KONSEP SASTRA DAN BAHASA AL-QURAN YANG SASTRAWI

*KONSEP SASTRA DAN BAHASA AL-QURAN YANG SASTRAWI*

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Sastra adalah bahasa dan ekspresi serta cermin kehidupan manusia secara lahir dan bathin. Sastra itu menyajikan kebenaran dan kejujuran yang murni dari seorang penulis dari inspirasi-inspirasinya yang luhur terkait kebenaran universal dan terkait eksistensi Kemaha-Kuasaan Yang Kuasa. Secara formalis, sastra menggunakan bahasa yang estetis, sublim, dan figuratif yang tujuannya adalah berusaha menyentuh serta menggugah perasaan, hati nurani atau kalbu manusia yang paling jujur yang merekat dengan pengakuannya pada Yang Maha Kuasa di dalam jiwanya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan pada jaman dahulu para sastrawan itu identik dengan para maha guru, pemuka agama, para Shri, serta para Begawan yang integritas dan ketajaman bathin spiritualnya tak diragukan lagi. 

Pujangga yang berkarakter Shri Begawan itu adalah orang yang paham tentang asal usul hidup, tujuan hidup, dengan cara apa seharusnya hidup, serta serupa apa dan bagaimana ia berada setelah lepas dari hidup fana ini. Atas dasar demikian, maka sastrawan atau pujangga adalah orang yang terus-menerus melakoni hidupnya dengan pencarian terhadap kebenaran hakiki, dan setiap karya yang dihasilkan merupakan terminal atau jeda (tuma’ninah) pada proses laku pencariannya itu. Proses pencariannya itu selalu dijalankannya berdasarkan titah dan kepemahamannya pada Kitab Suci. Karenanya, tidaklah mengherankan kata-kata para pujangga jaman dahulu selalu identik dan berselaras dengan ajaran agama atau ayat-ayat dalam Kitab Sucinya. Bahkan kata-katanya merupakan bahasa lain atau saduran serta penjelasan daripada bahasa ayat Kitab Sucinya. 

Fakta ini sangatlah nyata juga ditemui di dalam dunia Islam di dunia maupun di nusantara, para pujangga hebat yang eksis namanya hingga saat ini adalah sejatinya mereka yang senantiasa menyandarkan inspirasi penciptaan karya-karyanya pada ajaran Islam khususnya dari sudut padang Tasawuf (Sufisme). Sebutlah contoh seperti Kitab Al Hikam yang dikarang oleh Ibnu Atthoillah As-Sakandari sang mursyid ketiga dari Tarekat Assaziliyah, ataupun yang lain seperti puisi-puisi Ketuhanan seorang Sufi wanita Iraq yang bernama Robiyatul Addawiyah. Di Nusantara, banyak sekali ulama sekaligus pujangga seperti demikian, di antara misalnya K.H. Musthofa Bisri, Dzawawi Imron Madura, Emha AInun Nadjib, Maulana Syeikh Muammad Zainuddin Abd Madjid, dan sebagainya.

Lalu bagaimana pendapat ahli sastra dan/atau sastrawan terhadap Kitab Suci Al-Quran? Apakah Al-Quran merupakan Kitab Suci yang berisi Firman Allah yang diungkap dengan bahasa sastra tinggi? Shodakollahuláziim, Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Dalam pandangan sastra, AL-Quran merupakan kombinasi dari sekian banyak penjenisan atau pengkategorian macam sastra (karya sastra) yang sudah berkembang di dunia, sepanjang peradaban manusia. Buktinya,  Al-Quran itu berbentuk syair (puisi) sekaligus karya novel (prosa) atau cerita hikayat sebagaimana di dalamnya ada kisah Nabi Musa dengan kaumnya Bani Israil, kisah Ashabul Qahfi, kisah Zulkarnaen, kisah Nabi Nuh, Kisah Nabi Ibrahim, kisah Mekkah era pra-Kenabian Rasulullah, dan lain sebagainya. Semua kisah ini tidak sekedar kisah namun menyajikan hikmah yang menjadi pelajaran atau pegangan hidup bagi umat manusia sepanjang jaman. Selain itu, Al-Quran itu, dalam pandangan sastra Barat, merupakan sebuah puisi ballad (Ballad atau Narrative poetry) sekaligus puisi lirik (Lyric poetry). Ballad, karena Al-Quran berisi cerita yang di dalamnya melibatkan narasi, penokohan historis, serta dialog. Lirik, karena diuangkap dalam bentuk puisi yang menggunakan bahasa yang indah, ritmis, sublime, serta evokatif atau yang menggugah pembacanya.

Kemudian, salah satu teori sastra yang dikembangkan di Barat (Eropa), yakni teori kritik sastra Formalisme. Teori yang dikembangkan oleh para ahli linguistik (ilmu bahasa) di Rusia pada awal abad ke-20. Ia memandang bahwa sebuah karya bisa dikatakan sebagai (karya) sastra, bukanlah karena imajinatif atau tidak, akan tetapi dikarenakan ia menggunakan bahasa yang unik (peculiar language) yang mana menggunakan bahasa majas (bahasa figuratif) seperti simile, metafora, personifikasi, metonimi, dst., di samping sastra selalu menggunakan metrum, ritme, bunyi serta rima yang prosodik. Oleh karenanya, dalam padangan teori ini bahasa sastra idealnya harus bisa memenuhi unsur kesastraan seperti demikian, yang disebutnya dengan istilah “literaturnost” (bahasa Rusia). 

Dalam konteks ini, Al-Quran sejatinya menerapkan segala hal yang dikonsepsikan oleh teori Formalisme ini. Secara bentuk kebahasaan (formalis), bahasa AL-Quran adalah bahasa sastra tingkat tinggi. Lebih tepatnya, bahasa Al-Quran adalah bahasa puitis (poetic speech) bukanlah bahasa keseharian (ordinary speech) yang tujuannya, di antaranya disebut di dalam Q.S. Surat Yunus (10) ayat 57, yakni dalam rangka menjadi pentunjuk bagi hidup manusia (Hudan lil naas), menjadi Rahmat bagi semua manusia (Rahmatan) dalam bentuk Pelajaran (Mauizah), bahkan sebagai obat atau syifa’untuk mereka yang beriman (Syifa’tullil muq miniin). Fakta ini menunjukka bahwa keberadaan Al-Quran jauh melebihi fungsi kehadiran sastra sebagaimana yang dikonsepsikan oleh sastrawan Yunani yang berlaku hingga kini yang berbunyi “Dulce et Utile”, yaitu sastra yang baik itu harus bisa berperan sebagai pemberi kesenangan, keriangan, ataupun hiburan sekaligus bisa memberi manfaat serta inspirasi bagi pembacanya. 

Fakta bahwa bahasa Al-Quran melebihi standar konsep teori Formalisme yang dikatakannya sebagai bahasa puitis itu adalah Al-Quran menggunakan serta memainkan bunyi yang begitu variatif tapi konsisten di setiap ayatnya berupa penggunaan asonansi, konsonansi ataupun aliterasi, menggunakan bahasa majas (bahasa figuratif) dengan makna yang kaya serta sublim, menggunakan pe-rima-an (rhymic pattern) yang tetap, serta, yang paling penting, ketika mendengarnya orang-orang akan mudah larut terasuk jiwanya dalam rasa ketundukan dan kesyahduan, bahkan, khusus bagi orang-orang yang penuh keimanannya, hatinya akan langsung bergetar (lihat Q.S. Al-Anfaal ayat 2). 

Sebagai buktinya, supaya tidak dianggap bahasa omon-omon seperti istilah Prabowo Subianto, cobalah kita lihat ayat-ayat Al-Quran di antaranya adalah sebagai berikut: 

(1) Al-Quran memainkan bunyi yang variatif tapi konsisten seperti dalam ayat Al-Quran yang berbunyi: صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ  (Summum Bukmum umyum fahum laayar jiuun) dalam Q.S. Al-Baqarah ayat ke-18. Pada redaksi ayat Al-Quran di atas tampak jelas sekali bunyi /um/ berkali-kali muncul secara tetap namun menimbulkan efek ritmis. Bisa ritmis dikarenakan bunyi vokal /u/ bersanding dengan bunyi konsonan /m/ secara repetitif atau berulang serta bersanding pula dengan bunyi konsonan /n/ di akhir ayat setelah bunyi vokal /u/ dibaca dengan harokat panjang. Hal ini membuktikan bahwa AL-Quran menunjukkan efek sastrawi dalam wujud bunyi di setiap kata bahkan morfemnya. Bunyi vokal dan konsonan yang muncul berulang-ulang ini dikenal dengan istilah asonansi ataupun aliterasi dalam sastra.

(2) Al-Quran menggunakan bahasa majas (bahasa figuratif) yang kaya makna. Hal ini dapat dilihat, di antaranya, dalam ayatnya di Q.S. An-Nuur, ayat 35, yang berbunyi: مَثَلُ نُوۡرِهٖ كَمِشۡكٰوةٍ فِيۡهَا مِصۡبَاحٌ ؕ الۡمِصۡبَاحُ فِىۡ زُجَاجَةٍ ؕ (Masaluhu ka mishkatim fi ha mishbah, al misbahu fi zujajah). Kata “Mishkat”, “Mishbah”, dan “Zujajah”. Tiga kata ini berarti kurang lebih adalah lubang yang tembus (mishkat), pelita besar (mishbah), dan tabung kaca yang berkilauan (zujajah). Ketiga kata atau obyek ini adalah bahasa perumpamaan atau perlambangan terhadap bagaimana Allah menghadirkan Cahaya-Nya di muka bumi dan langit, yang kemudian dapat ditafsirkan sebagai Cahaya Ilahi dalam bentuk Hidayah dan Rahmat Allah kepada umat manusia dan alam semesta.

(3) Al-Quran menggunakan pe-rima-an yang variatif dan repetitif. Fakta pe-rima-an ini merupakan fakta yang paling mudah terlihat, hampir setiap ayat Al-Quran dengan susunan rima akhir (end-rhyme) yang variatif, dengan kadang menggunakan pola a-a atau a-b, atau a-b-a-a, atau kadang a-a-b-b, atau kadang a-a-b-c, dan sebagainya. Sebagai bukti, misalnya pada Q.S. Al-Maun, ayat 1-6, yang mana pada ayat 1 sampai dengan ayat 4, bunyi rima akhir yang muncul adalah bunyi /-iin/ dan /-iim/ pada kata: -diin, -tiim, -kiin, dan –liin. Jika dibuatkan pola rima maka akan berbentuk: a-b-a-a, kemudian pada ayat 5 dan ayat 6 bunyi akhir ayatnya bunyi silabe /uun/ yaitu dengan pola a-a. 

Uraian di atas adalah sekelumit atau setitik fakta dari lautan fakta yang memperlihatkan kekuatan sastrawi Al-Quran. Namun demikian, dari sampel ayat Al-Quran di atas, saya sangat yakin betapa Al-Quran merupakan Qalam Allah dalam wujud sastra tertinggi, sebagaimana dikatakan dalam ayat Al-Quran yang lain, yang menantang para penyair di Arab Saudi kala itu untuk menandingi ketinggian sastra Al-Quran. Diketahui secara historis memang bahwa Al-Quran sebagai mu’jizat Nabi Muhammad dihadirkan oleh Allah dalam bahasa sastra adalah sebagai Pembuktian kepada mereka yang cukup gandrung dengan bahasa-bahasa syair. Al-Quran bukanlah bahasa permainan kata-kata yang didorong oleh impuls rasa yang emotif, namun jauh daripada itu ia mengandung nilai serta aspek  "yanfaq" (kemanfaatan), "yarfaq" (menaikkan derajat), dan "yasfaq" (menjadi penolong di Hari Akhir).  Pada titik inilah syair jaman Jahiliyah tak mampu ia capai termasuk ketakmampuannya mencapai ekspresi bahasa Al-Quran yang nyata-nyata sublim dan terstruktur.

 Memang, pada jaman Arab Jahiliyah, bangsa Arab sangat menggandrungi bahasa syair sebagai karya yang dilombakan di antara mereka. Beberapa penyair yang sangat diakui eksistensinya kala itu adalah penyair yang bernama Al Nabhigah al Nubiyani dan Zuhair ibn Sulma, yang mana karya-karyanya yang dimenangkan lalu ditempelkan di dinding-dinding Ka’bah. Atas konteks historisitas ini, maka Al-Quran diturunkan dalam bahasa sastrawi yang sangat tinggi sehingga bahasa-bahasa penyair yang diakui kalibernya kala itu secara otomatis terkalahkan. Faktanya memang demikian sebagaimana diurai di atas yakni, bahasa Al-Quran secara bahasa (formalis) dan secara konten (isi) sangat menggugah terutama bagi mereka yang beriman dan yang mau berpikir.  SEKIAN.

Labuapi, 30 Maret 2024

KONSEP SASTRA DAN BAHASA AL-QURAN YANG SASTRAWI KONSEP SASTRA DAN BAHASA AL-QURAN YANG SASTRAWI Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Maret 30, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.