Cerpen: PAHAM DADE


Pada suatu hari, tepatnya pagi menjelang siang, di daerah persawahan di desa Keraro Bedah, sebuah desa antah berantah di Lombok, dua sahabat lama kebetulan bertemu, Amaq Acim dan Tuan Ahmad. Tuan Ahmad kebetulan sedang bercengkerama dengan paculnya mengolah bongkahan-bongkahan tanah sawahnya yang berupa sawah gogo-rancah itu untuk dipersiapkan ditanami padi, tiba-tiba Amaq[1] Acim lewat dengan sedikit tergopoh yang rupanya ia juga hendak ke sawahnya dengan pekerjaan yang sama. Tapi seketika melihat Tuan[2] Ahmad sedang mencangkul, rasanya Amaq Acim tidak enak alias tidak etis untuk tidak menyapa sahabat lamanya, yang kini sudah menjadi haji, sebagai tanda ‘permisi numpang lewat’ pula, plus sekaligus bermaksud tetap mengikat tali kehangatan hubungan di antara mereka, di mana pun berada.
Ketumbenm Tuan sugul nambah,” sapa Amaq Acim.
Mendengar suara yang dirasa tidak asing di telinganya, Tuan Ahmad langsung menoleh dan seketika berhenti mencangkul.
“Eh, Amaqn Acim, oh aoq iye wah,[3]” jawabnya. “Mau ke mana?” Sapa Tuan Ahmad lagi beberapa saat kemudian.
Eak cobaq lalo mengkedek jok  bangket juluq.[4]” Jawab Amaq Acim tegas.
“Ah sebentar dulu, kita ngobrol-ngobrol dulu lah, sudah berminggu-minggu kita tidak ketemu muka dan bercakap-cakap semenjak saya pergi ke Mekah, naik haji,” pinta Tuan Ahmad seketika meletakkan cangkulnya di atas bongkahan tanah dan segera menuju pematang sawah, tempat Amaq Acim berdiri.
“Sebentar dulu lah, ton, kita ngerokok-ngerokok, kebetulan ada rokok Gudang Garam Surya nih saya bawa.” Pinta Tuan Ahmad lagi setelah duduk di pematang sawahnya.
Mau tidak mau akhirnya Amaq Acim duduk di samping teman akrabnya yang kini sudah menjadi haji (tuan) itu. “Tidak jadi ke kerja nih”, imbuhnya.
“Duduklah, kita nikmati hari ini dengan ngerokok-rokok,” ucap tuan itu lagi.
“Saya jadi agak kikuk sekarang bagaimana cara saya menyapa side ton, yang biasanya dulu kita saling ledek, saling guyon, sekarang side sudah jadi tuan, seorang haji yang dekat dengan Allah,” kata Amaq Acim polos.
 “Biasa saja ton. Panggil saya aja ‘tuan’ beres, toh orang-orang haji juga biasanya juga disapa demikian,” jawab sang haji sembari melepas kopiahnya yang terbuat dari bambu, dan kini hanya kecopong atau ketopong putih, kopiah khas hajinya, yang terlihat masih menempel ketat membungkus kepalanya itu.
“Oh tidak harus ‘bapak’ kah?”
Sang tuan menggelengkan kepalanya, menandai kalau dia tidak menyetujui disebut atau dipanggil ‘bapak’ oleh teman akrabnya itu. Baginya, memang, panggilan ‘tuan’ lebih mempertegas keberadaan status sosialnya ketimbang panggilan ‘bapak’.
Mereka lalu mengambil batangan rokok Surya yang sedari tadi sudah diletakkan di depan mereka. Lalu saling berbagi cerita saat-saat mereka masih muda, lalo ngujang (mengunjungi seorang gadis dengan membawa makanan atau minuman spesial untuk si gadis di siang hari) tatkala waktu najuk atau menanam padi di tengah sawah, serta cerita-cerita lain khususnya tatkala masih aktif menjadi penggembala kerbau di wilayah persawahan tempat mereka berada sekarang. Ya. Mereka sangat senang jikalau kerbaunya bisa menang saat diadu. Karena itu menjadi salah satu kebanggaan bagi setiap penggembala, tak terkecuali mereka.
Di sela-sela cerita dan penceritaan mereka. Tawa ngakak dan spontan terdengar acap. Berderai-derai malah. Tepatnya, mereka sejatinya sedang mentertawakan diri masing-masing. Sebab semua cerita itu kini sudah menjadi cerita-cerita usang, lucu, dan bahkan tolol di dalam ingatan mereka.
“Ya ya masa muda yang indah he he,” imbuh Amaq Acim terkekeh.
Mereka sudah lupa dengan pekerjaan atau tujuan utama ke persawahan itu.
Kemudian Tuan Ahmad, yang sebelumnya bernama Amaq Katok dan berubah menjadi Tuan Ahmad setelah berhaji, bercerita panjang lebar pengalaman-pengalamannya selama menjalani ibadah haji. Ia bercerita bagaimana Tuan Ahmad begitu kesusahan memakai pakaian ihrom, dan berkali-kali kedodoran hingga hampir (maaf) telanjang di depan Ka’bah. Sang haji pun tak lupa bercerita bagaimana rupa Hajar Aswad serta bagaimana perjuangannya untuk bisa mencium batu suci nan keramat itu. Baginya di situlah puncak ibadah haji yang dia lakukan, sebab dengan mencium Hajar Aswad sang haji bisa mengetahui, meyakini, dan membuktikan diri kalau dia termasuk orang yang bersih serta tidak termasuk orang Sêlaq, yakni orang yang mempunyai ilmu hitam yang biasanya menjadi pemakan bangkai dan kotoran manusia di malam hari dan tentu menjadi aib bagi siapapun bila diketahui demikian di kampung mereka. Dan ibunya dulu konon pernah diisukan menjadi Sêlaq oleh orang-orang kampung.
Amaq Acim tampak termanggut-manggut bahkan acap kali berucap “astaga”, “oh iya,” atau “oh begitu”, sebagai ekspresinya menikmati cerita Tuan Ahmad.  
Satu batang rokok sudah ludes terbakar atau terhirup.
Rokok berikutnya mulai disulut kembali.
Senyap beberapa saat. Hanya hembusan angin terdengar, mendesau.
Ingatan tentang tujuan utamanya di sawah itu terlupakan sudah.
“Tuan, hmmm…kenapa side musti pakai ketopong putih di sawah? Apa memang harus dipakai?” Amaq Acim bertanya.
“Harus!” jawab sang haji itu sontak.
“Oh begitu?”
“Iya. Bila tidak, berdosa nanti. Bahkan arti atau nilai haji saya jadi hilang sirna nanti, bila tidak pakai.”
Amaq Acim manggut-manggut, meski tidak paham maksudnya.
“Kenapa memangnya ton?”
“Ah ndak ada apa-apa. Tapi kok rasanya lucu begitu. sudah pakai kopiah bambu masih juga pakai kecopong tuan.”
“Besok kalau side sudah naik haji, baru side tahu keharusan atau kewajiban sebagai seorang haji. Tahu tidak, jadi tuan itu berat, lebih-lebih kalau sudah jadi tuan guru, nah itu lebih berat lagi. Paling ndak, ke mana-mana harus pakai kecopong putih atau sorban. Ya seperti ini ini.” jelas Tuan Ahmad dengan sangat bersemangat dan meyakinkan.
Batang rokok yang kedua hampir habis kini. Mereka pun tidak menyadari sinar matahari sudah makin terik terasa.
“Ngomong-ngomong, tuan, oh iya saya jadi lupa sebenarnya mau mencangkul di sawah he he, gara-gara rokoknya yang sedap ini,” kata Amaq Acim.
“Alah besok saja ke sawahnya. sudah siang ini,” sambut tuan.
“Tapi…..”
“Ah side ini, terlalu serius hidupnya. Santai saja. Nikmatilah rokoknya dulu.”
Untuk kesekian kalinya Amaq Acim terdiam, tidak mampu menolak permintaan teman akrabnya sejak masa muda ini.
“Eh tuan, astaga di sawah saya ada binatang apa itu?” Tiba-tiba Amaq Acim melongok ke arah sawahnya, sekitar satu kilometer dari tempat mereka duduk itu.
Tuan Ahmad pun terkesiap, dan mengikuti arah penglihatan Amaq Acim.
“Yang mana?”
“Itu tuh di sawah saya, di seberang oloh itu.”
“Itu anak kerbau ton”, jawab Tuan Ahmad.
“Ah kayaknya bukan kerbau, gak mungkin kok tidak hitam legam. Anak sapi kayaknya itu tuan.” Bantah Amaq Acim.
“Lho karena sinar matahari makanya tidak terlihat hitam seperti yang side bayangkan. Lagian seekor anak kerbau tidak harus hitam .”
“Tidak, itu seekor sapi, tuan. Lihat-lihat ekornya kelihatan terjuntai ke atas, terus badannya agak pipih.” Jelas Amaq Acim bersemangat.
“Lho side kok membantah. Itu seekor kerbau, tahu. Side ini lupa ya side bicara dengan siapa?! Side bicara sama seorang haji, seorang tuan, yang sudah mencium Hajar Aswad. Itu pasti kerbau!”
Amaq Acim lantas menggelengkan kepala.
“Tidak, tuan, itu sapi.”
“Kerbau, kerbau.”
Kali ini suara masing-masing makin meninggi. Memecah ketenangan hamparan sawah. Tampak tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing berada pada argumen sendiri-sendiri.
 “Tuan, maaf, bukannya saya tidak hormat sama hajinya, tapi itu jelas seekor anak sapi ton!”
“Dasar kamu memang dari dulu orangnya pagah!” Hardik Tuan Ahmad.
“Side yang pagah. Itu memang sapi!”
“Kerbau!”
“Saapii!”
“Haah, kerbaaaauu!!”
Akhirnya pertengkaran sudah tidak bisa dihindari lagi di antara dua sahabat karib itu. Batang-batang rokok yang sebelumnya menjadi mediasi keakraban mereka kini sudah tak berapi lagi. Tidak mempan mencairkan suasana. Melainkan, muka mereka tampak memerah, dengan sorotan mata yang begitu tajam. Nanar. Saling menantang. Saling memendam dan memintal kesumat kebencian.
Beberapa saat kemudian.
“Baik, ayo kita buktikan!” Pinta Amaq Acim kepada sang haji itu.
“Ayo! Siapa takut.”
Akhirnya mereka masih bisa bersepakat di tengah kobaran amarah masing-masing. Mereka bersepakat untuk mendekati barang atau binatang yang menjadi sumber percekcokan di antara mereka.
Benar. Pada saat itu, mereka benar-benar sudah tidak mengingat lagi apa yang menjadi tujuan utama atau pekerjaan utama mereka berada di persawahan itu. Atau mungkin juga hal itu sudah tidak penting lagi, bagi mereka. Yang ada di benak mereka hanyalah pertaruhan dan pemenangan akan gengsi dan harga diri. Terkait dengan ini, gengsi atau harga diri memang menjadi sebuah harta paling berharga dan menjadi ‘harga mati’ bagi orang-orang Sasak, kapan dan di mana pun.
Mereka kemudian beranjak dari tempatnya, lalu berjalan cepat setengah berlari menuju tempat itu.
Tidak ada tutur sapa. Sunyi. Bahkan makin tegang.
Mereka terus berjalan.
Akan tetapi, beberapa puluh meter sebelum sampai ke tempat yang dituju, tiba-tiba benda atau binatang yang dikatakan ‘kerbau’ atau ‘sapi’ itu mendongak kaget, seakan mengetahui ada orang yang akan mengganggu kekhidmatannya. Benar. Benda atau binatang yang diperdebatkan itu tiba-tiba berlari ketakutan, lari menjauh dari kedatangan kedua lelaki itu, sambil mengeluarkan suara.
Dan dua orang itu sangat tahu atau kenal betul dengan suara itu.
“Guk guk guk guuuuk guuuukkk….!!” Suara binatang itu lantang.
“Wah seekor anjing ternyata, tuan,” kata Amaq Acim sambil menahan tawanya. Agak geli sendiri.
Tapi ternyata tidak dengan Tuan Ahmad. 
 “Bukan! Saya tetap meyakini bahwa itu seekor kerbau, tahu!” Jawab Tuan Ahmad serius. Masih tegang.
Sekali lagi, suara binatang itu terdengar di kejauhan, di balik rerimbunan pohon pandan.
“Guuuuk guuuuk guuuuk gguuuuuuuuuuuukk…!!!”
“Tuh , suranya, itu anjing tuan.” Suara Amaq Acim melunak.
“Ah dasar kamu, itu seekor kerbau yang mengguguk, tahu tidak?! Sekali lagi, kerbau yang mengguguk!” Tegas Tuan Ahmad membentak.
Amaq Acim kali ini terdiam. Mengerutkan dahinya. Tidak hendak bersuara. Dia benar-benar dalam suasana kebingungan yang teramat sangat. Bahkan, antara percaya dan tidak, kalau baru kali inilah sepanjang hidupnya Amaq Acim baru mengetahui dan mendapati ada seekor kerbau yang bisa mengguguk  atau menggonggong.
“Percayalah dengan kata-kata saya. Sekali lagi, ingat, kamu ini sedang berbicara dengan seorang haji lho, orang yang sudah mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad. Jadi yakinlah kebenaran ucapanku ini!”
Amaq Acim tetap diam. Tidak mengiyakan, tidak pula menidakkan ucapan sang haji itu. Mungkin juga ia sudah tidak memperdulikan ucapannya.
Hanya di dalam hatinya, Amaq Acim berucap lirih tapi khidmat:
”Ya Allah, ampunilah diriku, hambaMu ini, atas segala kebodohanku …”
Doa ini berkali-kali ia ucapkan terus dan terus hingga hatinya serasa bergetar. Namun Tuan Ahmad tidak mau perduli mengapa rupa polah teman sekaligus musuhnya itu terus membisu. Sang haji hanya menatapnya dengan semburat ucapan hardikan di mulut, “Dasar bodoh!”.




[1] Amaq = ayah, bapak
[2] Tuan = Haji
[3] Bapaknya Acim, oh iya sudah
[4] Saya mau pergi ke sawah
Cerpen: PAHAM DADE Cerpen: PAHAM DADE Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on November 13, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.