*MAS DION, Sahabat sekaligus Seniorku, Kini Menjadi Profesor*

*MAS DION, Sahabat sekaligus Seniorku, Kini Menjadi Profesor*

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Mas Dion, demikian saya memanggil beliau Prof. Dr. Mister Gideon Maru, S.S., M.Hum, sejak pertama kali saya bertemu. Beliau, saya kenal, adalah sosok yang sangat hangat, supel, dan ramah. Saya memanggilnya "Mas" bukan  tanpa alasan. Bukan pula karena faktor usia karena sejatinya kami itu sepantaran atau seusia, sama-sama lahir tahun 1976. Saya memanggilnya begitu karena, pertama-tama, saya dengan beliau beda angkatan. Beliau angkatan masuk S1 tahun 1994, sedangkan saya angkatan 1995. Penanaman rasa senioritas itu sejak awal mula kita semua berkumpul atau dikumpulkan di IMAJI, organisasi mahasiswa satu jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra (kini, Fakultas Ilmu Budaya) UGM. Dan itu sudah menjadi tradisi di lingkup jurusan kami, S1 Sastra Inggris. Kedua, panggilan "Mas" ini benar-benar berarti "bersaudara" ketika kita kembali berkumpul dalam satu kelas, satu angkatan, dan satu minat saat saya dengan beliau kuliah S2 di Pasca Pengkajian Amerika tahun 2004. Beliau benar-benar sosok pribadi yang sudah matang, tenang, ngayomi, dan sudah pasti cerdas. Kami sangat dekat, sehingga tidak jarang saya selalu curhat dan minta saran terkait dengan perkuliahan dan kehidupan. Menariknya, Mas Dion selalu memberi pemikiran dan saran yang baik. Bahkan beliau dengan hati yang lembut dan tulus membantu saya jika ada hal yang saya curhati. Usia boleh sama, tetapi kematangan pikiran, hati, dan spiritual-lah yang membedakannya. Dan itu semua ada di diri Mas Dion. Oleh karena itu, ketika kami bertemu kembali saat-saat sama-sama S3 di prodi yang sama, Prodi Pengkajian Amerika UGM, hubungan kami menjadi "saudara" yang selalu saling  kontak saat jauh, dan selalu bertemu saat dekat. Beliau adalah "Mas" baik sebagai "senior" di angkatan, dan sebagai "kakak" dalam pergaulan sosial. Dengan bertemu beliaulah pula saya bisa menemui arti dari peesahabatan sejati dan apa adanya, yang tanpa dibumbui kepamrihan dan kepentingan tertentu. 

Mas Dion adalah bukti alumni UGM yang murni. Beliau S1, S2, dan S3 dari UGM. Jadi sumber keilmuannya jelas. Masuk UGM itu tidak gampang! Sebagai perguruan tinggi ranking satu di Indonesia dan sudah diakui internasional, anak bangsa bersaing ketat untuk menjadi almamater UGM. Tapi Mas Dion mampu dan menjadi alumni yang murni 24 karat dari UGM. Maka itu tidak bisa diragukan lagi betapa kemampuan dan kecerdasan Mas Dion. 

UGM dan Jogjakarta benar-benar menjadi tempat pembentuk dan pengasah karakter yang baik. UGM dikenal sebagai kampus yang "merakyat", sedangkan Jogjakarta sebagai daerah yang kental dengan karakter "bersahaja" dan "kententeraman". Dua sumber ini saya temui hadir dalam sosok Mas Dion. Selama bergaul sejak di Jogja, beliau orangnya bersahaja, ramah, dan berpembawaan tenang. Bahkan mas Dion tampak lebih Jogja (Njawani) daripada orang Jogja sendiri. Sifat karakter yang demikian itu boleh jadi sudah tertanam sejak remaja tapi makin tumbuh berkembang dan matang saat tinggal di Jogja dan menjadi alumni UGM. Karena itu saya menjadi saksi bahwa beliau orang yang sangat rendah hati, jauh dari nuansa angkuh, ketika berada di antara kita, meskipun beliau sudah mencapai berbagai prestasi dan kecerdasan luar biasa. Bahkan beliau tidak segan-segannya berbagi dan mengajak kita berkarya bersama-sama.

Mas Dion orang yang sangat cerdas, kritis, pembaca ulung, dan perfeksionis dalam berkarya. Karena itu tidak mengherankan kalau beliau selalu mendapat pujian dari dosen-dosen di FIB UGM, khususnya di Prodi Pasca Pengkajian Amerika. Tulisan-tulisan beliau selalu bernas dan, sebagai teman sekelas/seangkatan beliau saat S2, hampir tidak bisa menemui celah kekurangan tulisannya. Maka itu tidaklah heran kalau beliau mendapat nilai A (istimewa) di semua mata kuliah yang diambilnya, dan akhirnya menjadi lulusan terbaik dan tercepat saat S2 , demikian juga saat S3. Saya adalah salah satu saksinya betapa kecerdasan beliau saat kuliah dulu. Hampir semua buku dan pemikiran ibu Prof. Dr. Djuhertati Imam Moehni, MA dan ibu Prof. Dr. Ida Rochani Adi, SU semuanya dikuasai betul. Semua teori Pengkajian Amerika beliau kuasai di luar kepala. Karena itu berdiskusi dengan beliau, kita sebenarnya mendapat ilmu dan pencerahan baru dari hasil bacaannya. Menariknya, hubungan kami saat di dalam ruang kelas, saat diskusi, kami seolah-olah seperti "lawan dan musuh" yang saling mengkritisi setiap pemikiran yang dipresentasikan. Panas dan tajam. Berdebat adalah makanan kami untuk saling menguatkan dan memperbaiki setiap pemikiran yang kita sajikan. Dan itu disukai sekali oleh dosen-dosen. Akan tetapi, itu hanya terjadi di dalam ruang kelas kuliah saja. Setelah selesai, hubungan persababatan dan persaudaraan yang hangat serta cair kembali lagi saat sudah selesai pertemuan kuliah. Cair dan akrab seperti sedia kala. Beliau tetap menjadi "saudara" dan "kakak" yang selalu saya cari dan temui. Yang selalu ada bahan pembicaraan untuk membuat saya dengan beliau tertegun berpikir lalu tersenyum  tertawa bersama.

Mas Dion adalah orang yang saleh atau taat beragama. Tidak jarang saya menyaksikan sendiri setiap kegiatan yang sama-sama kita laksanakan, beliau selalu dimulainya dengan berdoa. Selain itu, beliau juga tidak pernah bosan mengirim ucapan selamat, ucapan Hari Raya Idul Fitri, setiap tahunnya meski sudah sekian tahun kami tidak bersua secara langsung. Ini menandakan betapa beliau sangat peduli pada arti persahabatan dan persaudaraan secara kemanusiaan. Beliau benar-benar sudah menemui makna dan nilai "Mahabbah Allah" yang dalam istilah Kristiani mungkin disebut "Kasih Kristus" dalam bingkai persaudaraan kemanusiaan. Secara pribadi, hal ini sulit ditiru karena ini dilandasi kekuatan agama dalam diri seperti yang dimiliki Mas Dion.

Oleh karenanya, pencapaian demi pencapaian yang diperolehnya sejak dulu sampai sekarang hingga pencapaian Guru Besar sebagai puncaknya merupakan buah dari kerja keras beliau, buah dari kecerdasan beliau, buah dari kesalehan beliau yang secara konsisten beliau jalani sebagai karakter diri pribadinya. Beliau adalah alumni UGM dari Indonesia Timur yang patut dibanggakan dan ditauladani. Pencapaian Guru Besar dalam usia.muda dan masih sangat produktif adalah hal yang langka, yang sulit sekali bisa ditemui pada era sekarang ini di mana ukuran  administrasi dan karya-karya ilmiah internasional yang bereputasi menjadi tolok ukur utamanya. Dan ini sangatlah sulit. Namun, beliau sudah melampauinya dengan baik, di sela beban tugas beliau sebagai salah satu pejabat di kampus UNIMA dan pun sebagai salah satu tokoh masyarakat di daerahnya. Luar biasa memang.

Akhirnya, dari Mataram Lombok Nusa Tenggara Barat, saya mengucapkan selamat atas pengukuhan Guru Besarmu, Mas Dion. Saya sebagai teman dan sahabat seperjuanganmu dulu ikut senang dan bangga atas pencapaiannya Mas Dion ini. Dari panjenengan saya belajar tentang nilai persahabatan yang tulus. Dari panjenengan pula saya menemui makna *sesama bis kota tidak boleh saling mendahului*. Dan kata-kata Mas Dion itu kini sama-sama kita capai dan lalui secara hampir selalu bersamaan. Kita sama-sama ambil S3 di UGM tidak minat kuliah di luar negeri, kita sama-sama lulusan predikat yang sama yaitu predikat summacumlaude, dan kini kita pun sama-sama mencapai gelar  Guru Besar yang sama, Mas Dion. Meski begitu, saya masih tetap yunior Mas secara akademik dan kemanusiaan. Alhamdulillah, doa kita terkabul! Sukses dan sehat selalu untuk waktu-waktu selanjutnya. 

Mataram, 21 September 2023
*MAS DION, Sahabat sekaligus Seniorku, Kini Menjadi Profesor* *MAS DION, Sahabat sekaligus Seniorku, Kini Menjadi Profesor* Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Agustus 19, 2023 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.