MALING: SEBUAH TRADISI/BUDAYA SASAK?


Membaca judul tulisan ini mungkin tidak sedikit dari Anda langsung akan menjawab secara spontan, bahkan tidak sedikit pula yang dengan reaksi emotif dan tersinggung, bahwa masyarakat sasak itu tidak mau dikatakan bertradisi ‘maling’. Asumsi saya ini paling tidak bisa dibenarkan ketika sebuah polemik perihal topik yang sama dilangsungkan secara informal di dunia maya – melalui jaringan sosial facebook beberapa hari lalu, di mana hampir semua dari teman-teman diskusi kala itu mengatakan ‘tidak’ dan merasa keberatan dikatakan bahwa maling itu sebuah tradisi.
Memang, siapa sih yang mau dikatakan mempunyai tradisi atau budaya jelek? Bahkan saya sendiri pun kurang sepakat apabila maling an sich menjadi sebuah tradisi bagi etnik atau suku saya yang hingga kini masih menjadi identitas dan entitas kebanggaan saya. Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan sebagai pembenaran ‘kejelekan’ atas maling itu lepas dari pengakuannya sebagai sebuah tradisi. Alasan pertama, mungkin, karena istilah ‘maling’ itu secara bahasa/semantik mempunyai makna yang negatif, jelek, buruk, nista, dan bahkan menjijikkan ketika istilah itu dijadikan sebagai sebuah acuan atau penamaan. Kemudian alasan lain yang paling mengena dan mengemuka adalah alasan teologis-normatif bahwa maling itu bertentangan dengan ajaran agama, Islam khususnya, yang nota bene merupakan agama mayoritas masyarakat sasak, sehingga hingga kini sasak itu identik dengan Islam, dan Lombok itu adalah Pulau Seribu Masjid, dan sebagainya.
Akan tetapi, dalam perspektif yang berbeda, dan mungkin sedikit nyeleneh, dalam kerangka untuk melihat realitas Kesasakan kita secara lebih obyektif dan komprehensif, ternyata kita, khususnya saya, mau tidak mau atau suka tidak suka, ternyata fakta dan fenomena tentang maling itu bersifat sangat jamak terjadi di masyarakat sasak. Lebih-lebih pada saat sehabis musim panen sekarang ini, peristiwa maling tiba-tiba menyeruak terjadi di mana-mana (di pulau Lombok). Menghebohkan bahkan menakutkan. Namun demikian, terlepas dari realitas sosial seperti itu, marilah kita sedkit-sedikit mencoba melihat istilah maling ini secara lebih komprehensif, lepas dari emosi penolakan kita atas realitas permalingan di atas.
Baiklah, berbicara soal tradisi, kata ‘tradisi’ sebenarnya merupakan turunan dari istilah ‘budaya’ (culture) dalam konteks ilmiah. Yakni, sebuah budaya yang sudah mewujud menjadi sebuah sikap, perilaku dan kegiatan, yang sebelumnya terdorong oleh pola pikir (a way of thinking) yang sejatinya sebagai inti dari istilah epistemologis terhadap soal budaya tersebut.
Terkait dengan ini, maling tentu menjadi sebuah budaya; atau konkretnya sebagai sebuah perilaku (behavior) yang dalam kaca mata kebanyakan adalah sebuah perilaku yang menyimpang (deviant behavior) sehingga para pelakunya (pemaling, tumaling) dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang sakit dan tidak religius – dalam pemahaman normal dan agamis. Dalam hal ini, kemudian, kita mencoba menempatkan budaya maling itu sebagai sebuah budaya yang jelek dan segera diatasi atau dihapus dari peredaran daratan Lombok khususnya.
Di samping itu, ternyata, maling dalam masyarakat Sasak sudah diakui sebagai sebuah local genius atau tradisi yang seperlunya dilembagakan dan dipertahankan. Yaitu, maling dalam konteks tradisi perkawinan orang sasak. Maling dalam hal ini disebut ‘melaiq’, ‘melaiqan’, ‘merariq’ yang bisa saja disepadankan –menurut dosen saya di UGM dulu, meski saya tidak begitu setuju -- dalam bahasa Inggris sebagai ‘to elope’ atau ‘elopement’ (kawin lari). Artinya, tradisi perkawinan dengan konteks maling ini adalah peristiwa di mana calon mempelai wanita dibawa kabur atau lari dari rumah orang tuanya oleh pihak mempelai laki-laki ‘tanpa ada pemberitahuan atau permintaan’ terlebih dahulu dari orang tua, si empunya gadis atau calon mempelai wanita tersebut. Dengan wacana perkawinan semacam ini (dengan kata kuncinya: tanpa ada pemberitahuan atau permintaan atau tanpa), apakah kita menganggap ini bukan sebuah tradisi atau budaya sasak juga dalam artian positif? Dengan kata lain, tidakkah tradisi maling seperti ini bukan sebuah budaya sasak yang dikategorikan tradisi ‘maling’?
Maling adalah sebuah istilah yang luas bagi kita, khususnya orang-orang sasak, apabila kita mau sedikit lebih ‘open-minded’ dan obyektif memandang sebuah persoalan. Tatkala kita mencoba membuka mata kita terhadap realitas sosio-kultural sasak, paling tidak kita akan lebih dewasa dan cermat melihat kedirian kita, kesasakan itu. Paling tidak, kita akan bisa memilah-milah, oh ternyata maling itu adalah istilah umum, yang bisa dikonkretkan di masyarakat sasak, terbagi menjadi dua macam, yaitu maling dalam istilah negatif dan maling dalam istilah positif.
Maling dalam istilah atau perilaku negatif pun janganlah kita buru-buru emosi membuangnya dan memvonisnya. Marilah kita berpikir, tidaklah sebatas ‘apa’ tetapi dalam konteks kedaerahan, kita melihat itu dengan ‘mengapa’. Boleh jadi, dan menurut saya besar kemungkinannya demikian, bahwa tatkala kita menelusurinya secara historis, perilaku maling itu muncul atau dimunculkan sebagai wujud ‘pemberontakan diam-diam’ (quiet rebel) terhadap penguasa yang lalim dan otoriter pada era masyarakat sasak tempo dulu. Sehingga satu-satunya cara untuk dapat melangsungkan kehidupan kelompok masyarakat tertentu, setelah panenan yang dimonopoli oleh pihak penguasa, adalah dengan melakukan kegiatan maling tersebut. Apabila tidak, maka mereka akan mati kelaparaan atau paling tidak mereka akan terpaksa merendahkan harkat martabat kemanusiaannya, yaitu menjadi pengemis (pekir) dari kampung ke kampung; sebuah tradisi yang sangat bersifat aib atau memalukan bagi orang sasak kebanyakan. Sehingga bagi mereka, maling menjadi ‘pilihan terakhir’ (the last choice) dan tindakan yang lebih terhormat bahkan jantan bagi masyarakat yang tertindas dan terbaikan itu. Dengan pemahaman seperti ini, mungkin sedikit tidak kita bisa melihat ‘maling di masyarakat sasak’ itu lebih berwarna, tidak monolitik dengan landasan teologis normatif semata.
Selanjutnya, terserah Anda. Tugas saya hanyalah memancing serta menyorong kita semua untuk senantiasa berpikir secara dialogis atas realitas daerah dan suku yang sama-sama kita cintai dan banggakan ini, kapan pun dan di mana pun kita berada. Saatnya kita membedah hal ini dengan tuntas guna melawan stereotipe yang selama ini berkembang/dikembangkan oleh orang-orang luar Sasak. Wassalam.

Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
MALING: SEBUAH TRADISI/BUDAYA SASAK? MALING: SEBUAH TRADISI/BUDAYA SASAK? Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on November 10, 2017 Rating: 5

Post Comments

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.