FAKTA DI MEDSOS DAN ANGGAPAN PRABOWO MABUK (?)
oleh: Nuriadi Sayip
Ketika kita berselancar bebas lepas di dunia medsos akhir-akhir ini, maka postingan yang hampir pasti kita temui adalah komentar-komentar, foto-foto, meme-meme, dan berita-berita keberpihakan para pelaku medsos yang menunjukkan keberpihakan atau sikap dukungannya pada paslon 01 atau pun 02.
Fakta ini tidak bisa dielakkan saat ini. Ia mengalahkan postingan-postingan suasana Puasa Ramadhan yang nota bene para umat Islam seluruh dunia, utamanya di Indonesia, wabil khusus di wilayah Lombok, sedang semangat-semangatnya menjalankan ibadah puasa. Maka berita-berita soal ngabuburit, jajanan khas buka puasa, acara-acara bukber instansi semuanya terkalahkan oleh berita-berita pemilu yang sungguh sudah terpolarisasi.
Mengapa bisa begitu?Jawabannya, salah satunya barang kali karena masyarakat dewasa ini mempunyai akses yang begitu mudah di dalam memperoleh berita yang dishare saban waktu oleh para netizen. Alasan lain barangkali dimotori oleh hati nurani dan daya nalar merema di dalam mencerna setiap fakta yang didapatinya di dunia maya bernama medsos tersebut.
Pemberitaan soal pemilu khususnya Pilpres begitu sangat masif.
Salah satu berita yang dua hari ini menjadi viral dan trending topic adalah pidato Prabowo Subianto yang menolak secara tegas atas kecurangan pilpres dan proses penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU. Dalam kaca mata kubu Paslon 02, utamanya oleh Prabowo, pihak penyelenggara pemilu dinilai terang-terangan telah melakukan kecuranga yang siatematis, masif, dan terstruktur bahkan brutal. Maka, satu-satunya cara untuk menangkal hasil pemilu tersebut, menurutnya, adalah menolak hasil pemilu dan melakukan gerakan People Power yang kemudian direvisi oleh Amien Raia baru-baru ini sebagai "Gerakan Kedaulatan Rakyat".
Istilah baru ini tampaknya digaungkan sebagai strategi baru di dalam menghadapi gencetan pembungkaman dari pihak penguasa yang jelas-jelas mendukung penyelenggara Pemilu. Sebagai bukti, sekian banyam para tim sukses Paslon 02 yang dijadikan tersangka karena isu makar, disebabkan oleh penyebutan "people power".
Prabowo mabuk?
Menariknya, tidak sedikit orang, utamanya dari pendukung 01, menilai bahwa Prabowo kalap atau mabuk atas sikapnya yang tidak mau menerima proses penghitungan suara oleh KPU. Dia pun tidak mau proses ini dibawa ke Mahkamah Konstitusi, karena baginya, institusi ini adalah salah satu organ yang menjadi "tim sukses pemenangan paslon p1. Atas fakta ini, dia semakin dianggap sebagai sosok nasional yang tidak ksatria, tidak negarawan.
Jika demikian penilaian orang-orang terhadapnya, maka, menurut saya, penilaian itu justru prematur. Artinya, alih-alih ingin menihilkan sikap Prabowo itu, tetapi justru menunjukkan sikap kesatria dan sikap kenegarawanannya. Apa sebab? Jika kita telisik, Prabowo berani bersikap tegas menolak hasil pemilu karena dia justru ingin menunjukkan kepada masyarakat dan dunia bahwa pemilu Indonesia, yang digadang-gadang akan menjadi pemilu ideal, malah sebaliknya mempunyai masalah secara kompleks. Maka, dia, sebagai orang yang merasa terpanggil, ingin mengajak masyarakat untuk melihat pemilu 2019 secara lebih kritis, jujur, dan non partisan. Dia ingin menyelematkan image negara ini dari segala kecurangan. Bahkan dia menghibahkan dirinya untuk itu, sehingga dia membuat Surat Wasiat, yang secara tersirat, dimaknai sebagai sikap untuk siap sebagai Martir. Karenanya, tidakkah dia pantas dikatakan sebagai ksatria dan negarawan? Atau jangan-jangan definisi dua terma itu telah mengalami peyoratif makna?
Pun, betapa prematur dan emosionalnya orang yang menyebut dia mabuk. Betapa orang yang menyebut Prabowo demikian itu adalah cebong, yang, meminjam istilah Rocky Gerung, IQ nya sekolam. Sesungguhnya, dia jauh dari sikap mabuk. Dia justru menunjukkan kewarasan dan keberaniannya. Dia ingin sebuah keadilan. Dia ingin sebuah transparansi permainan.
Maka itu, sepatutnyalah, KPU, sebagai penyelenggara pemilu, bersikap akomodatif dan berani menunjukkan ke publik kalau ia jauh dari anggapan curang. Terkecuali, dia sebaliknya pantas dikatakan "mabuk" (baca: yang kehilangan hati nurani) atas sikap dan keputusannya yang eksklusif dan serba tertutup.
(Labuapi, 17 Mei 2019, dini hari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar