Russell adalah figur pemikir bebas dan filosof yang kontroversial. Karya-karyanya terkenal luas dalam berbagai bidang, dari filsafat, bahasa, politik, sains, hingga agama. Meski dikenal dengan pandangannya yang keras dan kritis terhadap agama, namun sosiolog Max Weber justru menyebutnya sebagai ‘laki-laki kalem yang religius’. Ribuan pembacanya bahkan menganggap Russell sebagai guru spiritual yang sederajat dengan tokoh-tokoh mistik seperti Tagore, Albert Schweitzer, dan guru spiritual lain di jaman kita, dewasa ini, khususnya yang ada di Barat.
Agama adalah tema dari esai-esainya yang terkenal seperti ‘Ibadat Manusia Merdeka’ atau ‘Esensi dan Dampak Agama’, serta nampak jelas dalam karya-karyanya yang sudah matang tentang sosiologi dan politik seperti Prospects of Industrial Civilization. Bahkan beberapa karyanya dalam bidang matematika dan filsafat ilmu berisi spekulasi tentang realitas alam spiritual yang terlepas dari indera. Agama nampak jelas dalam fiksi yang tidak diterbitkan, yang ditulisnya di awal abad ke-20 serta fiksi yang ia terbitkan di usia tuanya. Sepanjang hidupnya memang Russell mendekati agama, sekali lagi, sebagai seorang filosof, sejarawan, kritikus sosial, dan individu. Baginya, dalam kritikannya yang sangat pedas, agama tak ubahnya sebagai penyakit yang timbul dari rasa takut da sebagai sumber penderitaan yang tak terungkapkan bagi umat manusia.
Mirip dengan Emile Durkheim (pemikir Perancis) ataupun William James (pemikir Amerika), Bertrand Russell pun mengungkapkan bahwa ada dua jenis agama, yaitu agama institusional dan agama personal. Agama yang mempengaruhi masyarakat dan kehidupan publik adalah agama institusional, dan agama yang mempengaruhi keyakinan (faith) dalam hati dan sikap adalah agama personal.
Agama Institusional
Agama institusional muncul dalam dua cara, yaitu agama yang diwariskan dari jaman sebelumnya yang asal-usulnya tidak diketahui, dan agama yang didirikan oleh individu dan yang asal-usulnya bisa ditelusuri. Sebagian besar saat ini agama masuk dalam kategori kedua. Agama-agama yang diwariskan dari jaman kuno yang tercatat dalam sejarah relatif sedikit; contoh yang ada adalah chendu di Jepang, adat-istiadat keagamaan seperti penyembahan langit dan bumi di China pra-Konfusian, kepercayaan-kepercayaan pra-Buddhis di India, dan Yudaisme yang mendahului Kristianitas, bahkan ajaran Kristianitas sebelum agama Islam, dan sebagainya.
‘Agama-agama pribumi’ yang diwariskan dari jaman kuno berbeda dari ‘agama-agama sejarah’ – agama-agama besar dunia seperti Budhisme, Islam, Kristen, dan Marxisme. Dalam satu hal, berbagai agama pribumi tidak bisa dibandingkan karena mereka terbatas pada satu kebudayaan dan hanya diwariskan dari generasi ke generasi. Tetapi masing-masing agama besar mengklaim bahwa hanya ajarannya saja yang benar dan semua ajaran lainnya sesat. Masing-masing ingin menyebarkan ajarannya ke seluruh belahan dunia. Bagi masyarakat China sulit memahami bahwa keragaman agama tidak bisa hidup berdampingan karena, di China, Budhisme, konfusionisme, dan kredo-kredo lain bisa dipeluk secara bersamaan dan masing-masing toleran pada yang lain. Masyarakat Barat, sebaliknya, menganggap agama mereka mempunyi kebenaran mutlak sesudah mereka meyakininya. Agama-agama asing ditolak, dan, sebagai akibat agama-agama yang bersaing tidak bisa hidup berdampingan maka timbullah banyk perang agama.
Fakta ketidak-toleranan semacam ini sebenarnya berakar dari agama Yudaisme, yang berkembang sebelumnya di Barat. Pengaruhnya kemudian merambah ke agama Kristen dan Islam, yang keduanya menggunakan metode yang sama. Jadi, singkatnya, agama isntitusional tidak hanya mempunyai tradisinya sendiri tetapi juga menganggap agama lain sebagai ‘sesat’, dan menginginkan seluruh dunia mempercayai bahwa ia adalah satu-satunya lumbung kebenaran sementara agama lain adalah salah.
Agama Personal
Agama personal erat kaitaya dengan perilaku seseorang. Agama ini identik dengan religiusitas yang ditampilkan sesorang dalam bertutur, bersikap, dan berperilaku dalam kesehariannya.
Russell menyatakan bahwa, dalam agama, jika seseorang percaya bahwa keinginan manusia adalah bagian yang tidak penting dari alam semesta, jelas ini akan dinggap sebagai ‘tidak religius’. Dalam agama memang keinginan manusi adalah penting, dan dari perspektif ini, alam semesta dianggap sebagai sesuatu yang ada untuk manusia. Apa yang membuat kita sangat nyaman dalam agama, ungkap Russell, adalah bahwa agama mengedepankan pandangan egois berupa keinginan manusia bukanlah hal sepele tetapi merupakan konsekuensi besar dalam alam semesta.
Dalam sains juga terdapat banyak kepercayaan. Tetapi kepercayaan dalam sains berbeda dari kepercayaan dalam agama. Kepercayaan ilmiah tidak dipandang secara dogmatis. Dalam hal ini, Russell hendak mengatakan bahwa agama merupakan kepercayaan dengan dogma yang mengarahkan perilaku manusia dan tidak didasarkan atas – atau bertentangan dengan – bukti yang riil, dan bahwa metode yang digunakan oleh agama untuk mengarahkan pikiran manusia didasarkan pada perasaan atau kekuatan daripada akal.
Lantas Russell mempertanyakan, apakah ada sesuatu yang esensial pad agama yang bisa dipertahankan sesudah dogma yang membahayakan lenyap? Russell mengatakan tidak ada. Di antara agama-agama yang ada saat ini, menurut Russell, Budhisme adalah yang terbaik. Doktrin-doktrin Budhisme mendalam, hampir semuanya masuk akal, dan secara histories paling kecil bahaya dan kekejamannya. Hal ini karena Budhisme tidak benar-benar mencari kebenaran. Ia menggugah perasaan dan, pada akhirnya, mencoba mengajak manusia meyakini doktrin yang didasarkan pada asumsi subyektif bukan bukti obyektif. Jadi singkatnya, agama personal ini mengarah kepada keyakinan yang merasuk ek dalam perasaan seseorang yang diterima secara subyektif sehingga mempolakannya menjadi religius dalam perilaku. Agama itu bersifat amat menggugah dalam diri seseorang, bukan bersifat dogmatis yang cederung memaksa serta taat pada aturan untuk melaksanakannya. Akhirnya, Russell pun berkata bahwa satu-satunya jalan menuju pembebasan penderitaan manusia adalah meninggalkan harapan akan kebahagiaan pribadi dan meleburkan diri dengan keinginan akan hal-hal yang abadi.
Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
Agama di Mata Seorang Bertrand Russell
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
November 13, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar