Menakar Kesastraan Dalam Wasiat Maulana Syaikh


Rene Wellek dan Austin Warren, para pengikut pemikiran aliran Kritisisme Baru (New Criticism) Amerika mengatakan dalam bukunya yang berjudul Theory of Literature (1977) bahwa untuk membedah sebuah karya sastra, hendaknya menitikberatkan pada dua aspek kesastraan, yaitu aspek bentuk (form) dan aspek isi (content). Kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain karena, dalam perspektif strukturalisme, keduanya saling menunjang di dalam menghadirkan pesan, wujud, dan estetika kesastraan secara kohesif dan koheren. Bentuk dan isi adalah satu-kesatuan yang mempunyai peran yang sama di dalam mempresentasikan arti, makna ataupun pesan. Dengan pijakan pemikiran ini, maka buku karya Maulana Syekh yang berjudul “Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru” ini dapat dipandang sebagai sebuah ‘karya kreatif’ (creative work) yang proses penciptaannya melibatkan kedalaman personalitas dan lompatan fiksionalitas pengarangnya sendiri. Gregory Castle, dalam The Blackwell Guide to Literary Theory (2007), mengatakan bahwa peniliaian awal untuk dapat mengatakan sebuah karya bisa disebut karya sastra atau tidak terletak pada kadar pelibatan ‘kreatifitas’ seseorang dimaksud. Maka dari itu, jelas-jelas karya yang kita bahas hari ini adalah, dalam pandangan saya, adalah sebuah karya sastra (work of art atau literary work). Untuk membuktikan sejauh mana kualifikasi kesastraan yang dipresentasikan di dalam karya ini, maka ada baiknya kita melihatnya dari aspek bentuk dan aspek isi, seperti yang ditawarkan oleh Rene Wellek dan Austin Warren di atas tadi.

Namun, sebelum membahas ke hal tersebut, sebaiknya kita mencoba melihat penjudulan karya ini. Pertanyaannya, mengapa karya ini diberi judul “ Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru”? Secara lebih khusus, ada apa dengan frase ‘pengalaman baru’? Penjudulan dengan menggunakan frase tersebut, dalam pemikiran saya, menyiratkan bahwa terdapat pergeseran dan atau perbedaan waktu di mana Maulana Syekh sendiri sebagai pengarang dan pelaku telah mengalami atau menempuh dua macam waktu atau masa, yakni masa lama dan masa baru. ‘Masa lama’ melahirkan ‘pengalaman lama’ dan ‘masa baru’ melahirkan ‘pengalaman baru’. Dalam konteks ini, masa lama ini dapat mengacu ketika, mungkin, beliau masih muda dan atau masa keberadaan organisasi NW masih baru sehingga secara sosiologis Durkhemian beliau dan organisasi yang dibangunnya ini masih relatif kecil dengan kohesivitas semangat massanya masih kuat. Sementara itu, ‘masa baru’ yang melahirkan pengalaman baru ini bisa mengacu pada era kekinian, tepatnya sejak tahun 1970-an sampai dengan saat dewasa ini, di mana pada rentang waktu ini beliau dan organisasi NW sudah berkembang pesat dan mengalami dinamika yang cukup kompleks. Kekomplesitasan dinamikanya ini menjadikan nama besar beliau dan organisasi NW sebagai taruhan, sehingga beliau, sebagai ulama besar yang mempunyai ketajaman visi futurologis yang tinggi, merasa perlu untuk memberi ‘wasiat’ kepada obituren dan/atau massa pengikut NW demi eksistensi organisasi NW terus terjaga.

Aspek Bentuk

Karya ini terdiri atas empat (4) macam Wasiat yang ditulis oleh Maulana Sheykh dalam era atau waktu yang berbeda-beda, yaitu: (a) Wasiat pada 23 September 1976, (b) Wasiat pada 7 Oktober 1981, (c) Wasiat pada 1 Maret 1970, dan (d) Wasiat pada 28 September 1970. Dari segi kronologi waktu, penampilan keempat macam wasiat tersebut tidak diurut sedemikian rupa, akan tetapi mungkin pihak penerbit, bisa jadi, mempunyai alasan yang kuat mengapa tidak diurutkan. Salah satu alasannya adalah terkait dengan penitikberatan pada isi atau pesan yang tersampaikan pada setiap wasiat ketimbang soal teknis tersebut. Selain keempat wasiat itu, tentu buku ini dilengkapi dengan Kata Pengantar penerbitan serta bagian tambahan lain seperti “Iqrar Baiat” dan doa-doa berbahasa Arab di bagian akhir dari buku karya Maulana Syekh tersebut.

Wasiat yang ditulis atau disampaikan pada 23 September adalah wasiat yang cukup pendek, tidak lebih dari satu halaman, yang disampaikan dengan “bahasa propositif” atau dengan kalimat-kalimat pernyataan saja, bukan dengan ekspresi puitis yang ketat dengan bunyi atau rima. Dengan demikian, pesan yang ditersampiakan dapat dipahami secara langsung oleh pendengar atau audiensnya, tanpa terlebih dahulu harus membuat semacam ‘pembacaan mendalam’. Dengan kata lain, wasiat yang disampaikan dengan menggunakan “pola bahasa keseharian” atau primary modeling language system, seperti diteorikan oleh Yuri Lotman.

Berbeda dengan Wasiat sebelumnya, Wasiat yang ditulis atau disampaikan pada 7 Oktober 1981 ditulis dengan pola presentasi yang khusus. Dikatakan khusus, karena wasiat ini ditulis dalam bentuk Bait (Stanza) yang konsisten. Setiap bait terdiri dari empat baris atau larik, serta di setiap lariknya terdiri dari rata-rata empat (4) kata, meskipun di larik-larik tertentu ditemukan ada tiga (3) atau lima (5) kata, bergantung pada panjang pendeknya kata dan jumlah silabe yang dimiliki di dalam kata tertentu. Dengan pembagian dalam bentuk bait ini, terlihatlah dengan jelas bahwa terdapat sebanyak 233 jumlah wasiat yang tersampaikan. Karya wasiat ini paling panjang dari wasiat-wasiat yang lain.

Selain itu, dengan presentasi 4 baris dalam satu bait ini, secara sepintas pola ini mendekati model Pantun – sastra lama Indonesia. Akan tetapi, penilaian seperti itu tidak sepenuhnya benar, karena model pantun mempunyai Sampiran (pada dua baris pertama) dan Isi (pada dua baris kedua), serta dengan model perimaan (rhyming) a-b-a-b. Wasiat Maulana Syekh ini tidak demikian adanya. Tidak ada bagian Sampiran, semuanya adalah Isi dengan perimaan yang tetap, yaitu a-a-a-a, disebakan oleh bunyi fonetis (vokal atau konsonan yang sama di setiap akhir baris), seperti, misalnya, ziarah, madrasah, ruhaniyah, dan ka’bah pada Bait ke-51. Di sinilah menariknya, karena secara otomatis semua ini dapat menimbulkan efek puitis atau estetis kepada pembaca, sehingga pembaca tidak hanya menikmati pesan yang disampaikan pada aspek isinya, tetapi menikmati aneka tampilan artistik dari segi bentuknya.

Hal unik yang lain lagi adalah di setiap perpindahan topik yang dipresentasikan, Wasiat ini menggunakan tanda perpindahan dengan ungkapan “Subhanallah walhamdulillahi wala ilahaillallah wallahuakbar allahuakbar walillahilhamd”. Penandaan semacam ini menyiratkan bahwa topik yang diangkat memang berkaitan secara langsung dengan persoalan agama atau teologi Islam, yang ditradisikan di dalam organisasi NW sejauh ini. Dengan hadirnya tanda perpindahan seperti itu saya teringat dengan model naratif yang umum muncul dalam karya-karya sastra lama, yang umumnya terbagikan dalam Puh Puh. Bahwa satu pupuh membahas satu topik atau tema. Kurang lebih sama seperti pada Wasiat yang kedua ini.

Dalam penggunaan diksi, Maulana Syekh termasuk kreatif juga karena beliau menggunakan diksi yang cukup Polisemik,yang mengandung arti konotatif yang kuat, seperti kata: KURSI, PIRING, MAKANAN, RANJANG, dan lain-lain. Selain itu, beliau juga dikatakan kreatif karena beliau mampu menggunakan tiga sumber diksi dari tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, Arab, dan Sasak. Meskipun secara mayoritas,bahasa utama yang dipakai adalah bahasa Indonesia, hal ini bukan berarti tidak menghalangi beliau menggunakan istilah-istilah Arab dan eskpresi-ekspresi bahasa Sasak dalam rangkaian larik. Percampuran diksi dari tiga sumber bahasa yang berbeda ini tidak menjadi soal karena toh hal ini justru memperlihatkan kreatifitas dan fiksionalitas pengarangnya karena dia seakan ‘dipaksa’ untuk mencari diksi demikian dalam rangka menyepadankan bunyi dengan bunyi-binyi rima sebelumnya, tanpa harus menihilkan pesan yang sebenarnya hendak disampaikan. Akan tetapi, dari segi teknis penerbitannya, alangkah baiknya apabila diski-diksi ‘khusus’ tersebut, khususnya dari diksi bahasa Sasak dibuatkan keterangan atau penjelasan dalam bentuk Catatan-Catatan Kaki (footnotes), apabila tidak dibuatkan Daftar Glosarium di akhir buku.

Kreatifitas artistik Maulana Syekh masih terus berlanjut pada Wasiat yang disampaikan tanggal 1 Maret 1970. Wasiat ini terdiri dari 112 bait. Selain tetap menggunakan rima yang sama dan ketat seperti yang dilakukan pada Wasiat sebelumnya yaitu rima a-a-a-a, Wasiat ini terdiri dari lima (5) baris di setiap baitnya. Penambahan larik sehingga menjadi lima adalah hadirnya ekspresi “Aduh sayang!” di setiap wasiat. Dengan demikian, rimanya yang tetap itu bila “aduh sayang” masuk sebagai baris pertama, maka rimanya adalah: a-b-b-b-b. Penggunaan ‘aduh sayang’ tentu sekali menyiratkan bahwa orang-orang yang membaca atau yang patut memperhatikan isi wasiat ini adalah orang-oang yang disayangi atau dikasih oleh beliau sendiri, yakni murid-murid atau pengikut-pengikut setianya, atau bahkan prang-orang yang menjadi bagian dari organisasi NW selama ini. Penggunaan “aduh sayang” ini, menurut saya, dapat menimbulkan efek psikologis yang kuat dan intim pada pembaca wasiat-wasiat tersebut sehingga, dengan itu, pesan beliau bisa lebih mudah diterima dan dihayati di dalam psikologi (bathin) pembacanya. Dengan kata lain, ungkapan “aduh sayang” ini dapat membangkitkan ikatan emosional antara beliau – sebagai guru atau orang tua dengan pembaca – sebagai murid, obituren, dan simpatisannya.

Hal ini pun semakin diperkaya lagi dengan kelincahan beliau di dalam memainkan diksi-diksi di setiap baris wasiat ini. Pun, diksi-diksi yang dirasa kuat secara maknawi dan penting untuk diperhatikan, beliau menggunakan HURUF KAPITAL dalam penulisannya, sehingga — untuk khususnya Wasiat 1 Maret 1970 ini –, penggunaan huruf kapital cukup mencolok. Misalnya seperti yang dapat dilihat pada kutipan wasiat bait 33 berikut:

Aduh sayang!
Jauhkan dirimu dari CUPAK
Karena Cupak sangat merusak
Asal dijanji KURSI dan PERAK
Tidak perduli GURU dan SANAK

Sementara itu, untuk Wasiat yang disampaikan beliau pada 28 September 1970, Wasiat ini merupakan Wasiat tambahan, seperti yang disebutkan pada penjudulan untuk wasiat ini. Meskipun tambahan, dari segi konten dan bentuk kumpulan Wasiat ini tidak berarti hanya bersifat sebagai ‘pelengkap’ saja. Tetapi, keberadaannya mempunyai arti tersendiri sehingga patut untuk dibaca dan diperhatikan pesan-pesan beliau sebagai seorang Ulama Besar di Gumi Paer Lombok ini.

Secara bentuk, harus diakui, wasiat ini mempunyai kemiripan atau kesamaan dengan Wasiatnya yang disampaikan pada 1 Maret 1970, yaitu: (a) sama-sama terdiri dari lima baris, dengan menggunakan ekspresi “aduh sayang” pada setiap awal wasiat, serta (b) menggunakan rima yang sama dan ketat dengan pola rima a-b-b-b-b. Akan tetapi, hal yang paling unik dan yang membedakannya dengan kumpulan Wasiat sebelumnya adalah penggunaan Majas atau Bahasa Figuratif pada baris terakhir di setia bait, yang ditulis dengan HURUF KAPITAL. Pengunaan majas ini menambah efek estetis serta memperkuat maksud atau pesan itu. Misalnya pada Bait 1:

Aduh sayang
Wahai anakku Rauhun Rehanun,
Tetapkan dirimu selangkah seayun
Membela NW turun temurun

BERTETANGGA NAIK BERJENJANG TURUN

Dengan demikian, wasiat yang pertama disampaikan dalam bahasa sehari-hari sehingga wasiat singkat ini adalah wasiat berbentuk proposisi. Sementara itu, kumpulan-kumpulan yang kedua, ketiga dan keempat tersusun dalam bentuk sajak atau syair, yang tersusun dengan penggunaan diksi yang terpilih, perimaan yang ketat dan konsisten, serta membutukan pencermatan yang lebih mendalam ketika hendak memahaminya lebih jauh. Dengan penggunaan bentuk sedemikian rupa, maka wasiat-wasiat tersebut dapat dipandang lebih menarik dan menimbulkan efek estetis lebih kepada setiap pembacanya.

Apek Isi: Pembacaan Semiotika Jaman

Aspek Isi (Content) merupakan intisari, pesan dan atau maksud dari setiap karya wasiat sebagai sebuah karya kreatif sastra. Hal inilah menjadi poin terpenting hadirnya sebuah karya, yang kemudian dapat dicermati dan dikonkretisasi oleh pembaca atau audiensnya.

Pada umumnya, semua wasiat yang disampaikan oleh Maulana Syekh di setiap wasiatnya bermaksud untuk memberi nasehat kepada kebaikan (amar ma’ruf) dan menghindari kejelekan (nahi mungkar) kepada audiensnya. Semua ini dilakukannya atas dasar kepedulian dan cinta kasihnya kepada massa NW, murid, dan abituren pada khususnya, serta masyarakat Lombok pada umumnya yang – mau tidak mau – akan menempuh ‘masa baru’ yang menimbulkan pengalaman-pengalaman baru yang kompleks. Dengan kata lain, urgensitas hadirnya wasiat yang ini diposisikan sebagai wujud “pembacaan semiotika jaman’ yang jauh-jauh hari sudah dilakukan dan dilihatnya. Dengan kata lain, (1) hadirnya wasiat ini – yang cukup applicable pada era di masa sekarang ini – menandai betapa tinggi ilmu Maulana Syekh sebagai seorang futurolog, yang sudah mampu membaca keadaan jaman yang jaug sebelum terjadi. Bahwa faktanya kondisi jaman akan seperti ini. Bahwa karakter manusia akan cukup serakah, yang umumnya lebih mementingkan aspek kebendaan dan rela melakukan segala cara demi pemenuhan ambisi pribadi atau kepentingan kelompok. (2) dengan demikian, buku wasiat ini tampaknya menjadi karya yang sudah-sedang-akan, yang berlaku panjang dan terus-menerus ada. Dan (3) hadirnya wasiat beliau ini menjadi penting dan perlu disebabkan oleh Keniscayaan Jaman yang memang sudah pasti kompleks dan manusia-manusia yang ada sebagain besar tercentang-perangkan oleh kahanan,

Pembacaan semiotik yang dilakukan oleh Maulana Syekh pada dasarnya pada beberapa persoalan, di antaranya, yaitu: (1) persoalan agama, (2) persoalan kebangsaan, (3) persoalan sifat-karakter, (4) persoalan Ke-Sasak-an, dan yang terpenting (5) adalah persoalan organisasi NW dan para pengikutnya.

Pertama pada persoalan agama, wasiat-wasiat Maulana Syekh ini memberi perhatian yang cukup besar tentang peningkatan aqidah, berupa penguatan atas iman kepada Tuhan Allah SWT serta ketaatan atau ketakwaannya pada ajaran-ajaranNya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Contoh ungkapan wasiat beliau terkait hal ini adalah di antaranya pada Bait 67, 68, dan seterusnya:

Kita berada di abad Final
Di abad ‘YAHIN’ sudah terkenal
Iman taqwa jangan dijual
Jangan digadai pada “Sang Dajjal”

Hidupkan iman hidupkan taqwa
Agar hiduplah semua jiwa
Cinta teguh pada agama
Cinta kokoh pada negara

Kedua adalah persoalan kebangsaan Indonesia. Dalam posisi ini, Maulana Syekh menekankan kepada semua massa pengikutnya untuk terus terlibat di dalam upaya pembangunan bangsa dan negara. Berpartisipasi di dalam semua aspek pembangunan, sebagaimana filosofi awal hadirnya organisasi NWDI, yaitu di dalam rangka menunjukkan kecintaan dan pengabdian beliau kepada kemajuan bangsa. Hadirnya NW adalah sebagai wadah untuk mengabdikan dirinya dan pengikutnya untuk berbakti kepada bangsa dan negarra. Tentu, hal ini menyiratkan betapa Maulana Syekh sebagai seorang yang nasionalis kepada negara Indonesia. Salah satu bunyi wasiat yang mengarah pada hal tersebut adalah:

Aduh sayang!
Pelita NTB bertambah terangnya
Karena NW lahir padanya
Berpartisipasi dengan megahnya

MEMBELA AGAMA NUSA DAN BANGSA

Persoalan ketiga yang dikuatkan dalam pembacaan jamannya adalah tentang persoalan sifat-karakter. Terkait hal ini, tampaknya Maulana Syekh cukup concern, sehingga hampir di setiap kumpulan Wasiatnya, hal ini sebenarnya menjadi pokok perhatiannya. Sifat-karkater yang dimaksud adalah sifat karakter supaya tidak menjadi orang yang terlampau lalai dengan keduniaan, terlalu mementingkan nafsu-nafsu, dan seterusnya. Oleh karenanya, menurut beliau, hal ini justru mencampakkan agamanya, kehormatan dirinya, serta kebesaran organisasi NWDI yang menjadi naungan mereka semua. Bait-bait wasiat yang memperlihatkan hal demikian adalah Bait 104, atau 119:

Terkadang menjual jiwa raganya
Menjual taqwa menjual imannya
Itu terjai karena gilanya
Ditawan syaitan dan hawa nafsunya

Bila seseorang kehilangan akhlak
Dhahir batinnya suka memberak
Ibu bapaknya dipandang budak
Bila tak dapat emas dan perak

Hal keempat yang – saya lihat – tidak luput dari perhatian nasehat beliau adalah persoalan ke-Sasak-an. Persoalan ini menjadi penting karena Sasak itu dipandang sebagai orang yang khas. Kekhasannya itu adalah Sasak itu identiksebagai orang yang beriman dan berIslam. Apabila tidak demikian, menurut beliau, maka dia bukan orang Sasak. Dengan kata lain, untuk menjadi seorang Sasak yang seutuhnya, maka ia hendaknya menjadi penganut Islam yang kuat dan selalu menegakkannya setegak Gunung Rinjani. Dengan demikian, dia akan menjadi orang sabr, ikhlas, serta menjadi pemberani. Wasiat yang mengacu ke soal ini adalah Bait 124 dan 231:

Janganlah nanda mau diajak!
Ikut serta merusakkan Sasak!
Jangan terlena pepatah Sasak:
‘Dengan sasak girang gerasak”!

Tegakkan Sasak setegak Rinjani
Membela iman membela diri…
Tegak utuh ikhlas berani …
Tidak tertawan ajaran Iblisi…..

Kelima, yang paling penting, adalah persoalan menghidupi, membangun dan menegakkan visi misi serta nilai organisasi NWDI. Persoalan ini secara lebih khusus ditujukan kepada obituren dan atau murid-murid beliau. Dalam konteks ini, beliau sering menggunakan majas SATIRE di dalam mengungkapkan sifat-karakter mereka-mereka yang sebenarnya telah memanfaatkan organisasi ini sebagai wahana untuk memncapai ‘keuntungan’ pribadi dan kelompoknya. Bahwa fakta tidak sedikit oknum-oknum yang dapat dinilai sudah berlaku begitu. Nasehat ini lantas menjadi satire atau sindiran halus bagi mereka itu. Dengan demikian, sebagai upaya untuk meng-remnya, wasiat ini dihadirkannya serta terus-menerus menjadi pedoman mereka. Selain itu, yang menjadi inti dari pengharaoan beliau adalah kebersatuan atau kekompakan dari semua unsur atau obituren organisasi NW, tidak terpecah-belah oleh kepentingan duniawi. Lagi-lagi, hal ini menjadi semacam satire bagi mereka. Bentuk-bentuk nasehatnya yang secara gamblang mengarah ke soal ini adalah terlihat pada kutipan bait-bait berikut ini:

Bila nanda memang behutang
Janganlah NW yang harus dilelang
NW bukan milik seorang
Tak boleh dipakai membayar hutang

Janganlah nanda lupa daratan
Karena mendapat kursi jabatan
Kursi ananda diberikan Tuhan
Lantaran jasa Nahdlatul Wathan

Kompaak utuh bersatu haluan…
Istiqomah ikhlas kepada Tuhan
Itu amanat Maulana Alhasan
Kepada Warga nahdlatul Wathan

Akhirnya, jelaslah sudah tampaknya semua nasehat ataupun wasiat yang disampaikan oleh Maulana Syekh di dalam buku ini berlaku sekali khususnya di jaman sekarang ini. Pembacaan beliau, setelah beliau tiada, menjadi terbukti sudah. Tanda-tanda yang terungkap secara literer tidak sedikit terjadi secara nyata di lingkungan organisasi NW sendiri ataupun di tengah masyarakat NTB secara umum. Dengan begitu, kehadiran buku wasiat ini menandai betapa hebatnya kefiguran beliau, betapa besarnya keulamaan beliau, betapa luasnya ilmu beliau, betapa tingginya jiwa seni kesastraan beliau, betapa besarnya cintanya beliau terhadap murid dan obituren NW, serta betapa tajamnya visi beliau pada perubahan jaman. Kuatnya isi yang ditawarkan di setiap wasiat berselaras dengan tingginya kreatifitas bentuknya. Dengan begitu pula, buku ini layak untuk diampu sebagai pedoman diri.


Referensi:
  • Castle, Gregory. 2007. The Blackwell Guide to Literary Theory. Oxford, UK: Blackwell Publishing Ltd.
  • Hamzanwadi, Kyai. (Thn ?). Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru. Selong, Lombok Timur: Yayasan Pendidikan Hamzanwadi Pondok Pesantren Darunnahdlatain NW.
  • Wellek, Rene dan Austin Warren. 1977. Theory of Literature. San Diego: Harcourt Brace Javanovich, Publisher.

Makalah ini ditulis sebagai ‘bahan diskusi’ dalam seminar terbatas di Museum NTB pada 7 Agustus 2014

Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
Menakar Kesastraan Dalam Wasiat Maulana Syaikh Menakar Kesastraan Dalam Wasiat Maulana Syaikh Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on November 07, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.