KEUNIKAN NOVEL “SANGGARGURI” KARYA LALU AGUS FATHURRAHMAN DALAM BERBAGAI SISI

Pendahuluan

Karya “Sanggarguri” ini jelas-jelas merupakan sebuahkarya sastra. Ia berbentuk “novel” yang menjadi salah satu bentuk prosa fiksi (fictional prose). Karya prosa fiksi yang berbentuk novel atau roman itu umumnya menekankan kekuatan fiksionalitasnya dalam proses artistik penciptaannya. Oleh karenanya, kekuatan fisksionalitas ini, menurut Terry Eagleton ataupun Gregory Castle, menjadi ciri utama apakah sebuah tulisan dapat dikatakan sebagai karya sastra atau tidak. Kekuatan fiksionalitas ini konkritnya berupa daya imajinasi dan lompatan pemikiran dan kreatifitas pengarangnya. Dengan fiksionalitas ini, sang pengarang dalam hal ini Miq Agus Fathurrahman, berusaha mengkonstruksi bingkai intrinsik cerita novel “Sanggarguri”-nya bersamaan dengan kayanya pengalaman, tingginya pandangan hidup, serta kuatnya visi Miq Agus sebagai pengarang. Dia hadirkan novel ini karena dilandasi oleh keinginan untuk mendefinisikan dan menegaskan kembali “jati diri spiritual Sasak” (baca: sufisme Sasak/Tariqah Sasak) seperti disebutnya di dalam Prolog, yakni “Jati diri seperti itu kini telah tertanam dalam perut bumi, karena ditimbun sampah peradaban yang memerlukan ketekunan tersendiri untuk membenamkan diri dalam ranah kearifan yang tersembunyi” (hal. 2). Dalam pandangan saya, novel ini tidak sekedar novel, tetapi ia sudah mendekati konsep karya seni sastra tinggi (canon atau masterpiece) karena mempunyai sejumlah keunikan, yang bisa kemudian menjadi alat ukur bagus tidaknya atau sublim tidaknya isi, pesan dan makna yang disampaikannya. Isi, pesan, dan makna tersebut tertuang dalam karya ini melalui berbagai fakta literer yang cukup metaforis dan/atau simbolis.

Adapun keunikan-keunikan yang dimaksud dapat diurai satu persatu berikut ini.

1. Keunikan dari Sampul

Hans Robert Jauss menyebutkan teori “Horison Harapan” (Horizon of Expectation) dalam perspektif estetika resepsi (Reader’s Response). Dengan ini, sampul Novel “Sanggarguri” yang memperlihatkan ‘wajah orang tua bersorban” menandakan kesalahen atau ketaatan secara Islami, kearifan sebagai manusia, dan kealimannya pada ilmu agama; tulisan judul “Sanggarguri” menandakan kata yang khusus, yang hanya orang tertentu yang paham terhadap makna kata ini, persis sama dengan isi novel; serta gambar ‘sosok manusia yang menyembah’ menandakan sikap kepasrahan atau ketundukan pada sesuatu yang dipuja. Dengan demikian, dari tampilan sampulnya, novel ini terkesan khusus, unik, dan menarik untuk dibaca lebih jauh demi menjawab tafsiran awal melalui sampulnya.

2. Keunikan dari Segi Penjudulan Bab

Ada sebelas bab dalam novel ini. Selain bab pertama yang merupakan prolog, sepuluh bab berikutnya diberi judul dengan nama “Bunga” berupa: Kembang Gadung, Kembang Rau , Kembang Ara, Kembang Jempiring, Kembang Laos, Kembang Serinata, Kembang Kemuning, Kembang Tunjung dan Sanggarguri. Dengan penjudulan-penjudulan seperti ini, novel ini memperlihatkan kekhasannya (sisi NOVELTY – sisi kebaruan dalam pembuatan narasi novel), yakni konsep dan nilai kembang itu menjadi bahan atau topik yang menjadi inti pokok yang dibahas dan dilambangkan oleh tokoh-tokoh yang muncul dalam setiap bab. Macam-macam kembang itu adalah karakter atau sifat orang yang mencari ilmu sejati atau ilmu haq atau sifat keilmuan haq itu di dalam jiwab setiap pelakunya dan Sanggarguri sebagai simbol atas puncak kematangan untuk proses sufistik. Nama-nama kembang itu adalah METAFOR bermakna konotatif. Dengan demikian, novel ini menjadi NOVEL TEMATIK.

Novel ini kemudian mengingatkan saya pada novel “Dunia Sophie” (Sophie Verden) dari Belgia yang ditulis oleh Justin Gaarder, terbit tahun 1995 yang diterjemahkan 1996 ke dalam bahasa Indonesia. Novel “Dunia Sophie” ini berisi tentang konsep filsafat dan sejarah filsafat Barat sejak awal sampai posmodernisme. Novel ini mengajarkan pembaca tentang apa itu filsafat dan perkembangannya di setiap era. Sehingga setiap judul babnya ‘berusaha’ sangat tematik. Dari sini, Novel “Sanggarguri” mempunyai kemiripan dengan novel “Dunia Sophie” yang sama-sama TEMATIK disetiap bab, yang mengungkap tentang jati diri spiritual Sasak.

3. Keunikan dari segi Unsur Intrinsik

a. Alur (Plot)— novel ini tidak memperlihatkan alur yang kuat dengan rangkaian suspens yang meninabobokan pembaca. Namun, novel ini menawarkan alur yang lembut dan datar (dengan pergeseran cerita yang tidak meledak-ledak melalui tampilan konflik dan klimaks yang jelas, bahkan nyaris tidak ada konflik). Yang di balik kelembutan dan kedatarannya, pembaca dapat menikmati bagaimana upaya salik menginternalisasi ajaran sufisme Sasak.

b. Latar (Setting)— yaitu latar tempat dan waktu, khususnya. Novel ini sering kali menampilkan tempat — tempat yang jarang dikunjungi oleh manusia, khususnya HUTAN BELANTARAdan GUNUNG. Dua macam latar ini tentu mempunyai maksud simbolik. Dua latar itu bersifat metaforis. Yakni, Hutan Belantara sebagai metafor atau simbol bahwa tempat yang dijalani oleh orang-orang pejalan tradisi (sufi) tidaklah gampang. Kemampuan melintasi tempat yang berupa hutan belantara itu adalah sebuah kesuksesan luar biasa. Menempuh jalan sufi adalah perjuangan dengan medan yang tidak menentu, penuh tantangan dan cobaan berat. Sementara itu, latar ‘Gunung’ pun tidak jauh beda daripada latar 'hutan belantara’. Gunung berkarakter curam dan tinggi, sehingga pejalan sufi harus melakukan segala daya upaya dan tenaga untuk mencapai puncak gunung (kesuksesan) berupa tingkat makom tertinggi dalam ilmu tasawuf (hakekat dan ma’rifat). Dalam posisi ini, Miq Agus memaknai keberadaan prosesi sufistik seperti yang ditunjukkan oleh tokoh Doyan Neda (Temelak Mangan) selama pengembaraannya dalam cerita mitologis “Doyan Neda”.

Di samping itu, latar waktu novel ini sebagian besar di waktu ‘MALAM’. Malam itu berkarakter gelap gulita. Gelap gulita merupakan pertanda ‘kegaiban’. Hal ini menandai bahwa sufisme itu adalah hal gaib, hal yang metafisik, dan yang hanya bisa dicapai dan dijalankan oleh orang-orang khusus saja. Memahami hal tersebut tidak dengan mata biasa (fisik) tetapi dengan mata bathin (mental/spiritual). Tingkat makom sufisme itu pun sulit diukur secara kasat mata. Serta, untuk mencapai tingkatan itu, sehingga dapat berkonsentrasi penuh, biasanya dilakukan di waktu sunyi dan khidmat, dan itu biasanya terjadi di malam hari. Itu semua dilalui dengan “BERJALAN” yang bermakna “ LAKU”. Penulisnya berkata bahwa Berjalan ini sebagai cara untuk mendapatkan Hikmah, bukan dengan Ilmu (hal. 6).

c.Sudut Pandang atau Vokalisasi Penceritaan – adalah teknik atau cara yang dipakai oleh penulis dalam memposisikan dirinya selama proses penceritaan novel itu. Dalam hal ini, apakah pengarang seakan-akan terlibat di dalam cerita itu, yakni dengan menggunakan kata ganti pertama (aku, saya), atau apakah ia tidak terlibat tetapi menjadi pengamat saja yakni dengan menggunakan kata ganti orang ketiga (dia, ia). Terkait dengan ini, uniknya novel ini menggunakan vokalisasi 'kata ganti orang pertama’ (‘saya’) yang merupakan kata ganti dari tokoh “Haji atau Tuan Fana’. Menariknya, tidak hanya sebatas orang pertama saja, tetapi tokoh ‘saya’ ini tidak hanya terlibat sebagai ‘tokoh partisipan mayor (major participant)’ tetapi juga sering kali menjadi ‘tokoh partisipan minor’ (minor participant), seperti istilah Sylvan Barnet, yakni terlibat di dalam rangkaian cerita meskipun dia hanya menceritakan pikiran dan kegiatan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang lain. Di sini uniknya!

4. Keunikan dalam SegiIsi (Konten) Cerita

Rene Wellek, Austin Warren, atau Robert Penn Warren, pengikut pemikiran Kritisisme Baru (New Criticism) di Amerika, mengatakan bahwa untuk dapat memahami karya sastra secara utuh maka hendaknya melihatnya dari dua sisi, yang saling berkaitan dan bergantung satu dengan yang lain, yaitu dari sisi bentuk (form) dan isi (content). Terkait hal ini, baiknya kita melihat sisi keunikan novel Sanggarguri ini dari segi isinya pula, tidak hanya keunikan-keunikannya dari segi bentuk seperti yang sudah dipaparkan di atas tadi.

Membacanovel ini menjadikan saya sebagai pembaca kagum terhadap penulisnya, Miq Agus Faturrahman. Apabila dilihat secara Ekspresif versi M.H. Abrams (yang menyebutkan bahwa karya sastra adalah cerminan pandangan hidup, pikiran, dan perasaan penulisnya), maka novel ini benar-benar menggambarkan betapa ke dalaman pemahaman spiritual dalam ilmu tasawuf khususnya dalam ‘Ilmu Tasawuf Sasak’, betapa tingginya pengetahuan tentang budaya danadat serta filosofi hidup orang Sasak, serta betapa berurat berakarnya nilai-nilai keagamaan dalam jiwa, semangat, serta pengalaman Miq Agus Fathurrahman. Karya ini mencerminkan ‘inner beauty’ dari pengarangnya sebagai pelaku ‘pejalan tradisi Sasak yang -mungkin- sudah dianggap ‘aneh’ oleh masyarakat Sasak kontemporer yang melihat kualitas seseorang dari sisi capaian materi atau keduniawiannya. Saya melihat Miq Agus muncul dalam sejumlah tokoh, yaitu tokoh Haji Fana yang sebenarnya adalah Guru Sanggarguri sendiri), tokoh Ustaz Ahlul Bayan, atau tokoh ustaz Amaq Miyar, Amaq Ubi, Para Lokaq, dan bahkan dalam diri tokoh Datoq Mesrah. Dalam konteks ini, saya merekomendasikan orang Sasak untuk membaca novel ini sebagai referensi memahami nilai keSasakan itu.

Di samping itu, membaca dan menikmati karya ini, sejujurnya, tiba-tiba mengingatkan saya pada secuil pengalaman saya bertemu dan bergaul dengan kaum Quaker ketika tinggal di Amerika Serikat dua tahun yang lalu (saat melakukan penelitian disertasi saya). Kaum Quaker adalah sekte sempalan (dissenting sect) dalam agama Kristen yang berkembang cukup lama di negara tersebut, yang sebelumnya muncul di Inggris tahun 1647 dan didirikan oleh George Fox. Uniknya, sekte ini mempunyai perbedaan dari ajaran dan tradisi agama Kristen yang mainstream. Misalnya, dia meyakini Tuhan itu ada di dalam hati setiap manusia. Hatilah menjadi kunci melakukan kontak dengan Tuhan yang disebutnya Yesus Kristus. Dengan ini, mereka memposisikan Kitab Injil sebagai pedoman hidup kedua, setelah kontak dengan Tuhan. Mereka lebih mementingkan kontaknya yang secara langsung di dalam jiwa atau hati mereka sendiri ketika melakukan sembahyang di tempat yang disebut “Steeple House”, bukan gereja (Church). Bahkan, ketika berdoa atau bersembahyang, mereka tidak melakukan model persembahyangan seperti kaum Kristen umumnya, tetapi mereka bertemu dan duduk melingkar lalu berkonsentrasi dengan cara berdiam diri dan apabila salah satu di antara anggota persembahyangan itu mengalami semacam ‘kerasukan’ maka dia dinilai sudah bertemu atau kontak dengan Yesus Kristus. Dan setelah itu, anggota yang lain menunggu apa perintah Tuhan yang disampaikan melalui anggota yang mengalami kerasukan itu. Maka, kata-kata orang kerasukan itulah menjadi ‘pedoman hidup mereka’ selama beberapa bulan ke depan sebelum melakukan pertemuan persembahyangan lagi. Demikian seterusnya.

Terkaithal ini, kelompok pelaku tradisi sufi Sasak yang dilakukan oleh Haji Fana danteman-temannya, di dalam novel ini, seakan-akan berposisi sebagai sebuah “sekte” (?) dalam agama Islam yang ada dan berkembang di masyarakat Sasak. Mengapa dikatakan demikian? Karena model dan pencarian mereka terhadap kebenaran sejati yang bernama Tariqah Sasak itu cukup distingtif dengan pandangan-pandangan umum yang ada di masyarakat Islam.

Keyakinan Islam yang dijalani oleh pelaku tradisi sufi ini adalah: “Keyakinan Islam yang ditanamkan oleh para leluhur dengan pendekatan kosmologis. Hidup itu satu. Menyembunyikan keyakinan mereka dalam ritual-ritual adat yang tampak Sinkretik tetapi dengan keteguhan iman Islam yang sangat kuat...” (hal. 183).

Jelas sekali, keyakinan Islam yang diyakini dan dijalankan adalah Islam yang sinkretik, yang diajarkan oleh para leluhur orang Sasak, yakni memahami kebesaran Tuhan melalui ayat-ayat Kauliyah, atau kekuatan-kekuatan yang tampak melalui alam (kosmos) ini. Dengan demikian, tradisi pengakuan dan penghambaan terhadap Tuhan itu berdasarkan kebiasaan yang langsung bersinggungan dengan kekuatan kosmos tersebut. Diri (mikrokosmos) diiramakan dengan gerak semesta (makrokosmos). Tradisi ini menjadi terkesan ‘SINKRETIK’, karena menggabungkan tradisi yang disyariatkan oleh agama Islam dan dengan kebiasaan para leluhur, yang boleh saja menjadi bagian dari tradisi agama Hindu di Lombok dewasa ini.

Meskipun demikian, seperti yang dilakukan oleh kaum Quaker di Amerika, para pelaku tradisi Islam sufistik Sasak ini berupaya menggunakan kekuatan bathin (hati)-nya untuk memahami kebesaran Tuhan. Mereka meningkatkan kekuatan mata bathinnya itu dengan berusaha menemui tokoh-tokoh sufistik, berguru kepadanya, dan berdiskusi banyak tentang kebesaran Tuhan yang ditunjukkan melalui alam, serta memaknai keberadaan mereka dengan wujud dan karakter kembang-kembang seperti disebut di penjudulan setiap babnya. Bagi mereka, satu-satunya cara untuk memahami Tuhan adalah terlebih dahulu memahmi diri atau kesejatian diri yang ada di dalamhati/jiwa seperti dsebutkan: “man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu” (hal. 233) yang kemudian berujung pada tingkatan pencarian melalui makna “laa hau lawala kuwwata illa billah...” (hal 233).

Indikator penguasaan atau pemilikan paham dan ilmu sufi ini, menurut penulisnya, adalah dengan menjadi sosok pribadi berkarakter yang dimetaforkan dalam sejumlah macam kembang yang disebutkan oleh Miq Agus di dalam novel ini. Misalnya, Kembang Sanggarguri yang digambarkan sebagai “bunga perdu yang tersebar di mana-mana khususnya di padang tapi tidak dihiraukan” (hal. 192) ataupun Kembang Tunjung yang digambarkan sebagai ‘simbol prana’ (hal. 241) bagi tubuh manusia dan dapat menjadi obat untuk banyak penyakit, khususnya penyakit spiritual (hal. 221).

Mereka yang sudah meiliki dan menjalankan tradisi sufistik ini dapat dikatakan sebagai seorang Salik, sebagaimana ditunjukkan oleh Haji Fana, yang tidak henti-hentinya mencari kesejatian (sosok Sanggarguri itu) sehingga dengan itu dia akhirnya dapat memperoleh berbagai kelebihan, linuih atau kualitas diri serta kedamaian dalam hidup yang purna.


5. Keunikan dari Ungkapan Bahasa Kritik

Menariknya, di samping mengungkapkan bagaimana konsep spiritualisme para sufi itu, novel ini mengungkapkan bahasa-bahasa kritik, misalnya:

a. Kritik pandangan orang terhadap Budaya Sasak

“Pandangan ustaz adalah pandangan pedagang. Asli pedagang, melihat barang bagus dan langsung membayangkan harga bagus. Inilah cara pandang pemerintah kita ketika melihat kebudayaan sebagai aset bahkan sebagai komoditas. Berapa banyak masyarakat tradisi secara tidak sadar telah dirusak olah pandangan ini. Berapa banyak nilai yang salah kaprah dipublikasikan dan melahirkan pandangan-pandangan yang menyesatkan dan sesat’ (hal. 188)

b. Kritik terhadap pandangan masyarakat Islam

“....Masyarakat Islam tradisi yang memelihara warisan nenek moyang. Bagian dari masyarakat Islam yang dipandang sebagai masa lalu yang salah. Tapi sebaliknya justru bagi kami, dakwah Islam sekarang yang salah. Dakwah yang elitis, politis, dan bisnis. Kebenaran menjadi klaim produk dengan merek tertentu dan di luar itu salah. Mungkin Anda bagian dari yang mengklaim kebenaran itu dan kami bagian dari yang salah itu....” (hal. 225).

Penutup

Novel ini memang kaya akan simbol dan layak untuk dibaca oleh masyarakat Sasak khususnya generasi muda karena novel ini mengungkapkan apa itu jati diri spiritual Sasak, bagaimana cara untuk menjadi seorang Salik, bagaimana memahami budaya dan tradisi sufistik leluhur Sasak, dan bagaimana sebaiknya membaca alam ini sebagai sumber ilmu.

Melalui novel ini, Miq Agus Fathurrahman, bermaksud ingin mengembalikan dan merevitalisasi keberadaan Tradisi Sufistik ala Sasak ini untuk menjadi “tren” sebagai wahana kontestatif dalam memahami diri dan Kesejatian. Ini adalah jalan efektif menuju ‘akar’ kita; dan kita hendaknya meniru karakter yang dimiliki oleh sejumlah tokoh, khususnya Haji Fana, di dalam menjalaninya. Karena dengan jalan itulah kita akan dapat menemukan Kampung Hakiki yang menjadikan kita hidup tenang dan damai serta bertemu “hal yang dicari”.

Melalui novel ini, Miq Agus Faturrahman bermaksud untuk mengajak kita semua menjadi sosok “sanggarguri” yang bisa menjadi pemberi hikmah bagi sesama di manapun kita berada seperti sifatnya tanaman sanggarguri yang bisa ditemukan di mana-mana. Tentu, kita bisa demikian karena kekayaan ilmu, potensi, dan cinta kasih yang dimiliki yang – harus disadari – semua itu ada akibat olah bathin dan upaya pendekatan kita kepada Yang Kuasa. 

SEKIAN.
Oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
KEUNIKAN NOVEL “SANGGARGURI” KARYA LALU AGUS FATHURRAHMAN DALAM BERBAGAI SISI KEUNIKAN NOVEL “SANGGARGURI” KARYA LALU AGUS FATHURRAHMAN DALAM BERBAGAI SISI Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on November 07, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.