Jangan salahkan langit membiru
Seketika matahari terik menyata;
Jangan salahkan malam menutup hari
Dengan sayap tak tersentuh angin;
Jangan salahkan anjing melonglong di sore buta
Meskipun azan baru saja engkau kumandangkan.
Mereka itu satu:
Tanda yang sudah memantikkan diri dalam sebuah kepastian
Meskipun belum terdefinisikan oleh pusaran normalitasmu;
Mereka itu suluh:
Pembuka indera yang terkatupkan ambisi
Yang setali dengan kealpaan nuranimu.
Jangan salahkan Putri Rengganis mempermainkan cinta Repatmaje
Di taman yang –mungkin—kita semua belum mampu jabarkan;
Jangan salahkan Putri Mandalike menceburkan diri ke laut
Ketika para pangeran masih saja bertengkar tentang bukti keningratan;
Jangan salahkan Dewi Anjani rela menjelmakan raga dan jiwanya
Kepada siapa pun yang dianggapnya bertapa di puncak kasunyatan.
Mereka itu tamsil:
Semburat ibarat yang jujur di pelepah-pelepah lontar
Namun diperdebatkan oleh pancaran hati yang tergalaukan;
Mereka itu kebanggaan:
Sisipan kisah masa lalu yang masih terselip sunyi
Di antara memori-memori jaman yang sengaja diantah-berantahi.
Maka sejak kapan engkau memberanikan diri
Mengaku-aku tanah liar yang dirimbuni pepohonan itu?
Atas dasar apa engkau berkata dengan jumawa
Bahwa nisan yang terburai lumut kering itu adalah milikmu semata?
Dengan lensa kecanggihan apa yang kausematkan di sudut matamu
Sehingga Rinjani adalah pusat kiblat yang satu-satunya?
Tidak! Perkataanmu bagaikan beras yang belum ditanak
Karena api di tungku belum-belum sudah engkau matikan.
Haruskah aku memakannya begitu saja atas nama strata usia?
Padahal engkau pun enggan dan menjadikannya sebagai kotoran.
Tidak! Semua itu hanya sebatas angin debu yang tak perlu dihirup
Karena aku masih mementingi guratan-guratan alam
Yang menitipkan kabar berita buat mereka tentang nalar kehadiran.
Yogyakarta, 14 September 2013
Puisi: JANGAN SALAHKAN
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
November 10, 2017
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar