MENAKAR ANTOLOGI PUISI “BUKU HARIAN 67” DALAM PERSPEKTIF EKSPRESIF DAN OBYEKTIF
Oleh: Nuriadi Sayip
Sebuah kehormatan yang tak ternilai harganya ketika saya didapuk untuk memberi uraian terhadap buku antologi puisi ini. Bagaimana tidak, hal ini dikarenakan puisi-puisi yang ada di dalam buku ini merupakan untaian-untaian mutiara dari Sang Guru, Mamiq Agus Fn yang tentu saja selama ini sangat banyak memberi inspirasi dan ilmu kepada saya tentang bagaimana seharusnya hidup sebagai "manusie" tidak lagi hidup sebagai "tau". Diksi manusie dan tau adalah istilah yang sangat dikenal oleh orang Sasak, yang mana kedua diksi ini cenderung berbeda maknanya secara diametral. Sama-sama mengacu pada sosok yang merupakan makhluk Tuhan, namun keduanya bernuansa maknawiah yang berbeda. Manusie bermakna positif, yang mana sosok insan yang beradab, berakal pikiran, dan tentunya terhormat, sedangkan tau bermakna negatif yang mana sosok yang selalu dilihat sebagai orang yang membuat masalah atau penyakit bagi masyarakat dan kemanusiaan. Dalam konteks inilah, rasa kebanggaan dan keterhormatan menyeruak di dalam diri saya yang menandai saya "ada sebagai murid" serta memotivasi saya untuk senantiasa berbuat lebih sebagaimana yang telah dilakukan oleh Mamiq Agus Fn kepada peradaban masyarakat Sasak, NTB, nusantara, dan dunia sejauh ini.
Penerbitan antologi puisi ini sesungguhnya merupakan wujud refleksi kesyukuran Mamiq Agus Fn yang kini sudah berusia 67 tahun, yang berisi 67 puisi di dalamnya. Ia merupakan kado terindah yang hendak dihajatkan untuk orang-orang yang mengenal dengannya selama ini. Bukannya beliau yang dikado atas ulang tahunnya, tetapi justru Mamiq Agus Fn yang memberi kado kepada kita, kepada sahabatnya, serta kepada masyarakat luas khususnya kepada jamaah Lingkaran Asah Makna. Dengan kata lain, penerbitan buku ini merupakan buah dari panggilan jiwa Mamiq Agus Fn yang luhur dan ikhlas untuk terus mengabdi kepada dinamika dunia kecendikiawanan di NTB, khususnya di masyarakat Sasak. Karena baginya, berkontribusi melalui karya merupakan cara yang paling agung dan bermakna yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Berkontribusi dengan cara ini pun menjadi "jejak" serta "prasasti", meminjam istilah Pramoediya Ananta Toer, bagi Mamiq Agus Fn sebagai anak bangsa bahwa beliau akan diketahui oleh generasi-generasi setelah beliau kalau beliau pernah hidup pada masa sekarang ini. Prasasti yang bukan sekedar prasasti atau penanda jaman saja. Akan tetapi, prasasti yang memberi informasi, ilmu, dan petuah yang kelak akan terus dipegang dan dirujuk bagi mereka dan tetap menarik disebabkan tersajikan melalui kata-kata sastrawi nan puitis. Generasi itu, salah satunya, adalah mereka yang terhimpun dan menerusi semangat tarbiyah dan gerakan pencerahan yang bernama Lingkaran Asah Makna yang digagas oleh Mamiq Agus Fn sejak tahun 80-an yang silam.
Untaian-untaian puisi yang terangkum dalam antologi ini sejatinya merupakan buliran pikiran dan kalbunya yang bening tentang berbagai hal, di antaranya: tentang pentingnya manusia mengenal diri; tentang konsep cinta yang sejati dari sudut pandang metafisis; tentang semesta yang hidup dslam bingkai yang maha hidup; tentang detak diri yang selalu terpersona akan keindahan Yang Maha Indah, tentang betapa agungnya kalbu yang berbingkai “fuad” (kecerdasan dari Ilahi) dan “irfan”(kearifan yang murni dari Ilahi) yang tentunya sudah disinari Nur Allah dan Nur Muhammad; tentang makna zikir, sholat, dan ibadah penuh nilai yang disukai Yang Maha Kuasa; tentang pengabdian diri yang dilandasi dan didorong atas kesadarannya sebagai hamba demi merengkuh ridhoNya; dan lain sebagainya. Semua itu teruntai melalui diksi-diksi yang terbungkus dengan bahasa figuratif berupa metafora, simile, metonimi, metafora, alegori, dan simbolisme yang sebenarnya merupakan tanda-tanda semiotis tentang manusia, nafas, alam, dan kehidupannya.
Antologi Puisi dalam Perspektif Ekspresif
Sastra itu merupakan jenis karya seni, sama halnya dengan karya seni rupa, seni patung, seni pertunjukan, dan jenis-jenis seni lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam proses artistik penciptaannya, ia melibatkan sejumlah aspek yang menandai eksistensi “seni” di dalamnya, yakni kebebasan, imajinasi, keindahan, pengetahuan, dan emosi atau rasa. Semua aspek itu, sekali lagi, bagian dari ranah artistik penciptanya. Artistik itu berarti indah, namun berbeda dengan estetik. Artistik itu adalah semacam ruang besar yang dimiliki penciptanya di dalam proses kreativitasnya. Dengan demikian, karya seni, khususnya seni sastra berupa prosa, puisi, ataupun drama selalu dilingkupi oleh sejumlah aspek di atas. Namun demikian, tidaklah ada nilai sublimitas dalam sebuah karya sastra apabila tidak diawali oleh visi seorang pengarang. Visi ini merupakan akar sekaligus tiang penciptaan karya sastra. Visi itu semacam prinsip dan ideologi pengarang yang menjalar dalam relung bathin, baik rasa maupun pikiran, pengarangnya. Nah, inilah yang mengawali lahirnya pendekatan ekspresivisme atau perspektif ekspresif dalam dunia seni sastra.
Pendekatan ekspresif adalah sebuah konsep yang meyakini bahwa terciptanya karya sastra didorong oleh visi pengarangnya yang tercermin melalui rasa dan pikirannya. Dengan kata lain, karya sastra merupakan “anak kandung” pengarangnya, dalam artian, ia merupaka ekspresi murni dari pikiran dan emosi atau rasanya pengarangnya yang terungkap secara bebas lepas. Pendekatan ini diinisasi oleh Dionisius Cassius Longinus pada jaman Yunani yang kemudian berkembang pesat di era Romantik, yang nyata-nyata mendukung pandangan ekspresivisme dalam sastra. Dengan demikian, tidaklah heran jika William Wordsworth, sastrawan Romantik Inggris abad ke-19, mendefinisikan karya sastra, khususnya puisi dengan pernyataannya yang berbunyi: A spontaneous overflow of powerful feelings”. Yakni, karya sastra yang baik itu adalah ungkapan perasaan yang muncul secara spontan dan kuat. Hal ini disebabkan karena di situlah ada kejujuran, apa adanya, dan tanpa ada poles-polesan dari relung hati (kalbu) yang dalam.
Berpijak dari konsep ini, puisi-puisi Mamiq Agus Fn serasa menjadi “anak-anak kandung” yang jujur dan tulus dari relung bathinnya. Serasa menjadi buah pemahaman dan perasaannya yang luas dan mendalam. Bahkan serasa menjadi untaian-untaian narasi dari pengalaman bathinnya terhadap sejauhmana ia berjibaku dengan kemelekatannya terhadap Sang Pencipta yang terhubungkan melalui jalur sufisme. Hampir semua puisinya berangkat dari pesan itu. Bahkan hampir pula semua puisinya berakhir pada dinamika religiusitasnya kepada Sang Ilahi. Cobalah kita lihat dua puisinya yang berjudul “Bahagia Itu Akhirnya” dan “Kristal Biru”. Pada puisi pertama, isi puisi adalah tentang apa itu kebahagiaan. Ditampilkan serupa dialog antara pembicara puitik (addresser) dengan seseorang sebagai lawan bicara (addressee). Namun di antara tawaran konsep kebahagiaan dari teman-teman dialognya, sang pembicara puitis, yang sejatinya adalah Mamiq Agus Fn sendiri, dia menolak semua konsep mereka dan dia berpegang pada konsep atau pemahamannya sendiri bahwa kebahagiaan itu adalah tatkala:
membenamkan hati
dalam hati
menyibak rasa dengan rasa
mendengar bisik tanpa suara
adanya dalam dada: Huu
Dengan kata lain, kebahagiaan itu tatkala seseorang mampu menghidupkan bathinnya untuk terus terpaut dengan sublimitas rasa yang diyakini itu adalah perpautan dengan Yang Maha Kuasa di dalam kalbunya. Jelas, ini adalah ideologi yang diyakini Mamiq Agus Fn, yang tentu menjadi akar dan batang penulisan puisi tersebut. Kemudian, pada puisi “Kristal Biru”, Mamiq Agus Fn seakan mempertegas serupa apa kalbu yang sudah terpautkan oleh pancaran Nur Ilahi itu, yakni serupa metafora Kristal Biru sebagai pucuk penghias mahkota:
Kristal biru
di pucuk mahkota
simpul mati dalam perjanjian abadi:
Qaalu balaa syahidna
Sesungguhnya, melalui puisi ini, Mamiq Agus Fn hendak menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa seseorang yang sudah mampu merengkuh Nur Ilahi di dalam kalbunya adalah orang yang sejatinya telah fitri yang telah mampu mengembalikan hakikat dirinya sebagaimana tampilannya seperti sejak mula ia ada tatkala di alam Rahim atau alam ruh. Tidakkah ini sufistik sekali? Iya benar. Dan Mamiq Agus Fn sejatinya adalah seorang sufi yang menghalimunkan dirinya dengan cara sebagai seniman, sastrawan, intelektual ataupun birokrat-teknokrat.
Antologi Puisi dalam Perspektif Obyektif
Dalam perspektif yang lain, yakni perspektif obyektif, antologi puisi yang berjudul “Buku Harian 67” ini tampaknya menampilkan hal yang unik pula. Perspektif obyektif sebenarnya konsep lain dari teori kritik sastra strukturalisme murni. Istilah “obyektif” digagas oleh M. H. Abrams dalam bukunya yang berjudul “The Mirror and the Lamp” di mana karya sastra, termasuk puisi bisa menjadi cermin sekaligus lampu bagi masyarakat atau pembacanya. Dalam pandangan obyektif, karya sastra bersifat otonom yang tersusun atas dasar konektivitas unsur yang menjadi penyangga atau pembentuk di dalamnya, yang kemudian dikenal sebagai unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik itu dengan sendirinya melakukan pengaturan diri (self-regulation) dan saling berkait dalam bingkai plausibilitasnya. Jika salah satu bagian atau unsur tidak berfungsi maka karya itu tidak mampu menyuguhkan estetika yang padu dan kongruen. Estetika yang padu itu kemudian dapat dilihat pada aspek bentuk (form) dan isi (content) karya sastra.
Menariknya, perspektif obyektif ini mengalami perkembangan yang cukup pesat karena digawangi oleh mazhab New Criticism pada pertengahan abad ke-20 di Amerika Serikat, tempat atau negara di mana M. H.Abrams menjadi guru besar sastra. Inti dari pandangan New Criticism ini adalah bahwa karya sastra, sebagai obyek estetis pembacanya, merupakan sebuah sistem atau struktur yang utuh di dalamnya semua unsur berpadu di dalam menyuguhkan makna yang sebenarnya. Baik bentuk maupun isi keduanya saling mendukung dan berpadu di dalam menyajikan pesan atau isi estetis karya sastra. Dengan begitu, pembaca tidak perlu melibatkan subyektifitasnya di dalam memaknai karya, namun sudah sangat kasat mata dan obyektif terlihat karya sastra itu berpesan apa, yang kemudian menunjukkan sisi keunikannya daripada karya sastra yang lain.
Sehubungan dengan proposisi di atas, jelaslah semua puisi yang ada di dalam antologi ini, yang berjumlah 67 puisi, mempunyai bentuk da nisi yang khas. Secara bentuk, yang disuguhkan melalui unsur intrinsik karya sastra, puisi-puisi yang ditulis oleh Mamiq Agus Fn mengikuti pola atau bentuk puisi modern. Dalam kategorisasi puisi di era modern, genre puisi yang umum dikembangkan adalah Puisi Bebas (Free Poetry), yang di dalam bahasa Perancis disebut dengan istilah “Vers Libre”. Mengapa dikatakan demikian? Karena puisi itu tidak tersusun dengan menggunakan perimaan dan ritme yang tetap. Bahkan, bisa dikatakan tidak ada rima sama sekali, jika dilihat perimaan akhir (end-rhyme) yang hadir di setiap larik dan bait setiap puisi. Dalam puisi konvensional, rima dan bunyi memang menjadi bagian yang sangat utama di dalam menghadirkan estetika. Namun, puisi modern tidak lagi memandang hal itu menjadi perlu. Ini disebabkan karena para penyair modern lebih menekankan isi dan pesan sebagai aspek estetis utama daripada aspek bentuk atau rima dan bunyi diksi dalam puisi. Dengan kata lain, semua puisi yang ditulis oleh Mamiq Agus Fn di dalam buku ini mengikuti pola atau genre puisi modern, yaitu Puisi Bebas, yang mana penyair tampaknya lebih menekankan pesan atau isi yang lebih tajam dan menyentuh kepada pembacanya.
Harus diakui memang, sisi sublimitas puisi-puisi yang berjumlah 67 ini adalah pada aspek isi (konten). Ketika membacanya, orang akan bisa tercenung, kemudian berpikir sembari berimajinasi, lalu akhirnya ia bisa mengangguk-angguk sendiri menyetujui pesan atau isi puisi. Ambillah beberapa contoh puisi yang ada di dalam antologi ini, yaitu (a) Puisi “Hujan Siang”, yakni puisi yang menggunakan metafora hujan siang sebagai wahana di dalam menyampaikan pesan sang penyair. Hujan siang sejatinya sebuah cinta dan rahmat. Itu yang diyakini oleh Mamiq Agus Fn. Cinta dan rahmat itu adalah sejatinya Sifat Allah SWT, yang senantiasa dihadirkan olehNya untuk semua makhluk, utamanya manusia. Dan hanya manusia yang punya hati yang tercerahkan-lah yang mampu membaca dan memaknai itu. (b) Puisi “Serpihan Kisah”, yakni puisi pendek yang menegaskan tentang serpisah-serpihan kisah yang dialami oleh diri penyair dan teman-temannya. Baginya, itu semua adalah hikmah, yang berfungsi untuk memperkuat jiwa dan sukma. Baginya, semua itu bukanlah hal yang sia-sia di dalam perjalanan hidup ini. Baginya, semua itu adalah ilmu yang menjadi bahan untuk terus mempertautkan jiwa dan sukma dengan Sang Khalik. (c) Puisi “Jarak itu Semakin Menghampiri” adalah puisi yang ditulis oleh Mamiq Agus Fn sebagai ungkapan kesadaran reflektifnya terhadap perjalanannya yang sudah begitu panjang sehingga pelan tapi pasti tujuan atau target yang dituju semakin merapat. Hal yang diungkapkan oleh Mamiq Agus Fn adalah kodrat atau sunnatullah. Segala apa yang berawal pasti mempunyai titik akhir. Maka, puisi ini adalah sebuah peringatan untuk kita semua sebagai manusia yang berjalan dan mempunyai titik awal, dan sudah pasti akan berhenti dan mencapai titik akhir. (d) Puisi “Aku Menunggumu”, adalah puisi yang berkisah tentang betapa setianya Allah menunggu hadirnya umat manusia, yang mengakui diri beriman untuk datang mendekat kepadaNya. Dari balik untaian lariknya, Mamiq Agus Fn tampaknya hendak memberi penjelasan kepada kesetiaan Allah yang penuh kasih kepada hambanya dan juga memberi nasihat kepada semua kita untuk tidak lalai untuk terus “menyatukan diri” denganNya. Singkatnya, semua puisi yang ditampilkan di dalam antologi ini hampir menyaran pada isi atau pesan religiusitas. Sebab, hanya dengan itulah manusia bisa mulia di mata Allah dan di mata manusia. Semuanya sangat menarik, yang disajikan dengan imajeri dan perspektif pengalaman yang variatif.
Oleh karena itu, sebagai bagian akhir dari tulisan ini, saya berani berpendapat bahwa buku antologi puisi sangatlah layak untuk dibaca, khususnya mereka yang sedang mengalami “Kebangkitan Spiritual” (Spiritual Awakening). Hal ini karena tidak hanya karena sarat makna di balik diksi dan majas yang disuguhkan, tetapi juga karena puisi-puisi yang ditulis oleh Mamiq Agus Fn ini mampu menggugah untuk semakin meyakini jalan spiritual yang sudah dijalankan sebagai “Haaza sirootol mustaqiim” (Inilah jalan yang lurus itu, yang diridhoi oleh Allas SWT itu). Dengan kata lain, puisi-puisi yang ditulis sang penyair dalam memenuhi kemanfaatan yang jelas (utile) tidak hanya pemberi keceriaan (dulce) bagi pembacanya. Ini semua karena Mamiq Agus Fn menulisnya atas dasar cinta dan pengalaman bathin yang selama ini dialaminya sebagai seorang salik atau “pejalan tradisi”. Demikianlah, semoga uraian komentar ini bisa memberi manfaat. SEKIAN!
Labuapi, Agustus 2024
MENAKAR ANTOLOGI PUISI “BUKU HARIAN 67” DALAM PERSPEKTIF EKSPRESIF DAN OBYEKTIF
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
September 18, 2024
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar