PENGANTAR BUKU KUMPULAN PUISI “JEJAK TANPA MAKNA”
Saya terkaget di suatu siang ketika salah satu chat whatasapp saya memperlihatkan nomer dan profil sahabat, kolega, dan senior saya di FKIP Universitas Mataram, Bapak Dr. Ida Bagus Kade Gunayasa,M.Hum, yang berisi permintaan beliau untuk memberi komentar atau bahasa pengantar pada buku puisinya yang diberi judul “Jejak Tanpa Makna”. Betapa tidak, sosok yang selama ini saya kenal kalem, teduh, ramah, dan mudah senyum ini ternyata menyimpan bakat seni sastra yang luar biasa. Betapa tidak, sosok yang selama ini irit bicara dan selalu profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pengajar,dosen, dan peneliti yang cenderung menggunakan rasionalitas,logika, dan intelektualitas, ternyata mempunyai jiwa seni yang sangat bagus. Tentu, hal ini tidak mengherankan, karena memang dalam perjalanan studi beliau, Bli Gus (demikian saya panggil beliau) adalah seorang ahli dan doktor bidang bahasa dan sastra dari universitas ternama di Bali, Universitas Udayana. Akan tetapi, kepakaran dan intelektualitas yang diperoleh dalam jenjang studi formal sejatinya seringkali tidaklah berjajalan secara simetris dengan kemampuan dalam seni kreatif, terlebih seni sastra. Studi formal lebih menekankan kemampuan logika, pengetahuan, dan daya kritis. Sementara itu, penciptaan kreatif di dunia seni khususnya seni sastra lebih disebabkan karena bakat alam, pengasahan secara kontinu, dan bangunan sensitifitas rasa yang sudah terbangun secara internal dan lama. Atas dasar inilah, saya sangat kaget ketika mendapati kumpulan puisi yang ditulis beliau ini. Tentu, melalui kesempatan ini, saya kemudian berani menyatakan bahwa Bli Gus adalah seorang sastrawan, selain seorang intelektual, pendidik, serta ahli di bidang bahasa dan sastra.
Membaca puisi-puisi yang ditulis oleh Bli Gus dalam bukunya ini membawa kita pada “perselancaran bathin” untuk dapat merasakan dan menyelami berbagai hal yang diungkap oleh penyairnya, yakni Bli Gus sendiri, tentang diri, hidup, kehidupan, peristiwa alamdan manusia yang ditangkap, dicerap, dan dimaknai oleh Bli Gus. Dalam halini, diri penyair adalah semacam “áktor mimesis” yang berusaha mengkopi lalu mengungkapkannya dalam wujud untaian tulisan puitis tentang semua hal itu. Menariknya, Bli Gus tidaklah berperan sebagai aktor mimesis ala Plato tetapi lebih mendekati konsepnya Aristoteles. Mengapa demikian? Hal ini karena Bli Gus tidaklah menanmpilakn semua fenomena dan peristiwa alam dan diri manusia itu dengan cara apa adanya, tetapi berusaha menampilkan atau merepresentasikannya dengan cara pandang, pemahaman, dan keyakinan beliau. Tidak hanya itu, beliau pun menyajikannya dengan bahasa afaktif atau rasa yang estetik. Dengan demikian, kita sangat cepat terbawa ke dalam dunia bathin puisi dan bias merasakan dan mengimajinasikan hal-hal apayang menjadi inspirasi atau sumber penciptaan karya itu.
Secara lebih dalam lagi, buku ontologi yang berjumlah 45 puisi ini sebenarnya dapat dikategorikan sebagai jenis “Puisi Lirik” (Lyric Poetry). Sylvan Barnet mengatakan bahwa puisi lirik merupakan jenis puisi yang esensinya mengungkapkan emosi dan refleksi diri seorang penyair. Bli Gus,dalam konteks ini, menjadikan karyanya sebagai medium untuk mengungkapkan segala riuh kebathinan yang dialaminya. Riuh kebatinan itu,di antaranya,adalah tentang kerinduan, penyerahan diri ke Sang Kuasa, kepasrahan alur nasib, kenestapaan, kesendirian, keberartian seseorang, dan lain sebagainya. Semua itu diungkapkan dengan menggunakan berbagai diksi yang umumnya diambil dari fenomena alam seperti malam, angin, senja, ilalang, awan, ombak, anjing, yang semua itu dibalut dengan kata-kata sifat yang cenderung “gelap”. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika Bli Gus mengungkapkan rasa rindu yang soliter tetapi setia yang platonis; tidaklah mengherankan jika Bli Gus mengungkapkan kehidupan yang sering dimetaforkan dengan diksi “Langkah” dalam imajeri yang pasrah, meskipun pada titik itu sang penyair menjadikan Kekuatan Tuhan dan sosok pasangan belahan jiwa yang in absensia menjadi kekuatan utamanya. Pada titik ini, sang penyair sedang menunjukkan bahwa kesetiaan itu merupakan energi yang tak kunjung padam untuk menjalankan kehidupan selanjutnya. Selain itu, sang penyair pun tengah menunjukkan bahwa kesetiaan itu adalah “laku diri seorang manusia” yang menjadikannya bernilai di mata Tuhannya. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman sang penyair saat masih bersatu menjadi “lampu pijar” yang terus menyala baginya untuk hidup. Tidakkah ini adalah gambaran “Cinta Sejati yang sedang didefinisikan oleh Bli Gus melalui puisi-puisinya? Cinta sejati itu tidak hanya dapat dilihat tatkala pasangan masih sama-sama hidupseperti yang sering kali ditampilkan dalam cerita fiksi dan film, tetapi, yang lebih menarik, cinta sejati akan terbukti kesejatiannya adalah tatkala pasangan hiduap telah meninggalkan kita. Nilah pesan yang sebagian besar disampaikan dalam antologi puisi ini. Bagi saya, ini luar biasa! Dengan demikian, buku antologi atau kumpulan puisi ini penting dan menarik untuk dibaca oleh masyarakat luas.
Akhirnya, saya menghaturkan “selamat” kepada Bli Gus, sang penyair, atas terbitnya buku kumpulan puisi ini. Buku ini adalah pembuktian bahwa jejak Bli Gus selalu dan terus bermakna. Penjudulannya yang berbunyi “Jejak Tanpa Makna”, bagi saya, adalah ungkapan kerendah-hatian Bli Gus, bukan ungkapan pesimisme beliau. Harapan saya, semoga ke depan masih akan lahir karya-karya berikutnya yang menjadi prasasti jejak-jejak hidup yang bisa disaksikan oleh anak-anak dan cucu-cucu kita kelak. Karena, seperti dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, menulis itu adalah prasasti kita yang bisa dilihat dan diketahui oleh generasi berikutnya bahwa kita pernah hidup di masa sekarang. Sukses selalu, Bli Gus!
Mataram, 21 April 2025
Prof. Dr. H. Nuriadi, S.S.,M.Hum
PENGANTAR BUKU KUMPULAN PUISI "JEJAK TANPA MAKNA"
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
April 21, 2025
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar