Pawon itu dapur, istilah bahasa Sasak, yang secara asal kata atau etimologis berasal dari kata pe-awu-an, yang secara praktis dibaca atau diucap “Pawon”. Awu itu berarti Abu. Jadi dengan demikian, Pawon itu identik atau lekat dengan abu. Ini bisa terjadi karena gambaran seseorang ketika menyebut Pawon itu berkaitan dengan penggambaran tentang bagaimana keadaan dapur pada rumah tangga pedesaan, khususnya di wilayah Lombok, pada jaman dahulu di mana belum ada kompor minyak atau kompor gas seperti yang umumnya ditemukan di masa sekarang ini. Abu itu menyiratkan situasi yang kotor, berdebu, sebagaimana biasanya acap ditemui di dalam tungku (jangkih), sebuah perabot yang umumnya terbuat dari tanah liat yang dikeraskan sedemikian rupa sehingga benar-benar berfungsi sebagai alat untuk memasak dengan sumber pembakaran utamanya adalah kayu.
Kata “pawon” itu tidak hanya ditemukan atau dipakai oleh masyarakat Sasak saja, tetapi juga dipakai di masyarakat Jawa dan Bali. Dengan kata lain, istilah ini berpencar di dalam tiga bahasa dari tiga suku bangsa yang berbeda. Di Jawa disebut Pawon, di Bali disebut Paon atau sesekali disebut pula Pewaregan, dan di Sasak disebut Pawon juga. Menariknya, saya tidak tahu bangsa yang mana yang lebih dahulu memakai istilah tersebut sebagai kata referensial untuk sebuah ruang kecil di dalam rumah yang khusus untuk dimanfaatkan dalam aktifitas masak-memasak. Namun, jika boleh berasumsi, tampaknya masyarakat Jawa-lah yang lebih dahulu menyebut istilah tersebut mengingat kesejarahan Jawa yang pernah berkuasa atau mengkolonialisasi dua suku bangsa lainnya, paling tidak jika kita menilik keberadaan Kerajaan Majapahit sejak abad ke-13 hingga abad ke-15.
Selain itu, kata kunci yang perlu didedah terlebih dahulu selain pawon adalah kata Semiotika. Saya sengaja menggunakan istilah ini untuk sekadar mentereng-terengkan pengistilahan untuk kata ‘tanda’ ataupun ‘simbol’. Kesengajaan ini bukan berarti kesewang-wenangan saya. Tentu, saya punya alasan. Perlu diketahui bahwa istilah semiotika itu sebenarnya berposisi lebih luas dari dua kata terakhir. Istilah Semiotika itu memayungi baik tanda ataupun simbol.
Semiotika itu pada mulanya mengacu pada penandaan pada sebuah kajian ilmu, yang di dunia Barat disebut dengan dua istilah yaitu Semiology dan Semiotics. Kedua istilah itu mengacu pada ilmu tentang tanda (a science of signs), yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “semiotika”, yang erat kaitannya dengan tokoh-tokohnya seperti, di antaranya, Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Umberto Eco, ataupun Charles Sander Peirce.
Ketika berbicara tentang semiotika, maka ada tiga macam tanda (sign) yang menjadi alat untuk mengidentifikasi obyek atau fenomena yang dianggap sebagai tanda, yaitu: Ikon (Icon), Indeks (Index), dan Simbol (Symbol). Ikon itu dimaknai sebagai sebuah obyek yang replikatif atau maniaturial dari obyek aslinya. Semisal sehelai foto wajah sesorang yang merupakan gambaran identik dari wajah asli seseorang tersebut. Indeks itu mengacu pada tanda yang mengharuskan terjadinya relasi kausalitas antara satu obyek yang menjadi tanda dengan satu obyek atau kejadian yang lain sebagai penyebab munculnya tanda/obyek yang pertama. Misalnya, ketika kita melihat kepulan asap yang membumbung tinggi ke atas di sebuah bukit, maka secara otomatis kita pasti berkeyakinan atau percaya bahwa ada api yang membakar semak-semak di bawah kepulan asap atau di sekitaran bukit asal asap itu muncul. Dalam konteks ini, asap itu adalah tanda indeksal dari api yang membakar semak-semak tersebut. Selanjutnya, simbol merupakan tanda yang sedikit berbeda dari dua macam tanda di atas. Simbol itu merupakan hasil oleh pikiran yang membaca atau melihat sebuah obyek. Simbol merupakan wujud kreatifitas pikir. Dengan demikian, simbol sebagai tanda cenderung bersifat arbitrer atau bersifat mana suka. Meskipun bersifat mana suka, simbol sebagai tanda tentu lahir dengan narasi logika yang kuat dan argumentatif. Ia dapat muncul disebabkan oleh konvensi atau kesepakatan alamiah dalam sebuah komunitas. Dengan demikian, simbol bisa diterima sebagai sebuah kebenaran atau logos dan kemudian dapat menjadi referensi/pedoman dalam kehidupan sosial masyarakat.
Terkait dangan inilah, maka istilah semiotika yang mencakup ketiga macam tanda di atas, menjadi landas pacu di dalam melihat karya Maia Rahmayati yang berjudul PAWON: Bumbu Sehat untuk Berpikir ini. Konkritnya,saya memandang bahwa karya Maia ini adalah sebuah simbol yang di dalamnya menyajikan serangkaian tanda-tanda fenomenologis yang tentu didapat dari hasil cerapan dan temuan penulisnya sendiri dari berbagai realitas sosial politik dan kultural sejak ia bergelut sebagai penulis, peneliti, dan aktifis dalam waktu yang bersamaan. Karya tersebut adalah tanda (simbol) yang mengandung tanda-tanda. Karena itulah maka karya ini menarik untuk dibedah lebih lanjut dalam konteks tanda atau simbol.
Warna Kuning sebagai Simbol Makna Positif
Entah disengaja oleh penerbitnya ataukah atas permintaan sendiri dari penulisnya sendiri, sehingga warna kover buku tersebut menggunakan warna kuning. Mengapa kuning? Apakah ini merupakan warna kesukaan penulisnya? Ataukah hanya spontan saja oleh penerbitnya agar supaya menjadikan karya ini lebih eye-catching atau mudah diperhatikan oleh calon pembacanya? Saya tidak tahu, biarlah itu menjadi rahasia dapur mereka yang terlibat dalam proses artistiknya. Namun demikian, sebagai pembaca, warna kuning ini menarik bagi saya. Mengapa menarik, karena bagi saya warna itu adalah simbolisasi atau berperan sebagai tanda.
Jika kita melihat tradisi dan keyakinan di balik penggunaan warna kuning, maka warna kuning mempunyai arti banyak. Arti itu dapat dikategorikan menjadi dua, yakni arti atau makna positif dan makna negatif. Sebagai bukti, di Jepang, tradisi penggunaan warna kuning itu mengacu pada makna keberanian (courage). Di China, warna kuning itu digunakan untuk menandai jenis-jenis film yang khusus ditonton orang dewasa. Di Masyarakat Yunani Kuno dan masyarakat Hindu, warna kuning ini mengacu pada hal-hal kedewaan, atau yang berkaitan erat dengan sakralitas. Di masyarakat Sasak, menariknya, warna kuning tidak berarti tertentu secara spesifik. Orang Sasak memang tidak lihai dalam ‘memainkan’ warna sebagai simbol. Namun lepas dari ragam-ragam makna tersebut, sebagian besar suku bangsa di dunia memandang warna kuning itu mempunyai makna negatif ataupun positif.
Warna kuning bermakna negatif itu adalah kepengecutan (cowardice), pengkhianatan (betrayal), egoisme (egoism), dan kegilaan (madness). Dengan kata lain, segala hal atau kejadian yang berkaitan dengan empat makna di atas, maka warna yang lekat untuk menandainya adalah warna kuning. Apakah warna kuning untuk buku ini sebagai tanda atas keempat-empatnya atau mengacu pada salah satu dari empat makna negatif tersebut? Jika hal itu yang terjadi, saya pribadi tidak bisa membayangkannya. Namun, saya meyakininya tidak demikian adanya. Saya berpikiran positif dan sangat meyakininya, bahwa warna kuning yang ada kover buku tersebut adalah murni dalam konteks makna positif. Perlu diketahui bahwa makna warna kuning itu adalah kehangatan (warmth), kebahagiaan (happiness), optimisme (optimism), kreatifitas (creativity), kepintaran (color of intellects or mind), dan keceriaan (spring and sunshine). Tentu saja, semua makna ini secara langsung menyasar kepada pemilik dan pencipta karya buku ini, yaitu Saudara Maia Rahmayati. Terkait dengan hal itu, saya pribadi patut mengucapkan selamat dan semoga energi positif yang diberikan penulisnya melalui buku ini bisa menular ke kita semua sebagai pembacanya. Salah satu energi yang tertularkan itu ialah kita semua harus bisa berkarya, karena berkarya itu adalah aktifitas kesejarahan untuk diri dan bangsa kita.
Pawon dalam Tanda Denotatif dan Konotatif Kehidupan
Adalah wajar jika buku ini diberi judul “Pawon”. Hal ini dikarenakan penulis buku ini beberapa kali mengaksentuasikan pemikirannya dengan glosa-glosa yang ada di dalam dapur, serta makanan-makanan khas Sasak yang dihasilkan dari dapur (pawon), selain kata “dapur” beberapa kali disebut juga. Kata-kata yang dimaksud, misalnya, kata Cobek, Jangkih, Bawang, Cabai, Pelecing Kangkung, Beberoq, Kolak, Bau Rasaq, dan sebagainya. Menariknya glosa atau kata tersebut semuanya mengacu pada pawon atau dapur masyarakat Sasak, khususnya masyarakat Sasak dari kelas bawah, yang ada di daerah pedesaan atau kampung.
Acara Bedah Buku “PAWON” dengan Narasumber Pembedah Dr. Nuriadi (tengah) Nur Janah (kanan) Penulis Buku Maia Rahmayati (kiri) moderator Achive Ikroman (Paling Kanan)
Seperti disebut di awal, dapur yang digambarkan oleh Maia di sini adalah sejenis ruangan yang lekat dengan sebuah ruang yang cenderung sempit dan dikitari oleh hal-hal yang kotor, hitam, jelaga, berasap, dan abu. Sebuah ruangan yang identik dengan adanya tungku, perabotan, dan bumbu masak. Tentu fakta ini berlaku jika kita mencoba menilik kondisi dapur di rumah-rumah di kampung atau pedesaan orang-orang Sasak, bukan hal serupa di daerah perkotaan atau di masyarakat kelas menengah ke atas. Selain itu, dapur umumnya berada di bagian belakang atau bagian samping atau bagian dalam dari sebuah bangunan utama. Ia tidak terlihat langsung oleh tamu rumah tersebut. Dan hanya orang-orang yang tinggal di rumah itulah yang bisa memahami kondisi dapur tersebut. Dengan kata lain, dapur itu adalah sebuah ruangan yang khusus dan cenderung “dirahasiakan”. Atas dasar ini, saya berani mengatakan bahwa dapur itu sebuah ruang atau sirkumstan tersendiri yang sifatnya khusus dalam sebuah rumah berikut dengan kompleksitas tradisi penghuninya. Dan sesungguhnya orang yang yang tidak bisa menyembunyikan kondisi dapurnya adalah orang yang norak, vulgar, dan rentan “dikuasai” karena itu sekali lagi ranah rahasia dan khusus.
Dikatakan rahasia dan khusus karena Dapur berlawanan dengan Ruang Tamu atau ruangan yang berada di tampak depan sebuah bangunan rumah. Dapur itu adalah panggung belakang, dan ruang tamu adalah panggung depannya. Jika di ruang depan (Ruang Tamu) itu cenderung diisi oleh hal-hal yang mentereng dan prestisius dalam rangka menunjukkan siapa sebenarnya si penghuni rumah tersebut, maka dapur cenderung dibiarkan tanpa polesan atau ornamen yang muluk-muluk. Dapur adalah sebuah ruangan yang apa adanya, dan tempat disimpannya barang-barang yang beraroma bau dan amis. Meskipun begitu, dapur menjadi sangat vital yang menjadi penentu arah kehidupan dan kelangsungan hidup penghuninya. Masakan yang enak atau tidak enak bermula dari sana. Orang yang hadir di sana pun adalah orang yang tanpa kenal kelas, dalam arti baik orang yang berkelas rendahan (jongos) ataupun orang yang berposisi sebagai majikan akan hadir di sana. Tidak hanya itu, sekarang dapur juga tidak membatasi gender. Dengan begitu, dapur adalah sebuah ruang kehidupan nyata apa adanya, tanpa polesan serta sebagai tempatnya hal-hal yang “tidak sepantasnya diketahui orang luar” dan sebagai tempat bersinggungannya kelompok atas dan menengah dalam posisi yang egaliter/tidak berkelas dan dalam kondisi simbiosis-mutualistis.
Jika digeret simbolisasi ini terkait dengan ke-diri-an manusia, maka dapur atau pawon itu adalah alam mentalitas, epistemi, atau kesadaran manusia yang tersembunyi (yang meliputi akal dan bathin manusia). Ia berposisi di dalam diri manusia, namun menentukan secara vital tentang bagaimana seseorang bersikap dan bertindak ataupun berperilaku di lingkungannya. Jika itu dalam konteks sebuah komunitas atau masyarakat, maka dapur atau pawon itu adalah tak ubahnya “inti budaya” (collective consciousness) yang dimiliki secara natural dan tradisional oleh individu-individu di dalamnya. Dengan demikian, posisi dapur itu amat sangat penting, baik dalam arti denotatif, maupun dalam arti konotatif-metaforis.
Jadi, meskipun ulasannya demikian, perlu dipertegas di sini bahwa ada dua wujud penafsiran yang bisa menjadi alasan mengapa menggunakan semantik ‘pawon’ (dapur) sebagai judul buku tersebut. Pertama, penulis ingin menunjukkan keapa-adanya dirinya sebagai orang dan perempuan Sasak asli. Orang Sasak itu dikenal dengan karakternya yang lurus (lomboq), yang berarti jujur, terus terang, apa adanya, tidak berbelit-belit, vokal atau blak-blakan. Kira-kira, dengan demikian, penulis menguatkan betapa karakter tersebut melekat di dalam tulisan-tulisannya di buku tersebut. Dia tidak perlu repot-repot menggunakan teori ataupun perspektif tertentu, tetapi dia langsung mengungkapkan fakta dan pemikirannya tanpa berbelit-belit. Sikap dan pemikirannya, meski terkesan pedas dan pahit bagi orang lain, adalah “dapur” yang dimilikinya dan diungkapkan secara lugas. Dan itu Sasak! Sebagai bukti atas hal ini, hampir di setiap tulisan di dalam buku tersebut diselipkannya pemikiran dan sikap kritis di atas fenomena atau peristiwa yang dibincangkan. Kedua, penulis adalah seorang perempuan, dan dapur di Sasak sejauh ini, meski bias gender, berindentik dengan perempuan. Di samping itu, ada adagium dari orang-orang tua Sasak bahwa keperempuanan bisa diukur dari kemahirannya menghasilkan masakan di dapur. Dalam konteks ini, penulis ingin menegaskan hal itu. Oleh karena itu, jangan main-mainlah dengan dapur, serta jangan main-mainlah dengan perempuan. Jika dapur sudah sepi dan berteriak, maka jangan harap pula keharmonisan dan kesejahteraan itu nyata. Kondisi dapur adalah parameter terhadap sejauh mana eksistensi ruang-ruang selain dapur. Omong kosonglah pesona Ruang Tamu atau Ruang Tidur jika Dapur sunyi sepi dan tidak mengepul.
Karya Pawon sebagai Tanda atas Gaya Penulisannya
Di awal saya sudah mencoba menyebutkan bahwa karya Pawon ini merupakan Tanda bagi diri penulisnya. Ini merupakan “puncak pertama” (maaf, jika keliru) bagi penulisnya sebagai penulis/kolomnis produktif, khususnya di Lombok Post, tentang kehidupan sosio kultural dan politik di Lombok dan NTB pada umumnya. Saya berani mengatakan sebagai “puncak pertama”, yang saya yakin akan dilanjuti dengan pencapaian-pencapaian puncak-puncak kesuksesan yang lebih tinggi dari ini, adalah karena buku ini sebenarnya merupakan “bunga rampai” dari karya-karya artikel atau opini penulis yang sebelumnya sudah dimuat di media massa, meskipun tampaknya ada juga yang tidak dimuat alias karya-karya yang sebelumnya cukup disimpan saja sebagai file-file komputernya.
Menariknya, meskipun karya ini sebagai bunga rampai, tetapi penulis tampaknya sadar betul bagaimana cara karya tulisannya ini bisa dinikmati dan menggiring pembacanya untuk terus membaca. Dia menggunakan model penyajian dari isu Kecil (Micro) ke isu Besar (Macro). Dalam istilah saya, Maia sedang menggunakan model penyajian ala Nyala Lampu “Senter Kebah”, yang mana sinar yang dekat dengan sumber cahaya sorotannya kecil tetapi ketika sudah menjauh akan membesar dan membias lebar lagi hingga sampai pada obyek yang diteranginya. Sebagai bukti, dari 57 jumlah tulisan, pada bagian-bagian awal buku ini, yang disajikan adalah hal-hal yang bersifat Domestik atau keseharian Maia di rumah tangga seperti Liburan, Pedis Panas, Bawang, Bau Rasaq, Peyek, ataupun Seminggu Bersama Neja, tetapi pada bagian pertengahan hingga akhir buku ini, tema-tema yang diangkat atau dimunculkan alah soal-soal Publik dan Politik, seperti soal Bulan Ramadhan, Bahasa Slang, Festival Bau Nyale, Festival Rakyat Bekerase, Islamic Center, Hari Kartini, Pemilukada, Sisi Lain MTQ Nasional, Tiongkok dan TGB, dan sebagainya.
Kendatipun demikian, buku ini tidak kehilangan aksentuasi karakter pemikiran penulisnya yang khas serta tidak kehilangan semantik kekritisan penulisnya pada setiap fenomena yang dibahas. Keduanya tampak seolah padu dalam membentuk masakan “kandoq” sehingga rasanya tidak nyalor (terlalu banyak kuwah dan hanya satu bumbu saja yang tajam terasa), dan tidak pula nyet alias dingin hambar, bagaikan kekurangan bumbu terutama bumbu garam, terasi, ataupun penyedap rasa. Masing-masing tulisan mempunyai peran dan pesan yang kuat, yang kemudian ujung-ujungnya adalah memberi semacam “angle” kritis pada hal yang dibahasnya.
Gaya Maia dalam menyuguhkan tulisannya yang selalu memberi “angle” berbeda inilah yang menjadi kekhasan dan sekaligus daya tarik buku ini. Dia membahas soal sosok Kartini seperti dalam “Hari-Hari Kartini” bukan yang diungkapkan secara panjang lebar tentang Kartini yang menjadi pahlawan nasional itu tetapi dia mencoba menggeret tulisannnya ke arah sosok Kartini yang real, yang nyata, yaitu tokoh-tokoh perempuan seperti Nur Jannah, Nursida Syam, Aisyah, Senun, Suyatni, ataupun tokoh-tokoh perempuan biasa lainnya yang nyata ditemui di masyarakat dan berjuang hidup dengan karya-karya nyata. Dia bahkan secara eksplisit mengatakan bahwa Kartini yang pantas dikatakan “Kartini” saat ini adalah mereka yang berkarya nyata, bukan mereka yang hanya suka selfie dengan berias, berkebaya, atau bersanggul ala ibu-ibu layaknya tokoh Kartini pahlawan nasional tersebut.
Ketika berbicara tentang berbagai hal tentang fenomena yang fenomenal, dia bukannya membahas topik tersebut secara mendalam dalam konteks kajian teoretis dan berat, dia justru mencoba menampilkan “sisi lain” akibat atau yang berkait dengan topik tersebut. Misal, ketika dia berbicara soal energi yang terbarukan dalam “Energi Terbarukan dari Pinggir Hutan”, maka bukan soal teoretis tentang biogas atau pupuk organik atau semacamnya, tetapi dia malah berbicara tentang kehidupan seorang ibu bernama Sipa’iyah yang hanya menopang hidupnya dari mengumpul kayu bakar di hutan dan sayuran pakis. Demikian juga, ketika dia berbicara tentang “Bau Rasaq”, maka dia justru membicarakan bagaimana perjuangan seorang Suyatni dalam menghidupi keluarganya dengan jajanan khas masyarakat Sasak Lombok Tengah tersebut.
Singkatnya, Maia bertutur atau menampilkan pemikirannya dalam setiap tulisan di buku itu adalah dengan (a) topik atau isu yang umum, (b) gaya apa adanya (plain) atau sederhana, (c) to the point atau langsung mengalir saja (deskriptif-naratif), (d) tidak menggunakan teori atau perspektif teoretis tertentu lengkap dengan istiilah-istilah jelimetnya, (e) berdasarkan hasil pengamatan atau penemuannya di lapangan, dan, yang terpenting, (f) menampilkan sisi lain atau angle yang berbeda dari topik atau kejadian utama yang sedang atau sudah terjadi sebagai fenomena sosial budaya. Dalam konteks yang terakhir ini, orang tampaknya bisa jadi kecele, karena tema besarnya “ini” tetapi yang menjadi titik tekan pembahasannya justru “itu”. Atau jangan-jangan Maia sedang mengkampanyekan tren penulisan baru dalam jagat Media Massa yang bisa diberi nama tren penulisan Cocokologi? Maaf, saya tidak tahu.
Tetapi yang jelas, semangat yang ingin disampaikan kepada kita semua adalah sebuah Ajakan pada kita semua bahwa kita semua hendaknya kritis pada setiap proses pembacaan kita kepada setiap fenomena yang muncul dan berkembang di masyarakat. Krtisi sekaligus juga langsung melihat yang real atau yang terjadi di lapangan/masyarakat. Sehingga dengan kekritisan dan penemuan fakta yang faktual di lapangan, kita akan semakin jeli melihat dan merasakan mana hal-hal yang sifatnya formalistik (yang cenderung hambar dan tidak berpengaruh nyata dan konstan pada rakyat, seperti pelaksanaan kegiatan Bulan Budaya yang lagi datang Bulan atau Festival Bau Nyale yang meninabobokan dengan artis-artis nasional) dan mana pula yang hal-hal yang seharusnya bersifat esensial/mendasar. Untuk soal ini, bagi Maia, tampaknya belum ada sehingga dia mengkritisi setiap fenomena di dalam tulisan-tulisannya. Mengkritisi bukan dengan bahasa-bahasa sarkastis, tetapi dengan menyandingkan fakta-fakta lain di luar fenomena atau persitiwa sosial budaya dan politik yang sedang hadir. Dalam pandangan saya, itulah karakter sebenarnya Maia!
Dengan demikian, tulisan-tulisan kritis dengan gaya penulisannya seperti diungkap di atas merupakan cerminan dari Maia Rahmayati sendiri. Jadi, buku ini adalah Tanda bagi penulisnya sendiri. Itulah yang saya maksud di awal tulisan ini dengan pernyataan saya bahwa buku ini adalah Tanda yang mengandung “tanda-tanda”. “Tanda-tanda” itu adalah fenomena-fenomena yang menyiratkan pesan-pesan, di antaranya: (a) sifat keperempuanan sejati itu, khususnya keperempuanan Sasak, bisa tercermin pada mahir-tidaknya beraktifitas di dapur; (b) perlunya mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak memihak; (c) perlunya sensitifitas dalam membaca fenomena yang ada di sekitar karena itu bisa menjadi ilmu dan bahan kritik; (d) pentingnya menselebrasi peristiwa sosial budaya pada sisi substansinya ketimbang sisi formalitas dan ramainya saja; (e) perlunya keberpihakan dan kepedulian semua orang pada (nasib hidup) rakyat kecil, dan lain sebagainya.
Karya Pawon sebagai Tanda Pengabdian
Sejauh pengetahuan saya, Maia memang dikenal sebagai orang yang aktif sebagai penulis dan peneliti, di samping sebagai aktifis dalam berbagai gerakan sosial, khususnya pemberdayaan perempuan, gerakan literasi, dan gerakan kebudayaan Sasak. Dan fakta ini terkonfirmasi oleh biografi singkat dia di bagian akhir buku ini. Tentu, di samping seabrek kegiatannya dalam lingkup publik dan politik, dia juga, menurut saya, dia juga tidak melngabaikan kodratnya sebagai perempuan sejati dan sebagai ibu rumah tangga.
Poin yang ingin saya sampaikan adalah Maia adalah sosok perempuan yang tidak pernah berhenti mengabdi sebagai anak manusia dan generasi muda Sasak yang idealis. Dia ingin terus eksis di bidang yang dia suka. Dia ingin sebisa mungkin untuk terus berperan dan menonjol di bidang yang dia geluti saat itu. Jika memungkinkan kehadiran dia di dalam kegiatan tersebut harus dia dokumentasikan dalam bentuk tulisan-tulisan yang kemudian dia bingkai dengan perspektif kekritisannya. Dan tulisan-tulisan di buku ini adalah sebagian kecil dari dokumentasi dia terhadap berbagai peran yang dia lakukan selama ini. Jika dia benar-benar berperan dan terlibat secara fisik di dalam berbagai kegiatan /gerakan sosial sebagai wujud pengabdiannya, maka tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini adalah bukti dan/atau tanda atas pengabdiannya tersebut.
Menariknya, dengan kemampuannya menggeluti sejumlah peran baik yang masuk dalam ranah domestik (ibu rumah tangga) dan ranah publik bahkan politik (penulis, peneliti, aktifis), tampaknya Maia hendak menegaskan eksistensi atau figur perempuan Sasak yang nyata. Bahwa dia ingin menyeimbangkan kehadiran konsep “True Woman” dan konsep “New Woman” secara bersamaan. Jika konsep “True Woman” dipahami sebagai hadirnya perempuan yang penurut, keibuan, cinta kehidupan rumah tangga, maka konsep “New Woman” mengacu pada keberadaan perempuan yang cenderung kritis, pemikir, pengkritik, pendobrak, serta menyukai kegiatan-kegiatan publik. Kedua konsep itu tampaknya digeluti oleh Maia, dan buku Pawon ini adalah pembuktiannya. Tampaknya inilah jalur yang menjadi passion-nya. Dan bagi saya, inilah perempuan Sasak yang emansipatif. Bahkan saya juga melihat perempuan Sasak yang emansipatif itu terdapat pada sosok Senun, yang hidup sebagai buruh tani dan menghidup diri dan keluarganya dengan pekerjaan itu, ataupun Suyatni, Aisyah (Icok), Sipai’yah, Ijum dan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang nota bene menjadi inspirasi Maia sendiri ketika menulis. Mereka semua adalah Kartini yang sebenarnya, yang mampu menjalankan Peran Ganda. Mereka Feminis yang Maskulinis sekaligus. Mereka menjalani peran ganda tersebut dengan jiwanya, sebagai wujud pengabdian tanpa pamrih demi kehidupan dan harkat sebagai manusia dan hamba Tuhan.
Terlepas sebagai Tanda yang mengandung tanda-tanda, tampaknya buku ini mengajak kita ber-literasi seperti penulisnya. Berliterasi bukan hanya mampu membaca dan menulis apa adanya, tetapi berliterasi secara kritis dan reflektif dengan menggunakan jiwa dan pikiran. Jika bisa demikian, kita akan dapat lebih melihat setiap tanda dan fenomena dari angle atau sisi yang berbeda dan menampilkannya kembali dengan gaya yang apa adanya dan sederhana. Jika bisa demikian, kita bisa mengatasi “kebungulan” (kebodohan) bangsa ini dan menjadi bangsa yang tercerahkan dan ‘merdeka’ sejak dalam pikirannya. Semua itu, hanya bisa terlaksana dengan hadirnya tradisi literasi. Iya saya setuju, literasi harus bisa menjadi “tulang punggung” peradaban kita di NTB. Tentu, literasi yang lebih baik adalah literasi dalam konteks produktif, yang menghasilkan karya tulisan, bukan konsumtif atau pemamah-biak informasi semata. Akhirnya, sesungguhnya karya Pawon ini adalah wujud literasi yang baik, yang produktif tersebut. Tulisan yang baik adalah tulisan yang efektif, afektif, dan bernutrisi. Pun, tulisan yang hidup adalah tulisan yang dilakukan dengan sepenuh jiwa. Serta, tulisan yang cerdas adalah tulisan yang mengkritik tetapi pihak yang dikritik tidak tersinggung dengan kritikan itu. Dan Maia benar-benar sudah menunjukkannya di dalam bukunya ini.
Ditulis dan Dipresentasikan oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
PAWON Sebagai Semiotika Fenomena: Tanda yang Mengandung “tanda-tanda”
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
November 07, 2017
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar