Sejujurnya, saya sempat ragu dan takut menerima tawaran Saudara Dr. Salman Faris (Ketua Panitia) ketika beliau menelpon saya untuk “membedah” karya Imtihan Taufan (alm.) yang berjudul Interior Nikolo (2015) ini. Hal itu disebabkan karena (a) saya tidak kenal beliau dan tidak pernah kontak semasa hayat beliau, padahal salah satu syarat untuk dapat membahas sebuah karya sastra milik seorang sastrawan dengan cukup mendalam, arif, dan komprehensif adalah (hendaknya) disertai dengan pengetahuan yang cukup memadai tentang kehidupan dan sepak terjang sang sastrawan. Di samping itu, setakat dengan itu, (b) saya merasa masih banyak orang-orang yang lebih ahli di antara kita semua saat ini ketimbang saya untuk menjelentrehkan dan menakar karya kumpulan cerpen ini sehingga serpihan-serpihan pemikiran beliau dapat diformulasikan sebagai satu pemikiran yang utuh dari seorang cendikia brilian NTB yang banyak berkontribusi dalam dunia humaniora, khususnya dunia seni sastra dan pertunjukan NTB.
Meskipun demikian, saya akhirnya mengatakan “iya” kepada Saudara Dr. Salman Faris, setelah dia beberapa kali meyakinkan saya bahwa beliau dan kawan-kawan justru mencari “orang lain” yang tidak kenal Imtihan Taufan untuk membedah karyanya karena, dengan cara begitulah, diharapkan nantinya penilaian dan pembahasan terhadap karya tersebut dapat lebih obyektif, apa adanya, dan tentu tidak bias dalam konteks rasa ‘ewuh pakewuh’ atau hal-hal lainnya. Dengan demikian, dalam kerangka keterbatasan pengetahuan saya tentang beliau, saya memberanikan diri membahas karya beliau dengan sedikit menggunakan pendekatan struktural-obyektif[3], yakni pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dunia yang otonom atau ergosentrik. Dengan kata lain, pendekatan yang menitikberatkan pada fakta-fakta literer atau aspek intrinsik suatu karya sastra, yang tentu saja lepas dari aspek-aspek ekstrinsik, khususnya intensi atau minat tertentu dari si pengarang (expressive perspective) yang mensyaratkan kajiannya pada aspek biografis pengarangnya. Pada konteks ini, karya sastra bukanlah cerminan kehidupan biografis apa-adanya si pengarang, melainkan karya itu dapat dipandang sebagai semacam “intentional fallacy”[4] yang terlepas bebas dari kehidupan pengarangnya. Pada posisi inilah saya berani berbicara dan membicarakan karya Interior Nikolo ini. Semoga saya mampu.
******
Melihat pertama kali buku kumpulan cerpen ini, hal yang pertama membuat saya tertarik adalah judulnya, “Interior Nikolo”. Apa maksudnya judul ini? Apakah Nikolo itu nama orang/tokoh? Jika nama orang, Mengapa Nikolo? Mengapa tidak memakai nama yang umum dipakai orang Indonesia, atau nama yang dipakai orang Sasak? Dan seterus-seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan ini justru membuat saya semakin tertarik pada karya ini. Pertanyaan-pertanyaan ini, dalam perspektif teori sastra, merupakan wujud “horison harapan” (horizons of expectation) yang pernah dipopulerkan oleh Hans Robert Jauss[5]. Atas dasar itulah, kemudian saya tertarik untuk mencari jawaban khususnya terkait dengan arti nama “Nikolo”. Faktanya, Nikolo adalah nama umum[6] yang dipakai oleh masyarakat Barat/Eropa, khususnya Italia, sebagai sebutan lain dari nama Nicholas atau Nicholeus, salah satu nama tokoh terhormat yang disebut di dalam Kitab Injil. Sebelumnya, penggunaan nama ini telah umum dipakai di negeri Yunani untuk bayi-bayi laki-laki, yang berarti “people of victory” (orang pemenang). Dengan fakta ini, lantas pertanyaan pancingan selanjutanya dalam membaca karya ini adalah: “Apakah Nikolo yang digambarkan oleh Imtihan Taufan di karya ini seperti demikian, yaitu sebagai tokoh pemenang?” Dan “Pemenang dalam segi apa?” Demikianlah horison harapan yang memantik pembacaan saya selanjutnya.
Buku kumpulan cerpen ini terdiri dari 11 (sebelas) cerita pendek, yang kesemuanya ditokoh-utamakan oleh Nikolo. Dalam posisi ini, dari segi penampilannya, Imtihan Taufan cukup cerdik. Dia seakan-akan sedang membuat “pseudo-novella” (maaf, istilah saya sendiri, sok-sok gaya), yang berarti bahwa dengan ditokoh-utamakan oleh satu nama – Nikolo --, meskipun dengan cerita yang berbeda-beda di setiap cerpennya, dia seakan-akan mencoba menampilkan gambaran tokoh, alur cerita, dan karakterisasi tokohnya yang padu. Ini bisa menjebak kita apabila tidak dibaca atau hanya dilihat secara sepintas saja. Dalam konteks ini, Imtihan Taufan mencoba membuat “model baru” dalam pembukuan cerpen. Meskipun demikian, apapun alasannya, pembukuan cerpen seperti ini sama sekali bukanlah (tidak bisa dikatakan) novel atau roman karena tidak ada peng-alur-an yang padu dan suspensif sebagaimana umumnya ditemukan di dalam cerita roman atau novel. Untuk itu, sekali lagi, saya mengatakan karya ini ‘seakan-akan’ menyerupai penyuguhan cerita novel.
Penyuguhan yang ‘unik’ seperti ini justru melekatkan pada gejala absurditas. Kok bisa Nikolo, sebagai karakter, bisa muncul dengan gambaran sosok yang berbeda-beda di setiap cerita? Apakah Nikolo dalam satu cerita sama dengan Nikolo-Nikolo di cerita-cerita yang lain? Kalau sama, tentu tidak nalar. Ketidaknalarannya, di antaranya ialah, masak iya Nikolo berkali-kali menikah dengan sejumlah nama istri seperti Shinta Sarwinta (cerpen Kereta Langit Sudah Datang), Salina (cerpen Halusinasi Seorang Suami), Ira (cerpen Sebuah Rencana Pembunuhan), Risa (cerpen Bermain Sandiwara), Kratia (cerpen Anjing Mati Ditembak Kawannya), dan seterusnya. Selain itu, kemunculan tokoh Nikolo ini digambarkan dengan usia yang berbeda-beda serta dengan fitur karakterisasi, peran sosial, dan persoalan yang dihadapinya bervariatif satu dengan yang lain. Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa nama Nikolo hanyalah sekadar nama saja, yang oleh Imtihan Taufan memposisikannya tidak ubahnya bagaikan sebuah “gerbong kosong” yang dapat diisi oleh wujud manusia berikut karakternya yang berbeda-beda tergantung dari intensi dan inspirasi kreatif pengarangnya sendiri saat ditulis cerpen-cerpen tersebut. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan kemudian muncullah gambaran tokoh Nikolo yang bermacam-macam, yaitu Nikolo yang eksentrik, yang enigmatik, yang slenge’an, yang sadis, yang durhaka kepada orang tua, yang pencinta meski kurang romantis, dan bahkan yang tidak bertanggung jawab.
Gejala absurditas ini terus berlanjut ketika kita mencoba menelisik model pangaluran pada setiap cerpen. Bisa dikatakan bahwa cerpen-cerpen di dalam buku ini umumnya (hampir) tidak mementingkan Alur dan Suspensi cerita, jika tidak boleh dikatakan tidak mempunyai alur dan suspensi cerita seperti yang umumnya ditemui di dalam roman ataupun film. Dengan kata lain, penghadiran tokoh Nikolo berikut dengan persoalan hidup yang dihadapinya terjadi begitu saja berupa pemaparan cerita yang biasa. Hal ini kemudian ditambah lagi dengan tidak adanya penyajian Latar (Setting) tempat dan waktu yang jelas dan spesifik. Dengan arti kata, cepern-cerpen tersebut sama sekali tidak mementingkan aspek latar sebagai bagian naratologi dan plausibilitas karya. Mengapa demikian? Tafsiran saya adalah karena Imtihan Taufan, sebagai penyaji kreatifnya, memposisikan keberadaan tokoh utamanya, Nikolo, sebagai sosok yang harus ditonjolkan berikut dengan pemikiran-pemikiran pengarangnya sendiri terkait pernak-pernik persoalan hidup yang diaktori Nikolo.
Meskipun demikian, lepas dari gejala absurditas tersebut, tampaknya Imtihan Taufan cukup kreatif di dalam menggunakan Sudut Pandang atau Vokalisasi penceritaannya. Saya mencatat bahwa paling tidak ada tiga model sudut pandang yang dipakai oleh Imtihan Taufan di dalam kumpulan cerpen ini, yaitu: (a) sudut pandang Partisipan Mayor (major participant), (b) Partisipan Minor (minor participant), dan (c) Non-Partisipan Obyektif (objective non-participant)[7]. Yang pertama adalah sudut pandang menggunakan ‘aku’ (orang pertama) yang mana tokoh ‘aku’ itu adalah tokoh dominan dan pemilik ceritanya. Ini dapat dilihat pada cerpen Anjing Mati Ditembak Kawannya, Monologue Intereuer, Oragada, dan Nikolo Menulis Surat untuk Istrinya. Sementara itu, sudut pandang kedua menghadirkan tokoh ‘aku’ sebagai bagian dari karakter cerita tetapi sejatinya tokoh ‘aku itu menceritakan tokoh yang lain (umumnya, tokoh utama). Model ini dapat dengan jelas dilihat pada cerpen Kereta Langit Sudah Datang dan sedikit pada cerpen Monolog Bangkai. Yang terakhir, sudut pandang ketiga, adalah sudut pandang yang menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal dengan penampilan cerita yang obyektif saja, tidak serba tahu. Model sudut pandang ini tampaknya yang paling banyak digunakan oleh penulisnya seperti terlihat pada cerpen Halusinasi Seorang Suami, Sebuah Rencana Pembunuhan, Wajah dalam Bungkusan, dan Nikolo Hilang. Dengan munculnya tiga sudut pandang ini, Imtihan Taufan bisa dikatakan sebagai penulis yang cukup kreatif dan paham akan naratologi fiksi.
******
Seperti apakah ‘Interior (Dunia) Nikolo’? Dunia yang dimaksud di sini secara spesifik dapat dikaitkan dengan mentalitas, situasi, dan gambaran kehidupan yang dimiliki oleh tokoh utama itu di dalam setiap cerpen.
Setelah membaca beberapa cerpen di buku ini, saya tiba-tiba mulai berpandangan, meskipun sedikit ragu, bahwa karya Imtihan Taufan ini tampaknya cukup dekat dengan model fiksi aliran naturalisme. Pandangan saya menjadi semakin mantap ketika selesai membaca semua cerpen tersebut bahwa Imtihan Taufan sedang menampilkan gambaran cerita kehidupan manusia yang realis tetapi dalam konteks naturalistik seperti yang dikembangkan oleh Emile Zola di Perancis pada akhir abad ke-19 ataupun Frank Norris dan Theodore Dreiser di Amerika pada abad ke-20. Donald Pizer (1984) mencoba menjelaskan seperti apa konsep umum model fiksi naturalistik itu, yaitu: “A traditional and widely accepted concept of American naturalism is that it is essentially realism infused with a pessimistic determinism....The naturalists depicted everyday life with a greater sense of the role of such causal forces as heredity and environment in determining behavior and belief”.[8]
Dalam konsep umum yang diungkapkan Pizer di atas, jelas sekali terlihat bahwa fiksi naturalistik ini masih merupakan karya yang menekankan aspek realitas sebagai ‘dunia literer’ yang dibangunnya, meskipun realitas yang lebih cenderung pesimistik. Hal ini disebabkan karena kehidupan realitas manusia tersebut dipengaruhi atau dikuasai oleh kekuatan alam yang tidak bisa dihindari oleh manusia itu sendiri. Kekuatan alam yang sudah melekat di dalam diri dan lingkungan manusia itu sendiri. Akibatnya, padangan ini memposisikan gambaran dunia manusia yang buruk, kelam, sadis, banal, pesimistik, dan tidak ada peran Tuhan di dalamnya. Tuhan seakan-akan tidak muncul sebagai pengatur kehidupan manusia.
Sehubungan dengan konsep di atas, penggambaran dunia tokoh Nikolo dalam semua cerpen ini kurang lebih mendekati karakteristik yang umumnya diungkapkan oleh fiksi-fiksi naturalistik tersebut, yakni:
(a). Nikolo dalam dunia yang kelam dan tragis
Kekelaman dan ketragisan dunia dapat tergambar dari fakta literer yang memperlihatkan Nikolo sebagai orang yang mati, atau istri-istrinya yang mati, atau paling tidak rumah tangganya hancur karena ditinggal istrinya, ataupun Nikolo yang tidak perduli keluarganya. Pertama, ada dua cerpen yang mempertunjukkan Nikolo meninggal, yaitu Kereta LangitSudah Datang dan Monolog Bangkai. Buktinya untuk cerpen yang pertama: “Nik, Shinta Sarwinta menjanda sekarang. Suaminya meninggal terkena serangan jantung”[9]. Sementara itu, cerpen kedua yang memperlihatkan Nikolo meninggal adalah: “Tanganku memegang pistol dan semua gambar di depanku pelan-pelan menyusut dan gelap”[10]. Kedua, cerpen-cerpen yang menggambarkan istri Nikolo meninggal adalah: cerpen Bermain Sandiwarayang menggambarkan istri Nikolo bernama Risa meninggal dunia; dan cerpen Anjing Mati Ditembak Kawannya yang mengungkapkan istri Nikolo yang bernama Kratia meninggal dunia. Ketiga, fakta kekelaman dan ketragisan dunia Nikolo ini dapat juga dilihat pada cerpen Sebuah Rencana Pembunuhan, di mana Nikolo berpisah dengan Ira dan menyuruh pembunuh bayaran untuk membunuh Ira di akhir cerita. Keempat, fakta ketragisan dan kekelaman dunia/hidup Nikolo semakin diperkuat lagi dengan peristiwa di mana Nikolo bermusuhan dengan ayahnya sendiri sehingga membunuhnya seperti terlihat pada cerpen Nikolo Hilang dan bahkan Nikolo juga tidak perduli atau bertanggung jawab pada anak-anaknya (Fuddy, Fiddy, Foddy) sehingga kehidupan anak-anak itu sangat tragis seperti diceritkan dalam cerpen Nikolo Menulis Surat untuk Istrinya.
(b). Sikap atau tone bahasa yang pesimistik
Gejala naturalistik ini dapat diidentifikasi juga melalui tampilan bahasa (tone) yang mencerminkan sikap Nikolo, sebagai pelaku kehidupan. Bahasa yang ditampilkan oleh Imtihan Taufan bernada pesimistik. Hampir di setiap cerpen, fakta semacam ini terlihat dan dirasakan dengan cukup jelas, sehingga kita sebagai pembaca turut merasakan betapa kelam dan pesimistiknya gambaran tokoh yang ditampilkan pengarangnya. Sebagai buktinya, pernyataan-pernyataan yang berbunyi, misalnya, yaitu: (1) “Akhirnya Nikolo tahu, perkawinan yang ia bangun seperti membuat rumah pasir”[11]; (2) “Kita cuma seonggok daging di tempat tidur. Makan jadi malas. Tidak nikmat. Segalanya tidak mendatangkan kesenangan” [12] . Sikap pesimistis ini pun bisa ditakar dari banyaknya konflik fisik yang yang berakibat fatal (korban berjatuhan) yang ditampilkan oleh Imtihan Taufan di dalam cerpen-cerpennya. Peristiwa semacam ini seolah-olah membuat kehidupan ini tidak berarti/bernilai.
(c). Ketidakhadiran Kekuatan Tuhan dalam hidup Nikolo
Seperti diutarakan di atas, fiksi yang beraliran naturalisme cenderung mengalpakan kehadiran Tuhan sebagai pihak yang memberi pertolongan di dalam kehidupan tokoh-tokoh ceritanya. Dengan kata lain, fiksi naturalistik ini berpandangan bahwa Tuhan sudah tidak berperan lagi dalam mengatur kehidupan manusia, justru yang berperan adalah kekuatan-kekuatan alam. Akibatnya, sisi-sisi gelap kehidupan manusia-lah (the dark sides of humanbeings) yang lebih ditonjolkan di dalam penceritaannya. Sisi-sisi gelap itu berupa banalitas, materialistik, kasar, dan bahkan kehidupan yang sadis. Nilai-nilai normatif sudah tidak dipentingkan, yang penting adalah hawa nafsu mengalahkan. Kehidupan manusia bahkan tidak ubahnya dalam kondisi homo homini lupus. Sehubungan dengan pandangan ini, jelas sekali terlihat dalam peristiwa-peristiwa konflik yang digambarkan dalam sejumlah cerpen Imtihan Taufan, seperti yang terlihat dalam cerpen Monolog Bangkai. Dalam cerpen ini, Nikolo digambarkan sebagai orang yang kehausan untuk membunuh. Dia tidak mempunyai rasa belas kasihan sedikit pun. Pistol dan peluru adalah dua kata yang dominan disebutkan di dalam cerpen ini. Bahkan pistol menjadi barang kesayangan Nikolo, “Pistol di tangan. Kuelus ia bagai perempuan tersayang”[13]. Ini menandakan betapa hidup Nikolo sudah tidak lagi bersinggungan dengan nilai-nilai normatif yang melandasi nilai kemanusiaan. Tuhan tidak ada dalam kehidupannya. Yang ada, sekali lagi, hanyalah kehendak/nafsu banalitas.
******
Dengan melihat penggambaran cerita-cerita seperti dipaparkan di atas, maka muncullah pertanyaan: Apakah benar seperti itu visi hidup pengarangnya, Imtihan Taufan, yang sebenarnya? Saya pribadi amat sangat menyangsikan, meskipun saya tidak mengenal beliau secara pribadi selama hidup beliau. Pandangan klasik yang meyakini bahwa karya sastra adalah cerminan biografis pengarangnya adalah, tidak selamanya benar. Karya sastra itu merupakan sebuah hasil fiksionalitas (rekayasa imajiner), yang lepas dari kehidupan pengarangnya. Kesangsian saya semakin besar ketika membaca “Catatan Terakhir” yang ditulis di awal buku ini oleh Naniek I. Taufan (istri almarhum), yang mengatakan bahwa Imtihan Taufan adalah orang yang taat beribadah, selain sebagai tipe kepala keluarga yang baik dan penuh tanggung jawab. Naniek berkata: “Selain ibadah, hanya ada dua hal yang priorotas dalam hidupnya, yaitu keluarga dan menulis. Jika ada dua pilihan yang harus diambilnya, maka keluarga adalah yang pertama dipilihnya”.[14]
Tokoh Nikolo dan dunianya hanyalah rekayasa imajiner penulisnya. Nikolo yang digambarkan sedemikian unik dan eksentrik dengan berbagai wujud karakterisasinya adalah potret bagi manusia-manusia yang memang mengutamakan “sisi-sisi gelap kemanusiaannya”. Nikolo yang seperti itu adalah memang menjadi “Pemenang” (sebagaimana arti nama Nikolo yaitu: pemenang), tetapi hanya menjadi pemenang yang sesaat dan di dunia saja, tetapi tidak menjadi Pemenang sejati secara kemanusiaan dan keilahian. Tidak menjadi pemenang yang sejati di mata Tuhan. Dengan kata lain, melalui karya-karyanya ini, Imtihan Taufan ingin membuka mata para pembacanya “dengan cara yang berbeda” untuk sadar bahwa kemenangan duniawiah hanyalah sementara, dan kemenangan semacam ini sebenarnya tidak pernah luput dari dorongan hawa nafsu banalitas manusia. Untuk itu, melalui karyanya Imtihan Taufan seakan berpesan kepada kita semua untuk selalu eling akan keberadaan kita sebagai makhluk Tuhan.
Akhirnya karya Imtihan Taufan ini, sebagus apapun karyanya, sebesar bagaimanapun pemikirannya, secemerlang apapun artistik penyajiannya, tidak akan bisa berbicara banyak pada diri kita, pada peradaban kita saat ini, apabila kita sendiri tidak akan dan mau peduli pada karya tersebut. Karya ini bahkan akan hanya berposisi sebagai ‘artefak’, dan tidak pernah mampu beranjak sebagai ‘obyek estetis’, seperti yang dikatakan oleh Jan Mukarovsky[15] dan para pengikut kritik sastra Strukturalis Dinamik lainnya, apabila kita sebagai pembaca enggan untuk melakukan ‘konkretisasi’ terhadap obyek sastra itu sendiri. Dalam konteks ini, saya menyetujui pandangan tersebut karena dengan itulah kita akan selalu menghidupkan Imtihan Taufan, meskipun secara fisik sudah pergi meninggalkan dunia fana. Dengan demikian, ia akan terus hidup seribu tahun lagi seperti yang pernah diungkap oleh penyair Chairil Anwar dan bahkan adagium “Pengarang Tidak Pernah Mati” dengan sendirinya kita sudah sematkan kepadanya. SEKIAN. (**)
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1953. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford University Press.
Abrams, M.H. 1971. A Glossary of Literary Terms. Third edition. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Barnet, Sylvan et al. 1963. An Introduction to Literature: Fiction, Poetry, and Drama. Second edition. Boston : Little, Brown and Company.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Pizer, Donald. 1984. Realism and Naturalism in Nineteenth-Century American Literature. Revised edition. Cabondale: Southern illinois University Press.
Taufan, Imtihan. 2015. Interior Nikolo. Cetakan pertama. Museum Kebudayaan Simparaja.
_________. “Meaning of Nicolo Name”. www.thinkbabynames.com./meaning/1/Nicolo. Diakses pada 21 Mei 2015.
[1] Makalah ini disampaikan pada acara bedah buku kumpulan cerpen yang berjudul “Interior Nikolo” karya Imtihan Taufan (alm.) di Gedung Museum NTB pada Minggu, 24 Mei 2015.
[2] Pemateri adalah staf pengajar mata kuliah sastra di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris dan Prodi Pasca Bahasa, FKIP, Universitas Mataram.
[3] Istilah ini sebenarnya gabungan dari dua konsep, yaitu strukturalisme dan obyektif. Yang pertama adalah teori sastra yang dikembangkan awalnya di Eropa pada awal abad ke-20 yang memandang bahwa karya sastra menjadi fenomena yang memiliki struktur yang saling mengkait satu dengan yang lain (Endraswara, 2006). Teori atau pendekatan ini merupakan lanjutan dari konsep Formalisme Rusia; sedangkan yang kedua merupakan istilah M.H. Abrams, seorang kritikus sastra Amerika, dalam bukunya yang berjudul “The Mirror and the Lamp”. Meskipun berbeda istilah, konsep keduanya pada dasarnya sama yakni keduanya memposisikan karya sastra sebagai dunia yang otonom, independen, serta mempunyai kohesi dan regulasi sendiri di dalamnya, sehingga tidak perlu melihat aspek ekstrinsik bila ingin memperoleh hasil yang obyektif.
[4] Istilah dan konsep ini disampaikan pertama kali oleh W.K. Wimsatt dalam bukunya yang berjudul The Verbal Icon (1954), seorang pendiri dan penganut aliran Kritisisme Baru (New Criticism) di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-20. Abrams (1971) menjelaskan: “Intentional fallacy identifies what is held to be the error of interpreting or evaluating a work by reference to the intention – the design or plan – of the author in writng the work”.
[5] Hans Robert Jauss adalah akademisi sastra berkebangsaan Jerman yang menyebutkan istilah “horizons of expectation” dalam mengembangkan teori Resepsi Sastra. Secara aplikatif, menurut Prof. Siti Chamamah Soeratno (dosen sastra UGM) ketika mengikuti kuliahnya dulu, kemunculan konsep ini pertama-tama hadir di dalam benak pembacanya, yaitu dengan pertama-tama mewujud bentuk pertanyaan-pertanyaan kritis khususnya ketika dia membaca judul dan tampilan kover/sampul sebuah karya.
[6] Faktanya memang, hingga saat ini di Eropa sudah lebih dari 3000 anak yang dinamai dengan nama tersebut, tentu dengan penyesuaian bahasa di negara masing-masing, seperti Niccolo, Niccolai, Nicola, Nicoli, Nikkolay, dan sebagainya (sumber: www.thinkbabynames.com/meaning/Nikolo).
[7] Istilah-istilah sudut pandang (point of view) ini diambil dari buku Introduction to Literature: Fiction, Poetry, and Drama karya Sylvan Barnet et al. (1963), diterbitkan oleh Little, Brown and Company, Boston.
[8] Dikutip pada halaman 9-10, buku karya Donald Pizer yang berjudul Realism and Naturalism in Nineteenth-Century American Literature. Edisi revisi, terbitan Southern Illinois University Press, Carbondale, 1984.
[9] Interior Nikolo (2015), kumpulan Cerpen, karya Imtihan Taufan, hal. 4
[10] Ibid, hal. 104
[11] Ibid, hal. 21, cerpen Halusinasi Seorang Suami
[12] Ibid, hal 73, cerpen Monologue Intereuer
[13] Ibid, hal. 95
[14] Ibid, hal. viii
[15] Dia adalah filologis, kritikus dan teoretikus sastra terkemuka dari Cekoslowakia sekitar sejak tahun 1920-an hingga 1930-an. Ketia terlibat aktif di Lingkaran Linguistik Praha (Prague Linguistic Circle), dia sudah mempunyai andil besar dalam mengembangkan teori Strukturalisme dalam sastra di Eropa.
Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
GEJALA ABSURDITAS DAN NATURALISME MENGKERANGKAI NIKOLO
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
November 10, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar