Sore itu, seperti biasa Inaq Mendran berteriak-teriak
memanggil-manggil nama Eni -- panggilan nama lengkap anaknya, Nuraini. Karena seorang gadis yang bernama Eni itu tampak masih terlentang di
atas amben, sedang tertidur dengan pulasnya. Padahal sore itu si gadis akan
berangkat bedaye[1],
atau pergi kembali ke kosnya Mataram karena besok sudah hari Senin, hari
perkuliahan, sekolahan, dan kantoran dimulai lagi. Inaq Mendran kali ini dengan
nada yang sangat keras, marah besar, karena tetap saja anak gadisnya itu
melingkar tidak mau peduli dengan panggilan sang ibu.
“Eni, toes dinde,
uah bian! Endikm eak lalo bedaye kenem?!”[2]
Tapi anak gadis itu masih saja terdiam di atas amben.
“Yaok, ape kenem[3]?
Masih saja diam di situ. Bangun! Kemas-kemas barang bawaanmu…” kata sang ibu
itu lagi kali ini datang menghampiri tempat pembaringan anak gadisnya itu.
Eni masih diam saja, dia hanya terlihat mengucek-ucek
matanya. Tapi tidak hendak bangun, dan matanya hanya melihat melongo ke atas
langit-langit kamar itu.
“Ayolah! Sudah
jam empat lho ini. Itu tuh sudah saya siapkan bawang, sebie, bagek, acan, dait batun komak[4]
juga…Lho kok diam saja. Ayo bangun!”
“Iya ya….!” Jawab Eni dengan nada sedikit jengkel karena
merasa dipaksa.
‘Memangnya kamu endak ada niat bedaye? Udah gak mau
kuliah lagi? atau mau nikah atau bagaimana hah?” Kali ini nada suara Inaq
Mendran kian meninggi.
Eni diam saja, dan dia sudah tampak berdiri merapikan bendang[5]
dan rambutnya yang tampak memang sedikit awut-awutan. Lalu dia ke luar, tidak
memperdulikan ibunya yang sedari tadi berdiri di dekat peristirahatannya. Inaq
Mendran mendesis, “dasar anak jaman sekarang!”, lalu dia berlalu menuju ke pawon lagi.
Beberapa menit kemudian, bunyi telepon genggam milik Eni
berdering dengan begitu kerasnya. Eni yang sudah keluar kamar terlihat kembali
lagi dan terkesiap mendengar deringan teleponnya itu.
Telepon itu mati.
“Siapa itu En?” Tanya Inaq Mendran dari pawon.
“Endak, teman.”
Telepon itu berdering lagi.
“Iya halo, eh endak bisa. Udah sore ini, aku mau ke
Mataram…haaah, tapi sebentar saja lho ya. Iya ya…tapi di mana? Mmm…iya ya…lima belas menit ya? Waalaikumsalam.”
Telepon itu sepi dan dilepaskan begitu saja di atas
amben kembali. Tapi kali ini Eni justru terlihat sumringah dan segera saja dia
beranjak menuju kamar mandi, dan berdendang-dendang kecil perlambng keriangan
hatinya yang mulai mekar.
***
Sementara itu, seorang pemuda terlihat duduk sendirian
dengan gestur tubuhnya yang sangat gelisah. Kadang selonjoran, kadang mungkuk-mungkuk, kadang pula setengah mengangkang kadang
jua bersila seperti pertapa dengan berkali-kali celingak-celinguk, seakan dia
sedang mengalami ketakutan begitu rupa. Padahal di tempat dia duduk sangat
lengang, dan rumah yang berada di sebelahnya pun sunyi, tak berpenghuni. Apakah
dia sedang menunggu seseorang? Iya benar. Dia sedang menunggu kedatangan Eni,
gadis pujaannya, yang dia pacari secara diam-diam selama hampir satu bulan
terakhir. Pemuda itu bernama Latip – nama panggilan dari nama lengkapnya Abdul
Latif. Pemuda ini sudah menikah dan mempunyai anak satu, walau ia baru saja
berusia delapan belas tahunan. Dan mungkin istrinya lebih muda dari dia, yah,
mungkin tujuh belas tahunan. Mereka termasuk anak-anak muda yang menikah dini.
Setengah jam telah berlalu, tapi sosok yang
ditunggu-tunggu, belum saja muncul. Gerakan tubuh pemuda ini tampak semakin
gelisah. Berkali-kali dia menarik nafas panjang. Latip pun berkali-kali menelepon,
tapi tidak nyambung.
“Masak Eni bohongi aku…” desisnya dengan mata menerawang
ke depan. Mungkin kali ini dia sudah merasa pasrah karena waktu kesepakatannya
untuk bertemu sudah meluber dari yang disepkati.
“Heh…Tip, udah lama?” Suara seorang gadis manis muncul
dari samping rumah yang sunyi itu.
Setengah terkejut, Latip pun menoleh dan seketika itu
wajahnya berbinar-binar dan melupakan segala hal yang menggelayuti pikirannya
sedari tadi. Dan seakan mereka sudah saling mengerti satu dengan yang lain, mereka langsung
saja beringsut ke rumah kosong itu. Tentu, karena mereka sangat menghindari
apabila pertemuan mereka diketahui atau dilihat orang, karena sejatinya dua
pemuda lain jenis ini sudah berbeda status.
“Ada
apa kak?” Tanya Eni memulai kebekuan suasana.
“Ah nggak ada, tapi aku kangen sekali. Aku gak kuasa
menahan rasa ini” jawab Latip serius.
“Ah kakak kan
udah punya istri, cantik lagi.”
“Endak…jangan bilang begitu. Aku kok merasa takut kalau ada laki-laki lain yang mau kepadamu di
Mataram….”
“Ah kakak….justru
aku yang merasa cemburu kepada istrimu.”
Waktu lima
belas menit sudah berlalu.
Dan suara-suara mereka terus saja mengalir terdengar
disertai dengan bunga-bunga ketawa dan cekikan mesra. Mereka benar-benar
mengembara di dunia rasa, rasa saling mencintai yang tidak biasa.
Akan tetapi,
samudera kesyahduan yang mereka nikmati tiba-tiba dan sekonyong-konyong berubah
seratus delapan puluh derajat, menjadi hamparan benua ketakutan dan kekagetan
tiada tara . Betapa tidak, tiba-tiba suara
wanita yang tentu mereka amat sangat kenal terdengar berteriak-teriak di luar
rumah kosong itu. Iya suara istrinya Latip. Masih muda dan memang cantik. Ibu
muda bernama Intan, anak seorang mantan kepala kampung.
“Dikira saya tidak tahu hah…! Kalian selingkuh…keluar
keluar bajingan!” suara wanita yang kini berdiri menantang dengan membawa kayu
tepat di depan rumah yang pintunya tertutup itu.
Tapi pintu itu tidak terbuka. Memang, mereka kini dalam
suasana kesusahan dan kebingungan yang tiada terperi. Mereka benar-benar
terperangkap.
“Aku teriakin maling begitu….Maling, maliiing….!!” Suara
Intan menggelgak menembus pohon-pohon bambu dan rumah-rumah yang berjejeran di
sekitaran tempat itu. Intan kali ini mendobrak-dobrak pintu yang terkunci itu.
Dan tidak dalam hitungan menit sejumlah orang telah
berdatangan dan dengan wajah yang terkejut, penuh tanya, dan tidak mempercayai
apa yang sesungguhnya terjadi di depan mata kepala mereka semua.
Senjata-senjata yang mereka bawa dari rumah kini mereka sisihkan dan simpan
kembali di tempat yang aman karena ternyata bukan pencuri beneran. Namun mereka
tidak hendak beringsut pergi. Mereka masih berdiri dengn tegang menyaksikan
drama yang dipertontonkan secara live itu.
Beberapa menit kemudian.
Pintu rumah itu dibuka, dan Eni muncul. Akan tetapi baru
saja muncul, Intan langsung menyerbunya dengan garangnya. Intan memukul dan
rambutnya dijambak dan ditarik-tarik
sehingga Eni tersungkur jatuh. Melihat keadaan yang begini tanggang, Latip langsung
berusaha melerai dan berupaya menguasai istrinya, Intan.
“Bajingan, bajingaan…..” Teriak Intan dengan menangis
tersedu-sedan.
“Lepaskan, lepaskan….heh bajingan!” Pinta Intan
berkali-kali, meronta di dalam pegangan suaminya.
Kali ini sudah tak terhitung lagi orang di sekitaran
mereka. Sementara Eni hanya duduk lemas di tanah dengan kepalanya mengeluarkan
darah. Sejumlah orang wanita, ibu-ibu, mengerumuni Eni dan membantu menghentikan luka di kepalanya.
Eni menangis tersedu sedan sembari memanggil nama ibunya, “Inaq, inaq, inaaq…”.
Dan memang tidak lama kemudian seseorang yang
dipanggilnya ‘inaq’ oleh Eni muncul jua. Akan tepai suasana justru semakin
gaduh dan tidak karuan juntrungannya. Suara umpatan dan kemarahan begitu tumpah ruah.
“Jadi ini yang membuat kamu malas berangkat bedaye
hah….oh gamak dinde….dinde….oh mempermalukan keluarga saja kamu ini oh gamak
dindengk….!” teriak Inaq Mendran dengan menangis tersedu sedan.
“Ampun Inaq, ampuuun…..ampuuunn….Inaaq”, suara Eni
dengan berlutut di depan ibunya.
Sementara itu, Intan masih berteriak-teriak marah dan terlihat
memukul-mukul suaminya.
“Ceraikan, ceraikan aku….! Satu cerai, dua cerai, tiga
cerai…eh bajingan!”
Namun suaminya tidak bisa berkata apa-apa. Jiwanya remuk
dan pikirannya buntet.Tidak bisa mengatakan ‘iya’, tidak pula ‘tidak’. Pun
tidak bisa pula mengatakan ‘maaf’ kepada istrinya, atau memang mungkin dia
tidak hendak bermaksud meminta maaf atas semua ini.
***
Malam itu, sekitar jam tujuh. Puluhan orang, laki-laki
atau perempuan, tua maupun muda, sudah terlihat duduk di atas pelataran rumah
Jero Keliyang, atau kepala kampung, dengan wajah yang kurang lebih sama yaitu
wajah-wajah serius dan tegang. Sangkep atau acara adat akan segera dimulai,
akan memutuskan persoalan kampung yang begitu panas dan mendadak itu. ketiga
aktor peristiwa itu, Latip, Eni, dan Intan kini diharuskan mereka duduk sebagai
orang-orang yang menjadi target persidangan.terutama Latip, dialah aktor sekaligus
terdakwa yang harus disidangkan dan dimintai pertanggung-jawabannya sebagai
laki-laki dan warga kampung. Bila tidak mau bertnggung jawab secara adat, yakni
menikahi Eni dan memenuhi syarat-syarat dari keluarga Eni serta syarat-syarat
yang diajukan oleh istrinya yang masih syah, Intan, maka dia harus dihukum
secara adat sosial yang boleh jadi akan diusir dari kampung walaupun sementara
waktu.
Eni terlihat tegar, tidak menangis meski kepalanya
tampak diperban. Barang-barang bawaannya yang sebelumnya dipersiapkan oleh
ibunya, Inaq Mendran, kini entah dimana tempatnya. Semuanya tidak jadi terbawa
ke Mataram dan bercampur dengan banyu-bayu
kota Mataram, kota kebanggaan seluruh warga NTB itu. Dan ia
pun kini sudah bersiap-siap mengubur cita-citanya sendiri sebagai seorang
sarjana, apabila memang suaminya tidak hendak menyekolahkannya, padahal Eni
sudah berada di semester lima .
Dia harus, mau tidak mau, siap menjadi seorang istri dan seorang ibu rumah
tangga. Sementara itu, Latip hanya terlihat tertunduk diam, entah apa yang dia
pikirkan serta apakah baginya peristiwa ini adalah sebuah bencana atau
anugerah. Tidak ada yang bisa menjawabnya, kecuali dia sendiri. Dan Intan, yang
sedari tadi duduk diapit oleh ayah dan ibunya, terlihat tenang dan tegap. Dia
tampaknya sudah bertekad bulat untuk meminta diceraikan. Menjadi janda atau
lepas dari suaminya adalah jalan yang paling terhormat, baginya. Orang tuanya
pun tampaknya mendukung keputusannya ini, sehingga mereka tampak mengapit anak
bungsunya itu.
Jero keliyang sudah duduk di antara semua hadirin. Ia
berpidato panjang lebar, mengutarakan keprihatinannya atas peristiwa yang
terjadi itu, serta menyatakan sejumlah awik-awik (norma adat) yang mau tidak
mau semua warga kampung harus mematuhinya. Sehingga sampailah kepada acara
pertemuan ini, yakni meminta pertanggung jawaban Latip dan mendengarkan
syarat-syarat keberatan yang diajukan oleh masing-masing pihak.
“Ampurayang, tiang ngiring doang napi-napi sak tekayunan
dan tesepakati siq selapuq keluarge…”ucap Latip dengan suara begaq-gaq alias terbata-bata karena
gemetaran. “Tiang siap bertanggung jawab…”
Lalu kesempatan berbicara pun jatuh kepada Eni. Walau
butuh waktu yang sangat lama untuk berbicara dan membuat sejumlah orang tidak
sabar, Eni pun akhirnya berbicara, “Iya, tiang ngiring, serah dirikh lek
Latip…”
Dan memang iya, itulah jalan satu-satunya bagi dirinya
untuk bisa membersihkan dirinya, nama keluarganya dari adat. Karena ia telah menjadi
bagian dari pelanggaran adat. Meski begitu, orang tuanya Eni meminta dengan
suara emosi supaya memenuhi syarat kalau Latip harus membayar 50 juta kepadanya
dan menyekolahkan Eni hingga sarjana. Untuk ini, Latip dan keluarganya harus
menyetujuinya karena nama baik keluarga itulah yang paling utama.
Tidak kalah ngeri dari keluarga Eni, Intan meminta
diceraikan, talak tiga, dan meminta seluruh kekayaan yang sudah menjadi milik
mereka sebelumnya sebagai keluarga baru harus menjadi milik Intan, karena ia
yang akan merawat anak semata wayangnya. Meski agak alot pembicaraan ini,
tetapi sekali lagi Latip dan keluarga akhirnya harus menyadari bahwa mereka
kini sedang berada pada pihak sebagai ‘terdakwa’ dan harus mereka setujui.
Pertemuan itu usai sudah. Pada saat pas tengah malam.
Eni pun pulang ke rumah Latip, tidak pulang ke rumahnya bersama
orang tua dan keluarganya. Dan sejak malam itu ia menjadi seorang pengantin
serta hari-hari berikutnya harus mengikuti prosesi-prosesi adat demi menjadi
seorang istri yang syah baik secara adat maupun agama. Sementara itu Inaq
Mendran hanya sesenggukan, menahan air matanya yang sejak sore tadi tidak
berhenti mengalir, dan membiarkan begitu saja barang-barang yang ia siapkan
tadi sore untuk bekal Eni bedaye berserak-serakan di lantai rumah. Hatinya
luluh hancur. Dan mulutnya hanya bisa mendesis,
“Aoq aneh,
mule nasipk……mule ye nasipk…..”[7]
***
Cerpen: MULE NASIP
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
April 24, 2018
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar