NGOMONG NGALOR-NGIDUL: Dari Pluralisme, Islam di Amerika, sampai Sekelumit Fakta di NTB


Istilah 'pluralisme' sudah sangat jamak kita dengar dalam beberapa tahun terakhir ini. Istilah ini muncul seiring sebegitu massifnya dan sporadisnya peristiwa konflik sosial yang terjadi di hampir setiap daerah di Indonesia, termasuk di daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini. Konflik ini terjadi tidak sedikit dipicu oleh isu SARA dan agama, khususnya karena perbedaan cara pandang dan praktek beragama.

Pluralisme yang dipahami sebagai suatu keaneka-ragaman dalam kehidupan sosial budaya sebenarnya merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Ia sejatinya terjadi secara alamiah dan abadi. Ia ada dalam setiap denyut nadi kehidupan bermasyarakat manusia. Karena itulah, yang menjadi tugas utama kita yang hidup di tengah kenyataan pluralitas itu ialah, meminjam istilah Aa’ Gym, bagaimana cara kita mensikapi dan memanfaatkannya sebagai sumber daya positif demi kehidupan kita lebih baik ke depan.

Sebagai salah satu faktor pemicu terjadinya konflik sosial di daerah kita dewasa ini, pluralisme agama sebaiknya patut kita kedepankan pada forum diskusi kita kali ini. Hal ini dimaksud semoga kita bisa memberi kontribusi positif bagi kedamaian daerah kita ini mengingat sejauh ini pihak-pihak yang memiliki otoritas mengatasi persoalan ini tampaknya masih meraba-raba dalam mencari pemecahan yang efektif. Untuk itulah, marilah kita coba menengok sebentar ke bangsa lain, bangsa Amerika, semoga kita bisa mengambil hikmah tentang apa dan bagaimana seharusnya kita mensikapi kenyataan sosial-budaya ini.

****
Persoalan tentang pluralisme bukan hanya dialami oleh bangsa Indonesia, ataupun daerah kita saja, tetapi juga negara besar seperti Amerika pun menghadapi hal serupa. Fakta pluralisme beragama bagi Amerika muncul sejak awal-awal terbentuknya bangsa ini, sekitar abad ke-16, yakni masa-masa kaum Peziarah (the Pilgrims) menginjakkan kaki di daratan Amerika tepatnya di daerah Plymouth, Massachussett. Konflik sosial-politik terjadi di daerah ini disebabkan karena pemberlakuan hukum masyarakat secara ketat dan kaku. Hukum itu bersumber sepenuhnya dari ajaran agama, yang dipegang oleh seorang pemimpin sekaligus pemuka agama, seperti tokoh-tokoh penghunian pertama Amerika, William Bradsford dan John Winthrop dengan konsep A City Upon Hill-nya. Pemberlakuan hukum sedemikian kaku dan ketat itu tergambar secara faktual dalam sebuah novel karya Nathaniel Hawthorne berjudul The Scarlet Letter.

Agama menjadi sumber hukum tertinggi dalam masyarakat Puritan. Wujud praktis aturan agama berada pada seorang pemimpin. Apa yang dilakukan dan diucapkan oleh pemuka agama ialah hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat umum. Oleh karena itu, antara sentimen personal dengan aturan yang sepantasnya ditegakkan sering kali dicampur-adukkan. Warga yang memiliki pandangan dan perilaku berbeda tidak diperkenankan. Mereka secara total harus tunduk pada apa yang diindoktrinasikan dalam ajaran Puritanisme.

Kenyataan seperti ini kemudian berkembang secara eksesif sehingga menimbulkan konflik sosial secara laten pula. Tak dipungkiri lagi, agama lama-kelamaan dianggap sebagai pembelenggu, bahkan momok, yang menjadi penghalang kemajuan setiap warganya. Karena itu, rentetan demi rentetan konflik terjadi, sehingga akhirnya supaya konflik bisa teratasi dengan baik, maka urusan agama dan urusan publik dan/atau politik mulai dipisahkan. Terbukti, pemegang otoritas agama dan otoritas politik dipegang oleh dua orang secara terpisah. Di sinilah kemudian praktek pluralisme dan multikulturalisme mulai berlangsung dan atau dikedepankan di Amerika, meskipun memang membutuhkan waktu yang amat lama dan mengalami berbagai gesekan sosial historis.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, Amerika Serikat mampu keluar dari berbgai gesekan tersebut dan lahir menjadi negara yang sangat besar di mata internasional. Hal ini, salah satunya, disebabkan karena negara ini mampu mengelola wujud pluralisme yang menjadi realitas historis dan sosiologis negara ini bisa dikelola dengan baik. Perlu diketahui bahwa, seperti yang diungkapkan oleh Martin E. Marty, bahwa negara ini merupakan gabungan dari seluruh bangsa, agama, dan denominasi yang ada di dunia, termasuk bangsa Indonesia dan agama Islam. Semuanya ada di negara ini, sehingga semboyan negara ini ialah E Pluribus Unum (dari banyak menuju satu).

Pluralisme, pada konteks ini, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan eksistensi negara ini dewasa ini. Berbagai kebijakan politik dan publik yang diluncurkan pemerintah mau tidak mau harus bisa merangkul setiap entitas yang ada di negara ini. Fakta seperti ini menyulut tumbuh-suburnya setiap agama dan denominasi mencari massa atau pun pengikut di setiap pelosok negeri, termasuk agama Islam sendiri. Kenyataan ini berhasil dipotret oleh Diana L. Eck, seorang dosen di Universitas Harvard, dalam bukunya berjudul Amerika Baru yang Religius (terjemahan) dengan mengatakan:

Sebuah kubah masjid yang besar berwarna putih dengan menara-menaranya tampak menjulang di antara lading-ladang jagung di luar kota Toledo, Ohio. Bangunan ini akan terlihat apabila anda melewati jalan antar negara bagian. Sebuah kuil Hindu yang besar dengan relief gambar gajah di pintu masuknya berdiri di lereng bukit di sebelah barat pinggiran kota Nashville, Tennessee. Sebuah kuil dan biara milik pemeluk Budha asal Kamboja dengan bentuk atap yang berciri khas Asia Tenggara terletak di lahan pertanian di sebelah selatan kota Minneapolis, Minnesota. Di pinggiran kota Fremont, California, tampak bendera-bendera di atas kubah berwarna keemasan dari sebuah gurdwara (tempat ibadah kaum Sikh) di daerah Hillside Terrace.

Gambaran kenyataan seperti di atas memperlihatkan betapa Amerika sangat menempatkan pluralitas agama dengan pengikutnya yang berasal dari ras yang berbeda-beda telah menyatu padu meskipun setiap entitas masih tetap mempertahankan kekhasan mereka masing-masing.

Untuk itu, bagi Amerika, pluralisme merupakan bahasa yang bukan saja berbicara tentang perbedaan tetapi juga tentang komitmen, keterlibatan, dan partisipasi. Pluralisme adalah mengenai pertukaran, dialog, dan perdebatan. Pluralisme adalah bahasa tentang orkes simfoni dan ansambel jazz. Dengan fakta ini, Amerika berada pada sebuah proses yang dinamis di mana setiap kelompok atau elemen yang berbeda berusaha saling terlibat memberi andil dengan memperlihatkan kelebihan masing-masing. 

Sejalan dengan pernyataan di atas, pada akhir tahun 1950-an seorang pemikir Katholik yang bernama John Courtney Murray melukiskan pluralisme warga negara Amerika sebagai hubungan yang aktif dari orang-orang dengan keyakinan agama yang berbeda di sekeliling ‘meja bersama’ yang biasa digunakan untuk berdiskusi dan berdebat. Ia melihat bahwa kesepakatan dari perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat yang pluralistik tidak berpola pada struktur pertentangan, melainkan pada struktur dialog. Hal ini penting bagi segenap warga Amerika yang beragama sehingga mereka betul-betul bisa meneguhkan imannya bukan karena faktor kebiasaan dan keturunan saja, tetapi dengan keimanannya itu menjadikan mereka semakin mengerti posisi dirinya di dalam konteks dialog dengan orang-orang dari agama yang berbeda.

Pada tahun 1988, guna memperingati dua ratus tahun usia Konstitusi, Yayasan Piagam Williamsburg menyusun “Piagam Williamsburg”, sebagai penegasan ulang akan prinsip-prinsip kebebasan agama yang tertulis di dalam Pernyataan Hak-Hak Asasi, yang ditanda-tangani oleh wakil-wakil dari pemerintah, lembaga hukum, pendidikan, dan bisnis, juga wakil-wakil dari komunitas Kristen, Yahudi, Muslim, dan Budha. Bagian pembukaannya diakhiri dengan kata-kata yang mengandung cita-cita dari piagam itu untuk menjadi landasan dari pluralisme warga negara: “Dengan demikian, keragaman bukanlah titik lemah melainkan sebuah sumber kekuatan.”

Intinya, setiap komunitas atau pun entitas penyangga keragaman atau pluralisme di Amerika berupaya keras menuju sebuah komitmen bahwa agama tertentu merupakan sebuah jalan yang masing-masing mereka tempuh, dan mereka sepakat bahwa agama atau denominasi yang dipeluk setiap entitas adalah benar serta merupakan salah satu cara (media) untuk mencapai kedamaian dan keselamatan hidup. Dengan kesadaran semacam inilah, konsep E Pluribus Unum sebagai semboyan negara ini benar-benar bisa dipraktekkan di tingkat masyarakat umum. Nah, mengapa kita di sini tidak demikian? 

****
Keberadaan Islam sekarang tidak lagi bisa dipandang sebelah mata di Amerika. Ia menjadi salah satu agama yang paling diminati oleh masyarakat Amerika berdampingan dengan Kristen dan Yahudi. Alwi Shihab mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, agama yang satu ini melaju ke permukaan dengan pesat dan menjadi fenomena paling menarik untuk dicermati, terlebih banyak masyarakat dunia terkaget dengan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Islam dapat berkembang dengan baik di Amerika. Ia bahkan memperkirakan bahwa Islam akan menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen di negeri ini, sebab dari data sementara (sekitar enam juta jiwa), perkembangan dan geliat umat Islam ternyata mendahului umat Yahudi yang sebelumnya menjadi agama kedua di Amerika. Di samping itu, masyarakat Amerika juga telah melahirkan banyak tokoh di antaranya: Elijah Muhammad, Malcolm X, Imam Warith D. Muhammad (anak Elijah), Louis Farakhan, dan lain sebagainya. Bahkan belakangan ini masyarakat dunia juga mengenal Syaikh Hisyam Kabbani, seorang pemimpin Thariqat Naqsabandiyah di Amerika Serikat. 

Kehadiran Islam di negara ini tidak terlepas dari pesatnya imigrasi pendatang Muslim dari negara-negara Timur-Tengah yang dimulai sekitar akhir abad ke-19, yang sebelumnya dipicu oleh kebijakan pemerintah Amerika dalam menerima para imigran itu sebagai warga negaranya. Bahkan jauh-jauh hari sebelum itu, Jane Smith mencatat bahwa Islam sebenarnya sudah masuk ke Amerika pada jaman perdagangan budak sebelum Perang Saudara (1861-1865) yang dibawa dari berbagai negara di Afrika. Akan tetapi jumlah mereka tidaklah pasti, dan mungkin hal ini sengaja dinihiliskan dalam sejarah Amerika karena secara de facto bangsa Amerika kulit putih hingga saat ini masih tetap memandang orang-orang Afrika (kemudian dikenal dengan: Afro-Amerika) berderajat rendah. Bahkan sebagian kelompok masyarakat tetap berkeyakinan bahwa bangsa kulit hitam memang ditakdirkan Tuhan untuk menjadi pelayan orang-orang kulit putih.

Sebenarnya migrasi kaum Muslim ke Amerika terjadi dalam beberapa tahap atau periode. Periode pertama terjadi antara tahun 1875 sampai tahun 1912 dari wilayah yang saat itu dikenal Siria Barat di bawah pemerintahan Kekaisaran Ottoman, pada saat ini termasuk negara Siria, Yordania, Palestina, dan Libanon. Mayoritas kaum imigran dari Timur Tengah ini adalah beragama Kristen, meskipun juga terdapat imigran Muslim Sunni, Syiah, Alawi, dan Druze. Periode kedua datang di akhir Perang Dunia I setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman itu. Banyak orang yang datang saat itu adalah kerabat orang-orang Muslim yang telah lebih dahulu berimigrasi dan memiliki penghidupan di Amerika Serikat.

Selama periode ketiga, yang berlangsung hampir sepanjang tahun 1930-an, imigrasi dibuka secara khusus hanya bagi kerabat dari orang-orang yang telah lebih dahulu tinggal di Amerika. Pada periode keempat, yang berlangsung dari tahun 1947-1960, terjadi peningkatan besar jumlah imigran. Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1953 memberikan kuota imigran setiap tahun untuk setiap negara. Dan periode terakhir terjadi terkait dengan keputusan-keputusan internal Amerika Serikat dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sebagian dunia Islam. Pada tahun 1965 Presiden Lyndon Johnson menandatangani undang-undang imigrasi yang membatalkan kuota berdasarkan keberagaman suku bangsa penduduk Amerika Serikat.

Kaum Muslim di Amerika sudah ada di setiap negara bagian, yang umumnya tersatukan dengan sebuah wadah organisasi yang mereka bentuk sendiri. Pembentukan wadah bagi kelompok minoritas di Amerika sebenarnya merupakan hal yang sudah sangat lumrah terjadi, bukan hanya kaum Muslim saja tetapi kaum kulit hitam (Afro-Amerika) atau kaum pendatang dari Asia ataupun Amerika Latin melakukan hal serupa. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mempersatukan rasa emosional mereka di samping untuk lebih mudah menunjukkan eksistensi mereka sehingga diakui oleh masyarakat sekitarnya.

Misalnya, di Michigan City, Indiana, didirikan semacam Pusat Islam pada tahun 1914 yang anggotanya kebanyakan orang Siria dan Libanon yang bekerja di bidang perdagangan. Di New York, penduduk Muslim mendirikan American Mohammedan Society (Masyarakat Amerika Serikat Pengikut Muhammad) yang tepatnya dibentuk di Brooklyn pada tahun 1907. Pada tahun 1950-an masyarakat tersebut menyatakan telah memiliki anggota sekitar empat ratus orang. Sementara di Chicago, umat Muslim aktif dalam memperkenalkan agama mereka, dengan menyediakan beragam jasa dan pelayanan bagi masyarakat Islam, dan dalam pergaulan dengan sesama Muslim dan non-Muslim sehingga terbina hubungan yang baik.

Islam pun tidak hanya dipeluk oleh kaum imigran dari Timur-Tengah ataupun warga Amerika yang berkulit putih saja, ia pun diakui dan diterima sebagai agama mayoritas bagi warga Amerika kulit hitam. Sebagaimana yang telah diutarakan di atas, Islam pun sebenarnya dibawa oleh kelompok masyarakat terakhir ini. Artinya, Islam dan tradisinya sudah sangat dekat dan dikenal oleh mereka. Terbukti, pada masa-masa Civil Rights Movement tepatnya pada tahun 40-an, Islam menjadi sumber roh perjuangan bagi sejumlah kelompok masyarakat kulit hitam di Amerika, sehingga muncullah tokoh-tokoh Islam Amerika dari kulit hitam seperti Elijah Muhammad, Malcolm X, Louis Farakhan, dan seterusnya. Sebagaimana yang mereka pahami, Islam mengangkat derajat semua kaum di dunia ini, serta tidak memperbolehkan adanya perbudakan antara satu kaum dengan yang lain. karena itulah, mereka pun merapatkan barisan dengan membentuk organisasi seperti Nation of Islamdidirikan oleh Elijah Muhammad, Muslim Mosque Inc. didirikan oleh Malcolm X, Fruit of Islamdidirikan oleh Wallace Muhammad, dan sebagainya. Dengan berbagai bentuk perjuangan yang dilakukannya, orang-orang Afro-Amerika Muslim ini pun mendapat perhatian dari pemerintah Federal dan Islam pun diakui keberadaannya sebgai bagian dari bangsa Amerika yang tak terpisahkan.

Hingga saat ini, Islam di Amerika telah mampu menunjukkan peran dan eksistensinya dalam semua aspek kehidupan Amerika. Ironisnya, meskipun terjadi peristiwa 11 September 2001, keberadaan Islam di Amerika justru semakin eksis dan tidak sedikit orang-orang yang dulunya membenci Islam malah berbalik arah dan memeluk Islam sebagai agamanya karena sejatinya Islam adalah agama cinta damai, bukan sebaliknya. Bahkan meningkat sekian persen dari sebelumnya, serta menjadi ancaman tersendiri bagi pihak-pihak yang sejak semula antipati terhadap Islam. Tepatnya, menurut New York Times, ada sepertiga (1/3) penduduk Muslim di Amerika adalah penduduk asli Amerika Serikat, dan ini terstimulasi oleh peristiwa WTC itu.

Patut diakui dan diacungi jempol bahwa orang-orang yang memeluk agama Islam sangat memiliki karakter yang toleran dan kompromistis dalam hubungan sosialnya. Mereka bahkan turut serta membangun peradaban Amerika sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Sebagai contoh di bidang pendidikan, mereka mendirikan International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Herndon, Virginia, dengan berupaya menerbitkan Social Studies Supplementary Teaching Units berupa kurikulum khusus ilmu-ilmu sosial untuk berbagai tingkatan kelas di Amerika. Pada tahun 1996 sekolah program S2 (graduate study) Muslim pertama di Amerika pun didirikan dengan nama School of Islamic and Social Sciences di Leesburg, Virginia juga. Hal yang kurang lebih sama pun dilakukan di daerah atau negara bagian lainnya.

****
Memang benar, membandingkan keadaan daerah kita, NTB, dengan Amerika Serikat adalah tentu tidaklah sebanding, terutama sekali dari perspektif teritorial/geografis dan jumlah serta keragaman penduduknya. Amerika adalah negara, sementara NTB adalah propinsi (atau bila di Amerika, bisa jadi menjadi sebuah negara bagian). Sekali lagi ini tidak sebanding! Dan bukan itu yang dimaksudkan di sini. 

Akan tetapi, yang ingin disampaikan di sini ialah negara Amerika yang sebegitu besarnya dengan berbagai ragam/pluralitas penduduk dan agamanya, toh konflik sosial dan kerusuhan masih bisa dihindari atau paling tidak bisa diminimalisir sedemikian rupa, namun di daerah kita yang justru secara teritorial dan pluralitas penduduknya tidak sperti itu, masih saja sering kali terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Konflik atau kerusuhan acap kali terjadi hanya gara-gara hal yang sepele kalau tidak karena faktor perbedaan pandangan dalam beragama. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Emile Durkheim, seorang sosiolog besar dari Perancis, pernah mengatakan bahwa sebenarnya masyarakat itu bisa dibedakan secara dikotomis menjadi dua kategori, yakni masyarakat mekanis (mechanic society) dan organis (organic society). Pada masyarakat mekanis, ciri khas bentukan komunitasnya ialah didasarkan pada ikatan emosional dengan pola solidaritasnya yang harus sama dan seragam. Sementara itu, pada masyarakat organis, bentukan komunitasnya didasarkan pada ranah rasionalitas, yang mana setiap individu atau pun kelompok individu cenderung lebih independen dan tidak mudah terprovokasi. Dengan kata lain, tokoh ini sebenarnya hendak mengatakan bahwa model masyarakat mekanis cenderung mencirikan masyarakat yang masih tergolong primordial, primitif, dan pedesaan semenatara masyarakat organis mencirikan masyarakat yang sudah maju, modern, dan perkotaan.

Mungkin semua orang di sini tidak akan menerima kalau mereka masih dinilai oleh orang lain sebagai orang-orang yang primordial, lebih-lebih primitif. Memang betul, secara penampilan fisik, kita sudah tidak jauh berbeda bahkan sama persis dengan pola hidup orang-orang maju seperti orang Amerika. Dan secara fisik pula, kita sudah berkehidupan ala masyarakat organis itu. Akan tetapi, secara mental kita tampaknya masih berkubang dalam pola masyarakat mekanis. Artinya, sebagian besar masyarakat kita masih belum bisa menerima sebuah kenyataan bahwa perbedaan dalam berpikir, berpaham ataupun bersikap itu adalah sesuatu hal yang pasti. Hal itu sudah bersifat alamiah. Berpandangan sama dengan orang lain memang baik dan satu syarat untuk mencapai kesepakatan, tetapi memberangus perbedaan di sebuah komunitas ini dengan cara-cara yang tidak manusia alias barbar adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dari sisi kemanusiaan.

Konkritnya, misalnya, janganlah gara-gara Fatwa MUI yang (masih) kontroversial itu, lantas hal ini sebagai legitimasi untuk menghujat atau memusuhi pandangan atau sikap orang yang mengucapkan “Selamat Natal” kepada kelompok masyarakat Nasrani. Janganlah karena perbedaan aliran beragama, kelompok masyarakat dominan seakan-akan “berhak” memberangus dan boleh main hukum sendiri terhadap kaum minoritas seperti kaum Salafyah ataupun Ahmadiyah ataupun kelompok masyarakat berbeda lainnya di daratan Lombok ini. Tahukah bahwa dengan sikap ini justru kita sedang mempertontonkan ketidakdewasaan kita sendiri? Tidakkah dialog yang intens akan jauh lebih beradab? Serta, pada konteks ini, penunjukkan sikap dan pandangan yang arif serta bijak (yang manusiawi) di dalam mensikapi perbedaan merupakan sebuah kemuliaan, serta bisa menjadi “modal besar” untuk mengatasinya. Bahkan tidak dipungkiri kelak di kemudian hari sikap seperti ini justru dapat menarik simpati mereka untuk bergabung ke pandangan pihak yang dominan dimaksud.

Iya, dengan sikap yang arif dan bermartabat adalah kunci pemecahan masalah juga terkait persoalan sosial ini. Artinya, kita hendaknya kondisikan diri kita dalam wujud komunitas organis, yakni kita memaksimalkan kekuatan pikiran atau rasionalitas kita daripada sentimen atau emosional sesaat. Intinya kita harus mengedepankan atau membuka ruang dialogdalam menuntaskan setiap persoalan perbedaan atau pluralitas sosial di daerah tercinta ini. Kalau tidak, maka selamanya kita akan mudah terpancing untuk melakukan anarkisme. Syukur, apabila dengan modal keimanan dan pemahaman Islam yang dimiliki, kita malah semakin bangkit untuk maju berjuang menyamai atau bahkan melebihi kemajuan bangsa lain seperti yang dilakukan kaum Afro-Amerika. 

Di sinilah, kita membutuhkan tokoh-tokoh intelektual untuk bekerja bersanding dengan pemerintah (kalau pemerintah sudah memahami akar persoalan ini dan memprogramkannya secara sistemik) melakukan pemberdayaan (empowerment) masyarakat kita sehingga mentalitas kita sebagai bagian dari bangsa majemuk menjadi makin rasional dan dewasa. Akhirnya pada posisi ini pulalah, arti pentingnya kita mencoba membaca dan belajar bagaimana Amerika Serikat mengelola pluralisme menjadi sebuah aset developmentalismenya sehingga agama Islam, kendati pun masih minoritas, bisa tumbuh subur dan diterima sebagai bagian dari unitas bangsa ini. Wallahu ‘alam.

#di University Plaza, DeKalb, Northern Illinois, Amerika Serikat#

Ditulia oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
NGOMONG NGALOR-NGIDUL: Dari Pluralisme, Islam di Amerika, sampai Sekelumit Fakta di NTB NGOMONG NGALOR-NGIDUL: Dari Pluralisme, Islam di Amerika, sampai Sekelumit Fakta di NTB Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on November 10, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.