa dapat menjamin kehidupan mereka untuk sejahtera
dan selamat – sepanjang doa dan ikhtiar diperjalankan. Bahwa Tuan-Tuan Guru
bukanlah sebagai figur yang elitis – yang hanya berada di Menara Gading
sosio-kultur sasak saja, atau yang hanya fasih memverbalkan ayat-ayat Tuhan di
belakang podium atau mimbar semata, tetapi alpha menjadi figur-figur yang mau
dan rela secara aktif-proaktif merakyat dan membumi sebagai upaya memanusiakan
ayat-ayat Tuhan (berupa: ketauladanan nyata) dalam rangka membangkitkan
penyadaran/pencerahan bagi masyarakat atau jamaah-jamaahnya yang boleh jadi di
antaranya adalah pelaku maling dan rampok itu.
Ah... jadi ingat tokoh Emha Ainun Nadjib, jadi ingat
pula tokoh Romo Mangunwijaya. Mereka semua ikhlas, tanpa pamrih, dan tetap
konsisten, terjun terus membangun kesadaran beragama yang membumi kepada
masyarakat.
Astaga, maaf, maaaaf….. aku sedang bermimpi!!!
Matur Agung Sinampure…
Ditulis oleh: Dr. Nuriadi Sayip
(Sekali Lagi Tentang) MALING DAN RAMPOK DI LOMBOK
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
November 10, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar