Habitus merupakan salah satu kata kunci teori sosial yang
diungkapkan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog kenamaan Perancis. Habitus
ini sebenarnya tidaklah bisa terlepas dari konsep Cultural Capital sebagai inti
dari teori sosial Bourdieu di dalam melihat betapa realitas sosial masyarakat
yang telah dan sedang terkooptasi oleh kelas-kelas sosial yang menganga. Dengan
kata lain, konsep ‘habitus’ ini erat kaitannya dengan kehadiran kelompok, strata,
atau kelas sosial suatu masyarakat yang disebabkan oleh sejumlah faktor seperti
faktor ekonomi (e.g. kaya-miskin, buruh-majikan), faktor pendidikan (e.g. yang
terdidik dan non-terdidik), faktor sosial-budaya khususnya faktor keturunan (e.g.
bangsawan dan non bangsawan), dan sebagainya.
Apakah Habitus itu?
Habitus, menurut Bourdieu, adalah “a system of lasting, transposable
dispositions, which integrating past experiences, functions at every moment as
a matrix of perceptions, appreciations, and actions” (MacLeod, 2008). Kata-kata
kunci definisi ini adalah bahwa habitus itu merupakan sebuah sistem (system)
dalam diri seseorang yang mewujud sebagai sebuah gabungan pengalaman-pengalaman
masa lalu (past experiences) serta berfungsi sebagai matriks (matrix) atau pola/acuan
dalam pemikiran yang dapat menghadirkan suatu persepsi (perceptions), apresiasi
(appreciations), dan tindakan (actions) yang dilakukan setiap orang. Sistem ini
sejatinya berpusat dalam akal-pikiran plus hati nurani setiap manusia.
Pada konteks yang lebih konkret, habitus itu boleh-boleh saja dikatakan
sebagai sebuah gaya
hidup (life style). Hal ini disebabkan karena ia sejatinya terinternalisasi
sebagai bagian dari budaya personal (me-culture) seseorang yang dikenal juga
sebagai kepribadian atau karakternya. Habitus lantas mewujud secara jelas ke
dalam tiga hal yaitu (1) cara berpikir (ways of thinking), (2) kebiasaan, sikap
perilaku (bodily habits), dan (3) cita rasa (tastes) (Susilastuti, 2010).
Misalnya, tingkat kekayaan seseorang secara finansial ataupun keilmuan bisa
diukur dan dinilai dari bagaimana kebiasaan sandang, selera, serta sikap
perilaku yang ditunjukkan oleh dia dalam kesehariannya. Demikianlah kira-kira
secara singkat konsep habitus sebagaimana diutarakan oleh Bourdieu.
Pelagaq Lekong Belah?
Istilah atau ungkapan ini sudah sangat jamak terdengar kita dengar
di tengah keseharian kita di masing-masing komunitas atau kampung. Ungkapan ini
pada dasarnya dapat juga berfungsi sebagai sebuah pepatah. Atau ia adalah
pepatah atau ‘sesenggak’ dalam bahasa sasaknya. Sesenggak, bagi orang sasak,
adalah sebuah ekspresi metaforis yang berfungsi sangat efektif dan afektif bagi
pendengarnya. Ia muncul sebagai upaya untuk menandai, mengabstraksi, mengkategori,
dan memaknai suatu fakta, peristiwa, dan fenomena sikap perilaku masyarakat
yang terjadi secara berulang-ulang (reseptif) dan terus-menerus (simultan)
dalam hampir semua kelompok masyarakat tertentu. Dikatakan sangat efektif dan
afektif, karena sesenggak atau pepatah ini mengandung sebuah konsep budaya dan
ajaran kehidupan yang sangat adiluhung bagi setiap warga masyarakat.
Konkretnya, ia menjadi sebuah parameter atau indikator di dalam menilai dan
menandai sebuah perilaku.
Persoalannya kemudian adalah dapat dilihat secara penggunaan kebahasaan
(linguistic uses). Kenapa menggunakan ‘pelagaq’? Kenapa tidak ‘merampokan’,
‘ngampesan’, ‘melewas’, atau ‘memantok’? Lalu kenapa ‘lekong’” Kenapa bukan
‘sekuh’, ‘tolang bagek’, ‘ambon’, atau ‘tolang kacang’? Dan yang menarik pula,
kenapa ‘lekong belah’? Kenapa tidak ‘lekong’ yang masih utuh?
Inilah sesenggak! Ada
banyak hal yang menarik untuk dikaji dan perlu dilogiskan supaya mencapai
sebuah pemahaman (verstehen) yang holistis. Menurut saya, bisa salah bisa juga
benar tentunya, dikatakan ‘pelagak’ karena kata ini berfungsi sebagai kata
kerja (verba) yang mengandung makna ‘aktif’ (tepatnya verba aktif transitif),
bukanlah verba yang berfungsi dan bermakna ‘pasif’ (yang di-/ter-). Artinya,
aktor atau pelaku yang ada di balik kata tersebut secara aktif dan terus-menerus
melakukan kegiatan pengaduan atau pembenturan sesuatu dengan sesuatu yang lain
dalam jangka waktu yang tanpa bisa dipastikan akhirnya. Di samping itu, diksi
‘pelagaq’ mengandung efek makna berupa ‘lebih maskulin, keras, dan sigap’ ketimbang
kata/diksi-diksi seperti merampokan, ngampesan atau melewas.
Kemudian kenapa ‘lekong’? Lekong adalah sebuah benda yang berupa
biji-bijian dengan dilapisi oleh cangkang yang sangat kuat, keras, awet, dan
tebal. Cangkang ini adalah kulit dari sang biji dengan cirinya sebagaimana yang
diutarakan di atas. Serta dengan karakter kulitnya seperti itulah maka
keberadaan ‘lekong’ bisa dipakai sebagai metafor atau perumpamaan dalam
ungkapan sesenggak itu. Artinya, hal ini menandakan bahwa, dalam proses pembenturan
(pelagaq) itu akan biasanya menghadirkan aksi-aksi yang keras dan sengit di
mana masing-masing pihak tampaknya tidak ada yang mau kalah dan mengalah.
Sekaligus, diksi ‘lekong’ menyiratkan betapa orang Sasak pada dasarnya adalah
orang yang gigih dalam memegang sikap serta boleh jadi sedikit keras kepala
(pagah, atau stubborn) dalam berpendirian. Walaupun demikian, justru atas sebab
diksi ‘belah’ dalam frase ‘lekong belah’ inilah, maka suasana serta karakter kekerasan
atau kegigihan dalam hal bersikap berpendirian akan bisa luluh teruraikan serta
terpecahkan dengan fakta bahwa lekong yang di-pelagak itu sejatinya sudah pecah
dengan sendirinya tanpa ada upaya atau strategi khusus, atau fakta bahwa lekong
itu sebenarnya sudah pecah sebelum proses pelaga’an (pengaduan) itu
dilangsungkan.
Anggitan Makna-Makna
Tatkala ungkapan ini sudah menjadi jamak di dalam msyarakat Sasak,
maka pelagak lekong belah sudah menjadi sebuah kebiasaan (habit) dan boleh jadi
kebiasan yang luar biasa, dalam artian, ia sudah menjadi sebuah “doxa”, yakni peristiwa
atau kebiasaan yang secara alamiah terjadi begitu saja tanpa perlu diupayakan
hadir atau terjadi begitu rupa (Susilastuti, 2010). Dengan fakta ini, pelagak
lekong belah menjadi sebuah habitus orang Sasak yang, untuk kali ini sedikit
berbeda dengan teori Bourdieu, dapat terjadi di mana-mana tanpa melihat
kelas-kelas sosial sebagai sebuah syarat sebuah habitus. Ia hadir di setiap
lini dan level kelas, kasta, dan strata sosial masyarakat Sasak dengan obyek
bahasan yang berbeda-beda tentunya. Di samping itu, dengan kondisi semacam ini,
sebagai salah satu anggitan maknanya, pelagaq lekong belah merupakan sebuah ‘MEDIA’
bagi orang-orang Sasak di dalam BERGAUL dan MENGAKRABKAN DIRI satu dengan yang
lain. Bagi orang Sasak, benturan-benturan kecil adalah sarana untuk mengenal ‘ke
bawut ke dalem’nya pemikiran dan perhatian seseorang kepada orang lain.
Selain itu, hal ini juga menandai bahwa masyarakat Sasak dengan
habitus semacam itu menyiratkan sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, suka
berbagi, egaliter, dan lebih menyukai suasana yang informal (tidak kaku dan
formal). Ciri-ciri masyarakat yang seperti ini dapat berujung pada hadirnya
masyarakat yang DEMOKRATIS, dalam segi pergaulan serta sikap perilaku
sosialnya. Betapa tidak, tidaklah mungkin terjadi sebuah diskusi atau
perdebatan dalam konteks pelagaq lekong belah ini yang sedemikian keras, akrab,
dan terbukanya apabila tidak disyaratkan dengan adanya rasa keterbukaan, rasa
kesetaraan, dan informalitas terlebih dahulu dari masing-masing aktor atau
pelaku pelagak lekong belah itu. Dengan kata lain, diskusi atau perdebatan yang
mengalir dengan baik dan asik akan terjadi bilamana sikap-sikap semacam itu
sudah terlebih dahulu terinternalisasikan atau muncul sebelumnya dalam setiap
pribadi aktor yang terlibat. Artinya, orang sasak itu adalah orang yang
demokratis dalam hal bersikap dan berperilaku, pada dasarnya.
Kemudian, yang lebih menarik juga adalah peristiwa pelagak lekong
belah itu. Adalah target utama aktifitas pelagaq lekong belah itu bukan pada
‘apa dan bagaimana hasilnya’ tetapi ‘BAGAIMANA dan SEJAUH MANA PROSESI’
keberlangsungan peristiwa ini. ‘Proses’lah yang utama, bukan ‘hasil’nya,
menurut saya. Artinya, aktor-aktor yang terlibat dalam pelagaq lekong belah ini
tidaklah berpikir dengan sebuah keharusan untuk menghadirkan sebuah kesimpulan
(concluding remarks) dalam diskusi/perdebatan itu, akan tetapi betapa proses
dan keragaman sudut pandang dan argumentasi itulah yang lebih diupayakan.
Adalah kesimpulan atau kata akhir sebenarnya berada pada diri pribadi
masing-masing aktor; ia tidak perlu untuk dieksplisitkan apa dan bagaimana
serta siapa yang benar dan yang salah. Biarlah kesimpulan itu menyublim dan menggenang
dalam samudera pemikiran masing-masing aktor yang – semoga – nantinya bisa
menjadi ilmu pengetahuan baru bagi masing-masing pihak.
Demikianlah kira-kira habitus pelagaq lekong belah orang Sasak.
Wassalam.
Referensi:
MacLeod, Jay. “Ain’t No Makin’ It: Aspirations and
Attaintment in a Low-Income Neighborhood”. Dalam buku Sociology: A Brief Introduction, karya Richard T Scaefer. Seventh Edition.
Boston : McGraw
Hill. 2008.
Susilastuti, Dewi H. “Teori Pierre Bourdieu: Cultural
Capital dan Habitus”. Dalam Mata Kuliah
Teori-Teori Sosial. Program Pengkajian Amerika. Yogyakarta :
UGM. 2010.
Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
Habitus Orang Sasak: PELAGAQ LEKONG BELAH
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
November 13, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar