Universitas Nahdlatut Ulama Nusa Tenggara Barat, melalui Pusat Studi Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan untuk kali pertama Silaturrahim Kebudayaan. Kamis, 18 Mei 2017 bertempat di Aula UNU NTB kegiatan itu diselenggarakan pada Pk.13.30 WITA yang sedikit molor dari jadwal sebelumnya yakni Pk. 13.00 WITA. Menghadirkan dua pembicara yakni Dr. Nuriadi,SS.,M.Hum. sosok pengajar di Unversitas Negeri Mataram dan Dr. Aton Rustandi Mulyana,M.Sn. Direktur Program Pascasarjan ISI Surakarta, yang berbincang dalam tema “Pendidikan Sebagai Pijakan Pembangunan Kebudayaan”. Hadir dalam kesempatan itu adalah dosen dan mahasiswa UNW Mataram, Uhamzan Lombok Timur, Rektor STAHN Mataram, Perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota Mataram, perwakilan dari Taman Budaya Provinsi NTB, mahasiswa Unram, dan civitas akademik UNU NTB.
Tampil sebagai pemateri Dr. Nuriadi,SS.,M.Hum. mengungkap tentang realitas budaya yang hidup pada lingkungan sosialnya. Sebagai satu ruang kebudayaan, Lombok hidup dengan begitu banyaknya wacana budaya. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah, bahwa hal itu kurang begitu disadari. Kesadaran akan dirinya sebagai masyarakat Lombok itu muncul ketika hadir pada ruang interaksi. Pengalamannya tinggal di Jawa ketika menjalani studi, menjadi satu titik untuk menuja pada kesadaran budaya. Masyarakat Jawa dalam ruang kenangnya menjadi satu cermin untuk menggali “kedirian”. Melalui interaksi dan komunikasi, ia mencoba mengkomparasikan berbagai realitas budaya pada daerah asalnya. Melalui hal itulah kemudian, kesadaran untuk semakin mengetahui tentang segala wacana diri menjadi menarik untuk dipahami dan lebih didalami. Pada konteks ini, pendidikan menjadi satu “ruang” yang menstimulasi hadirnya kesadaran akan kebudayaan.
Tidak dipungkiri, bahwa kebudayaan sebenarnya adalah realitas yang terus hidup dan berkembang sesuai dengan ruang dan waktu bersama sifat evolutifnya. Tentu pemahaman ini cukup kontra dengan berbagai pandangan akan punahnya “suatu” kebudayaan masyarakat. Kekhawatiran masyarakat bahwa budaya mengalami banyak kemunduran dan akan punah pada satu waktu tentu akan tidak berdasar jika kita memahami sifat budaya yang demikian. Jika kemudian tidak tampak lagi realitas budaya dalam konteks kehidupan masyarakat, tentu hal itu tidak menjelaskan bahwa realitas itu hilang melainkan berubah ataupun tergantikan. Tergantikan dengan hal-hal baru yang itu akan lebih dapat mengakomodasi pemikiran masyarakat pada kesesuaian ruang dan waktu. Dicontohkan dalam kehidupan masyarakat Sasak misalnya, yang mengenal pembagian kelas atau strata sosial dalam masyarakat. Golongan bangsawan dan bukan bangsawan yang ditentukan oleh garis keturunan atau faktor genetik. Di masa mendatang, tidak ada yang sanggup menjamin bahwa hal itu akan selamanya dipertahankan masyarakat. Mungkin jadi ketika masyarakat menilai hal itu tidak lagi dibutuhkan, tentu dengan sendirinya akan berubah atau tergantikan.
Di dalam konteks perubahan kebudayaan, pendidikan memiliki peran sebagai ruang untuk merekayasa budaya. Melalui wacana dan pemikiran logis di ruang akademis, berbagai realitas kebudayaan baru perlu dibentuk atau direkayasa untuk menggantikan realitas budaya masyarakat yang dinilai tidak lagi relevan. Ruang pendidikan semacam menjadi laboratorium dalam konteks pembangunan kebudayaan. Pun di sisi lain, ruang pendidikan ini dapat menjadi satu ruang pergerakan kebudayaan untuk mengembangkan kebudayan yang telah ada. Karena untuk mengembangkan kebudayaan pada kenyataannya dibutuhkan adanya gerakan bersama. Merekonstruksi berbagai realitas yang ada dengan tetap menimbang soal kesesuaian.
Sesi kedua materi tentang wacana reflektif disampaikan oleh Dr. Aton Rustandi Mulayan,M.Sn.. Seluruh masyarakat Indonesia mungkin merasakan bagaimana pendidikan di Indonesia dibangun. Bahwa sampai hari ini begitu banyak potensi budaya bangsa yang diputus kesinambungannya oleh kebijakan negara. Di mana pendidikan di Indonesia ini hanya diarahkan pada dua bidang besar yakni ruang eksakta dan sosial. Dari mulai pencanangan pendidikan dasar hingga menengah, pendidikan mengarah pada dua bidang tersebut. Sedangkan dalam realitas sosial, masyarakat memiliki potensi berbeda antara satu dengan lainnya. Bagaimana kemudian potensi itu sepanjang menempuh pendidikan formal tidak mendapat asupan cukup untuk berkembang dan dikembangkan. Orang dipaksa untuk menekuni hanya dua bidang itu, sehingga apa yang menjadi potensinya tidak terasah dengan baik. Ketika keluar dari ruang pendidikan, pada kenyataannya mereka tidak hanya dihadapkan dengan dua bidang besar tersebut. Mereka kembali pada ruang kompleksitas (baca: budaya) yang lebih beragam. Dalam pemahaman ini, pendidikan sedikit banyak dinilai “mereduksi” dalam wacana pembangunan kebudayaan. Hal ini yang kemudian perlu untuk digaris bawahi, ditafsir ulang, dan direkonstruksi untuk mendapatkan formulasi tepat dalam implementasi wacana pendidikan (baca: kurikulum). Sehingga dalam pencanangan pendidikan (khususnya formal) kurikulum yang disusun mampu mengakomodir segala potensi kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Jika hal itu dapat terimplementasi dengan baik, tentu setiap orang akan dapat merencanakan sejak dini untuk berkontribusi dalam pembangunan kebudayaan. Tidak kemudian terlalu lama terkungkung dalam bias eksakta dan ilmu sosial selama menjalani pendidikan di ruang formal.
Tidak dipungkiri masih banyak stigma yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ketika berbicara kebudayaan cenderung mengarah pada satu soal yaitu seni. Kebudayaan pada kenyataannya memiliki banyak unsur atau aspek, yang tidak hanya melulu berbicara soal seni. Tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan, sistem religi, bahasa, teknologi, dan lain sebagainya. Artinya jika berbicara kebudayaan, sebenarnya kita tengah berbicara tentang manusia secara utuh. Maka dengan demikian, persoalan kebudayaan tidak hanya menjadi tanggung jawab bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia seni. Melainkan juga menjadi tanggung jawab bagi setiap manusia sesuai dengan bidang yang ditekuni. Bahwa setiap orang dapat memberikan sumbang sihnya dalam pembangunan kebudayaan sesuai dengan sudutnya, untuk menghadirkan pembangunan secara utuh dan menyeluruh. Di dalam konteks ini, ruang “pendidikan” merupakan satu titik untuk menumbuhkan kesadaran. Pendidikan menjadi satu titik munculnya kesadaran diri atas peran dalam membangun kebudayaan agar tetap dinamis terhadap perubahan ruang dan waktu.
Sumber: Kampung Media
Tampil sebagai pemateri Dr. Nuriadi,SS.,M.Hum. mengungkap tentang realitas budaya yang hidup pada lingkungan sosialnya. Sebagai satu ruang kebudayaan, Lombok hidup dengan begitu banyaknya wacana budaya. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah, bahwa hal itu kurang begitu disadari. Kesadaran akan dirinya sebagai masyarakat Lombok itu muncul ketika hadir pada ruang interaksi. Pengalamannya tinggal di Jawa ketika menjalani studi, menjadi satu titik untuk menuja pada kesadaran budaya. Masyarakat Jawa dalam ruang kenangnya menjadi satu cermin untuk menggali “kedirian”. Melalui interaksi dan komunikasi, ia mencoba mengkomparasikan berbagai realitas budaya pada daerah asalnya. Melalui hal itulah kemudian, kesadaran untuk semakin mengetahui tentang segala wacana diri menjadi menarik untuk dipahami dan lebih didalami. Pada konteks ini, pendidikan menjadi satu “ruang” yang menstimulasi hadirnya kesadaran akan kebudayaan.
Tidak dipungkiri, bahwa kebudayaan sebenarnya adalah realitas yang terus hidup dan berkembang sesuai dengan ruang dan waktu bersama sifat evolutifnya. Tentu pemahaman ini cukup kontra dengan berbagai pandangan akan punahnya “suatu” kebudayaan masyarakat. Kekhawatiran masyarakat bahwa budaya mengalami banyak kemunduran dan akan punah pada satu waktu tentu akan tidak berdasar jika kita memahami sifat budaya yang demikian. Jika kemudian tidak tampak lagi realitas budaya dalam konteks kehidupan masyarakat, tentu hal itu tidak menjelaskan bahwa realitas itu hilang melainkan berubah ataupun tergantikan. Tergantikan dengan hal-hal baru yang itu akan lebih dapat mengakomodasi pemikiran masyarakat pada kesesuaian ruang dan waktu. Dicontohkan dalam kehidupan masyarakat Sasak misalnya, yang mengenal pembagian kelas atau strata sosial dalam masyarakat. Golongan bangsawan dan bukan bangsawan yang ditentukan oleh garis keturunan atau faktor genetik. Di masa mendatang, tidak ada yang sanggup menjamin bahwa hal itu akan selamanya dipertahankan masyarakat. Mungkin jadi ketika masyarakat menilai hal itu tidak lagi dibutuhkan, tentu dengan sendirinya akan berubah atau tergantikan.
Di dalam konteks perubahan kebudayaan, pendidikan memiliki peran sebagai ruang untuk merekayasa budaya. Melalui wacana dan pemikiran logis di ruang akademis, berbagai realitas kebudayaan baru perlu dibentuk atau direkayasa untuk menggantikan realitas budaya masyarakat yang dinilai tidak lagi relevan. Ruang pendidikan semacam menjadi laboratorium dalam konteks pembangunan kebudayaan. Pun di sisi lain, ruang pendidikan ini dapat menjadi satu ruang pergerakan kebudayaan untuk mengembangkan kebudayan yang telah ada. Karena untuk mengembangkan kebudayaan pada kenyataannya dibutuhkan adanya gerakan bersama. Merekonstruksi berbagai realitas yang ada dengan tetap menimbang soal kesesuaian.
Sesi kedua materi tentang wacana reflektif disampaikan oleh Dr. Aton Rustandi Mulayan,M.Sn.. Seluruh masyarakat Indonesia mungkin merasakan bagaimana pendidikan di Indonesia dibangun. Bahwa sampai hari ini begitu banyak potensi budaya bangsa yang diputus kesinambungannya oleh kebijakan negara. Di mana pendidikan di Indonesia ini hanya diarahkan pada dua bidang besar yakni ruang eksakta dan sosial. Dari mulai pencanangan pendidikan dasar hingga menengah, pendidikan mengarah pada dua bidang tersebut. Sedangkan dalam realitas sosial, masyarakat memiliki potensi berbeda antara satu dengan lainnya. Bagaimana kemudian potensi itu sepanjang menempuh pendidikan formal tidak mendapat asupan cukup untuk berkembang dan dikembangkan. Orang dipaksa untuk menekuni hanya dua bidang itu, sehingga apa yang menjadi potensinya tidak terasah dengan baik. Ketika keluar dari ruang pendidikan, pada kenyataannya mereka tidak hanya dihadapkan dengan dua bidang besar tersebut. Mereka kembali pada ruang kompleksitas (baca: budaya) yang lebih beragam. Dalam pemahaman ini, pendidikan sedikit banyak dinilai “mereduksi” dalam wacana pembangunan kebudayaan. Hal ini yang kemudian perlu untuk digaris bawahi, ditafsir ulang, dan direkonstruksi untuk mendapatkan formulasi tepat dalam implementasi wacana pendidikan (baca: kurikulum). Sehingga dalam pencanangan pendidikan (khususnya formal) kurikulum yang disusun mampu mengakomodir segala potensi kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Jika hal itu dapat terimplementasi dengan baik, tentu setiap orang akan dapat merencanakan sejak dini untuk berkontribusi dalam pembangunan kebudayaan. Tidak kemudian terlalu lama terkungkung dalam bias eksakta dan ilmu sosial selama menjalani pendidikan di ruang formal.
Tidak dipungkiri masih banyak stigma yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ketika berbicara kebudayaan cenderung mengarah pada satu soal yaitu seni. Kebudayaan pada kenyataannya memiliki banyak unsur atau aspek, yang tidak hanya melulu berbicara soal seni. Tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan, sistem religi, bahasa, teknologi, dan lain sebagainya. Artinya jika berbicara kebudayaan, sebenarnya kita tengah berbicara tentang manusia secara utuh. Maka dengan demikian, persoalan kebudayaan tidak hanya menjadi tanggung jawab bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia seni. Melainkan juga menjadi tanggung jawab bagi setiap manusia sesuai dengan bidang yang ditekuni. Bahwa setiap orang dapat memberikan sumbang sihnya dalam pembangunan kebudayaan sesuai dengan sudutnya, untuk menghadirkan pembangunan secara utuh dan menyeluruh. Di dalam konteks ini, ruang “pendidikan” merupakan satu titik untuk menumbuhkan kesadaran. Pendidikan menjadi satu titik munculnya kesadaran diri atas peran dalam membangun kebudayaan agar tetap dinamis terhadap perubahan ruang dan waktu.
Sumber: Kampung Media
Kebudayaan Sebenarnya adalah Realitas yang Terus Hidup dan Berkembang Sesuai Sifat Evolutifnya
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
November 07, 2017
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar