APALAH ARTI SEBUAH NAMA
(MEMBACA KEKISRUHAN PENGGANTIAN NAMA BANDARA BIL MENJADI ZAM) Bagian 1
Oleh:
H. Nuriadi Sayip
Dua tiga hari terakhir ini kita lagi-lagi dibuat terhenyak, resah, bahkan panik, ketika rasa serupa masih belum pulih karena dirundungi deretan gempa dengan skala richter yang begitu besar. Rasa resah dan panik terjadi kali ini disebabkan oleh terjadinya kekisruhan, silang pendapat yang masif atas penggantian nama Bandara Internasional Lombok (BIL) atau Lombok International Airport (LIA) menjadi Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BUI-ZAM) atau Zainuddin Abdul Madjid International Airport (ZAM-IA). Kekisruhan ini menimbulkan pro-kontra yang luar biasa, yang sudah mengarah ke konflik sosial. Jika ini yang terjadi, maka ini sesungguhnya “gempa” yang lebih dahsyat, yang bisa-bisa secara dampaknya bermagtitude di atas 7,0 skala richter. Persoalannya, tidak lain dan tidak bukan, karena soal “nama” Bandara yang (akan) diganti. Tampak sepele, kesannya memang. Tapi ternyata, tidak demikian adanya, jika melihat kekisruhan ini terus berlanjut.
Ah, apalah arti sebuah nama. Ungkapan itu kini muncul mengikuti persoalan penggantian nama Bandara BIL. Pemunculan ungkapan tersebut dilakukan oleh sejumlah orang sebagai status di media sosial, terutama facebook, sebagai wujud respons mereka kepada pihak yang menentang penggantian nama. Dengan kata lain, status yeng menyebut “apalah arti sebuah nama” itu merupakan reaksi yang pro, bersetuju, dan mendukung ZAM menjadi nama baru atas Bandara kebanggaan masyarakat NTB.
Jika ditelisik lebih dalam, ungkapan ini sebenarnya diungkap pertama kali oleh sastrawan kenamaan Inggris yang bernma William Shakespeare dalam salah satu karya agungnya berbentuk drama yang berjudul “ROMEO AND JULIET” ( yang ditulis sekitar 1597), sebuah drama romantis yang berakhir dengan kisah tragis pada kedua tokoh utama yang saling mencintai. Ungkapan “Apalah arti sebuah nama” ini sebenarnya terjemahan dari teks bahasa Inggrisnya yang berbunyi: “WHAT’S IN A NAME”, yang muncul dalam teks drama di bagian ACT II, Scene II. Untuk lebih jelasnya, berikut teks aslinya:
Juliet:
'Tis but thy name that is my enemy;
Thou art thyself, though not a Montague.
What's Montague? It is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man. O, be some other name!
What's in a name? That which we call a rose
By any other word would smell as sweet;
So Romeo would, were he not Romeo call'd,
Retain that dear perfection which he owes
Without that title. Romeo, doff thy name,
And for that name which is no part of thee
Take all myself.
Romeo:
I take thee at thy word:
Call me but love, and I'll be new baptized;
Henceforth I never will be Romeo.
Dengan melihat reaksi yang begitu keras dari mereka yang menolak penggantian nama, khsususnya sebagian besar masyarakat Lombok tengah (dari pejabat struktural, pemangku adat, dan masyarakat lokal setempat), nama menjadi hal yang sangat penting. Nama tidak hanya sebatas sebuah label formalistik saja, sehingga bisa dengan seenaknya diganti kapan waktu. Nama tidak hanya sebatas embel-embel yang melekat dan dipakai sebagai “bahasa panggilan” pada sebuah obyek. Nama bukanlah hal yang dipikirkan oleh mereka ketika mereka menyebut ungkapan “Apalah arti sebuah nama”. Tidak, tidak begitu. Bagi mereka, pihak yang menolak penggantian nama, nama harus berperan sebagai “identitas yang menyatukan” semua elemen masyarakat dan kepentingan. Tidak hanya identitas yang membanggakan, tetapi jauh lebih dalam yang menyentuh “kesadaran kolektif” (collective consciousness) seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Sasak. Nama merepresentasikan nilai kultural dan kesejarahan, yang tanpa bersumber pada satu akar muasal.
Memang betul, ketokohan Maulana Syaikh Tuan Guru Muhammad Zainul Abdul Madjid sudah tidak diragukan beliau. Peran dan jasa beliau pun tak diragukan sama sekali, di dalam menyebarkan ajaran Islam, membentuk sistem pendidikan melalui pesantern, mencerdaskan dan membangkitkan smeangat serta visi misi kebangsaan yang sebaiknya dimiliki oleh orang Sasak dan NTB, dan seterusnya. Sehingga pantaslah, beliau itu adalah kebanggaan orang NTB. Beliu itu adalah inspirasi seluruh warga. Hingga ujungnya, beliau itu pantas disematkan sebagai Pahlawan Nasional.
Akan tetapi, kefiguran beliau yang sedemikian mengagumkan tersebut masih belum berterimakan secara penuh. Apa sebab? Karena nama beliau yang begitu besar itu dinilai masih identik dari organisasi Nadhatul Wathan saja, bukan mewakilkan organisasi masyarakat yang lain, terutama organisasi NU. Terlebih fakta ini didukung secara politik kekuasaan. TGB M Zainul Majdi adalah gubernur NTB, yang nota bene adalah Ketua Umum Organisasi Nahdhatul Wathan dan juga menjadi zurriyat atau cucu Maulana Syekh sendiri. Dengan posisi sentral TGB sedemikian itu, masyarkat menganggap cukup wajarlah penggantian nama ini sedemikian mudah. Sehingga prosesnya begitu cepat, yang sebelumnya diawali dengan penggantian nama bandara LANUD Rembige menjadi Lanud Zainuddin Abdul Madjid (ZAM). Akibatnya, semua ini berkelindan dalam konstruk pikiran masyarakat (tentu yang kontra), yang mengafirmasi anggapan atau pendapat, bahwa (a) penggantian nama Bandara ini sangat disokong oleh kekuasaan formal, arinya ada “tangan kekuasaan” di balik ini semua, (b) penggantian nama bandara merupakan bagian dari hegemoni dalam wujud simbolik yang sudah diagendakan, dan (c) dengan penggantian nama itu, disinyalir Lombok ini diproyeksikan menjadi “tanah milik NW” semata, yang mana sejumlah lokasi vital dinamai dengan hal-hal yang berbau NW. Pendapat-pendapat ini terus menerus berseliweran sebagai wacana publik sejauh ini. Tujuannya adalah dalam rangka menolak SK Kemenhub itu diberlakukan. Sangat miris dan sadis, memang.
Dengan membaca peristiwa ini, jelaslah nama itu sangat besar perannya di dalam diri sebuah subyek. Maka itu, penggantian nama harus dipikirkan secara matang-matang dan komprehensif-holisti. Momentum penggantian nama pun perlu dipikirkan secara dewasa. Karena di balik nama itu ada kebanggaan. Karena di balik nama itu adalah cerminan geneologis. Karena di balik itu ada marwah. Sebegitu besarnya sebuah nama atau label dalam diri sebuah subyek, dalam sejarah Amerika Serikat, penyebutan kaum kulit hitam itu berganti ganti. Yang awalnya disebut “the Blacks” atau “the Negroes”, kemudian berganti menjadi “the Afro-Americans”, dan akhirnya kini berubah menjadi “the African-Americans”. Pergantian nama tersebut bukan karena trend, tetapi karena cerminan makna di balik nama tersebut tidak berseuaian dengan marwah dan kebanggaan yang memanusiakan. Karenanya, penggantian nama harus mencerminkan “representasi keseluruhan” yang tidak boleh menihilkan diri atau elemen lain. Nama itu harus merepresentasikan seluruh elemen yang menyajarkan. Jika tidak, maka konflik dan perdebatan akan terus muncul secara laten dan primordialis. Maka jangan dianggap sepele. Jangan hanya dikira sebatas ‘Apalah arti sebuah nama”. Semua pihak yang berkepentingan sebaiknya berpikir dan bersikap secara bijak dalam mensikapi situasi ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar