SANG KIYAI KAMPUNG
Cerpen karya Nuriadi Sayip
"Kiyai! Hei Kiyai Gapur segera enyahlah kamu! Jangan sekali-kali kamu dan keluargamu berlama-lama di kampung ini!”
Suara teriakan dan hujatan tiba-tiba terdengar dari luar rumah, tempat Kiyai Gapur dan anaknya selama ini tinggal. Meskipun demikian, dia seakan tidak mau memperdulikan suara teriakan tersebut. Justru yang dia lakukan dia segera meraih tubuh anaknya, dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Dia lalu setengah berbisik berucap pada anak itu:
“ Endak apa-apa Nak. Itu hanya orang mabuk yang tidak perlu digubris. Kita berdoa saja semoga dia diampuni oleh Allah.”
Beberapa saat suasana hening.
Kiyai Gapur masih tetap saja memeluk anaknya, berupaya menenangkannya.
Gedebrukkk! Bluukkk!
Suara lemparan batu berbenturan di tembok, tepat Kyai Gapur bersandar.
Tak ayal dia dan anaknya kaget bukan kepalang. Anak itu menangis kencang, karena kaget dan takut sekaligus.
“Keluar Kiyai! Pergi dari rumahmu. Segera!”
Kali ini tidak hanya satu saja suara teriakan terdengar dari luar rumah itu. Ternyata lebih dari tiga orang. Mereka bersahut-sahutan meneriaki pemilik rumah itu.
Malam menjadi tidak hening lagi. Malam itu tidak lagi ramah dan indah dalam rutinitas alur alamiahnya. Malam seakan menjadi percikan api yang sebentar lagi menjadi bara lava merah yang siap menerkam siapa saja yang ditemuinya.
Dan Kiyai Gapur-lah yang menjadi target utama dari semua itu.
Tentu saja hati Kiyai Gapur ciut. Tentu saja perasaannya menjadi redup. Tentu saja tubuhnya gemetar sejadi-jadinya, sekan tidak lagi menginjak tanah lagi. Yang dia bayangkan hanyalah tanda kematian. Karena dia tahu nyawanya adalah taruhannya, meski dia mengenal baik semua orang, pemilik suara yang berteriak itu. Mereka semua adalah tetangganya. Meskipun begitu, saat ini mereka bukan menjadi tetangganya lagi yang ramah. Mereka adalah musuhnya yang siap menghabisi nyawanya.
Kiyai Gapur tidak keluar. Dia hanya tetap saja di dalam kamarnya. Tidak hendak keluar dan menemui mereka.
Pintu terdengar ditendang.
Du braaaaakkk!
“Hei, Kiyai, kamu sudah tidak punya hak lagi tinggal di kampung ini. Kamu harus pergi segera, bila kamu masih sayang sama nyawamu sendiri. Kamu sudah menyalahi aturan kampung. Kamu sudah mencoreng nama baik kampung, bajingan!”
Suara itu, di sela-sela rasa takutnya yang bukan kepalang, Kyai Gapur masih sempat saja mengabsen siapa pemiliknya. Mereka itu adalah Prepok, Togil, Lengkeq, dan Tansah.
Orang-orang tersebut mempunyai dasar untuk marah karena Kiyai Gapur memang dipersalahkan. Dia telah melanggar janji pribadi atau lebih tepatnya kesepakataannya dengan warga-warga kampung, disaksikan oleh kepala kampung, dua tahun yang lalu. Bahwa apabila dia mengambil kembali istrinya yang minggat dari rumah bersama-sama dengan laki-laki selingkuhannya, dia sanggup untuk berhenti sebagai kiyai kampung. Tapi, dia tidak menyangka, ucapannya justru lebih parah dari bayangannya. Dia tidak hanya harus menanggalkan posisi terhormat nya sebagai seorang kiyai tetapi juga harus meninggalkan rumah dan aset-asetnya secara paksa dan tanpa kompromi seperti malam itu.
Tidakkah ada rasa kemanusiaan di antara warga-warganya yang selama ini dia didik dan nasehati dalam sudut pandang agama? Di mana nilai kebersamaan dan persaudaraan itu? Sejumlah pertanyaan tiba-tiba menghiasi bathin Kiyai Gapur.
Dia bersepakat rujuk lagi dan menerima keadaan istrinya dengan apa adanya bukanlah semata-mata karena didasari oleh faktor biologis sebagai laki-laki normal, tapi karena dia memang masih sayang. Rasa sayang yang didasari oleh saling pengertian yang sudah lama dibangun, yang hingga detik itu masih membias tebal di jiwanya. Demikian pun istrinya, setelah dia meminta maaf sambil berlutut atas kekhilafannya pada waktu itu. Selain itu, Kiyai Gapur membuka hati menerima kembali istrinya karena dia juga sangat sayang pada nasib anak-anaknya. Dia tidak hendak dicap sebagai seorang ayah yang tidak punya perasaan dan terlampau egois pada naluri alamiah anak-anaknya, yang sungguh mengidami orang tunya utuh kembali, seperti sedia kala.
“Hei, Bajingan! Pengecut! pecinta wanita kotor! Keluaar!”
Mendengar suara umpatan yang sudah kelewatan seperti itu, rasa keberaniannya pun spontan membiak. Dia langsung menyahut, dan melupakan tekadnya yang sedari tadi membelenggu dirinya untuk tetap rasional dan tenang.
“Astagfirullahal’aziiim. Semoga Allah mengampuni mereka. Iya, saya akan keluar Saudara! Tunggu saya di luar. Saya juga manusia seperti kalian juga!”
Suara jawaban Kyai Gapur itu terdengar jelas oleh oleh orang-orang itu.
Pintu itu pun terbuka.
Keempat orang itu melempari Kiyai Gapur dengan batu dan kayu. Tapi anehnya, tidak ada satu pun yang mengenai tubuh yang hampir setengah baya itu. Lemparan itu berkali-kali. Tapi, tetap saja tidak mengenai tubuh sang kiyai.
“Ini saya, bunuhlah. Saya tidak takut. Karena saya yakin Allah melindungiku!”
Kyai Gapur kini seperti jawara yang setengah kesetanan. Berjalan mendekati keempat orang itu. Melihat itu, keempat laki-laki yang sedari tadi bersuara lantang agak terkaget. Mereka tidak menyangka Kiyai Gapur seperti itu.
Mereka bergumul, saling menyerang. Empat lawan satu. Sungguh tidak imbang. Kiyai Gapur dikeroyok. Anehnya lagi-lagi, senjata seperti parang, keris, kelewang yang dipegang keempat orang itu sama sekali tidak mengenai tubuh kerempeng sang kiyai. Gerakan tubuh itu pun terlihat sedemikian lincah dan gesit seperti pesilat kawakan.
Malam sudah terpedulikan. Suara teriak dan riuh rendah perkelahian membahana. Ini tentu mengundang banyak orang berdatangan. Meski begitu, tidak ada satupun yang berani melerai. Mereka hanya bisa jadi penonton saja.
“Dooor Doooooooorrrrrr!!”
Bunyi pistol menggelegar.
“Sudah! Berhenti, berhenti!”
Di balik pohon mangga yang rimbun, beberapa orang tiba-tiba muncul. Mereka semua adalah polisi berpakaian preman.
“Cukup! Atau kami tembak kalau kalian sampai berkelahi!” kata salah satu di antara aparat itu.
Kiyai Gapur dan keempat orang yang mengeroyoknya itu mematung dan memasrah saja ketika mereka diamankan.
*********
“Atas nama dan harga diri Kampung ini, saya meminta Kiyai Gapur pergi dari kampung ini!” Teriak Amaq Unsang setengah berteriak di Berugak Sekenem rumahnya pada waktu siang, keesokan harinya.
“Dia juga sudah pernah sanggup untuk itu”. Ucap Amaq Katru menambahkan.
Beberapa saat orang-orang itu terdiam.
“Bagaimana Kiyai, apakah benar anda pernah berkata begitu? Sanggupkah juga anda pergi dari sini?” kata pak Kepala Desa setelah beberapa saat hening.
“Memang, saya pernah berkata begitu pada Amaq Sunu ketia dia bertanya. Iya, saya sanggup. Karena Inaq Gapur wanita yang aku cintai. Dia itu ibunya anak-anak saya. Dan kami masih saling mencintai. Semua orang pernah berbuat salah. Dan di mata saya, Inaq Gapur saat itu khilaf. Saya sekarang sudah memaafkan. Anak-anak saya juga begitu. Kami semua sudah sepakat untuk hidup kumpul lagi, dengan segala resikonya, Pak Kades”. Ucap Kiyai Atun dengan tegas dan lancar sekali.
“Baiklah Kiyai”, jawab kepala desa kemudian. “Nah kalian sudah dengar langsung dan tegas jawaban dari Kyai Gapur, bahwa dia lebih baik memilih kembali istrinya ketimbang terus memegang perannya sebagai kiyai di sini. Dia menganggap Inaq Gapur kekasih sejati, belahan jiwanya, dan ibu anak-anaknya. Dia tidak menganggap perilaku nyelewengnya itu sebagai perbuatan yang tak termaafkan. Karena mereka saling tulus mencintai satu sama lain.”
“Dasar Kiyai pemulung sampah!” teriak Papak dari kejauhan.
“Cukuup!” Bentak kepala desa seketika. “kamu Prepok, tidak tau sopan santun.
Jaga mulutmu itu!” Kepala desa yang biasanya berpembawaan kalem kini terlihat naik pitam.
Semua orang terdiam, termasuk Kiyai Gapur, yang tadinya bermaksud membalas ucapan Prepok.
“Baiklah Kiyai, Anda sudah dengar permintaan warga, jamaahmu di sini, kalau anda memang harus pergi. Sekali lagi, sanggup Kiyai?”
“Sanggup, dan saya sudah siap kok. Saya memang sudah berencana untuk berpamitan ke seluruh warga untuk pergi. Saya tahu resiko dari keputusan saya ini, pak Kades.”
“Dan kami minta supaya Kyai Gapur tidak injak lagi tanah kampung ini.” Pinta Tansah dari samping berugak.
“Baik. Saya sudah bersumpah dalam hati Saudara! Allahuakbar! Allah yang akan memberi kehidupan yang lebih baik di Dayen Gunung setelah ini, Saudara.” Jawab Kiyai Gapur sedikit emosional. Dia tampak tegar, berusaha menahan air matanya tidak keluar.
“Cukup, cukup. Pertemuan ini kita akhiri. Sekarang, saya minta kalian semua jangan mengganggu Kiyai Gapur lagi. Biarkan dia dan keluarganya membereskan barang-barangnya. Jika kalian ada yang masih berani mengganggunya berarti musuhmu bukan Kiyai Gapur lagi, tapi saya! Paham?!” Kata pak Kades dengan tegas di depan semua warga.
*********
Peristiwa ini cukup menggegerkan. Hampir di seluruh pelosok desa, di setiap kampung, hal ini menjadi buh bibir. Semua orang malah ingin mengenal sosok Kiyai Gapur. Mereka ingin bertemu langsung. mereka sangat menyayangkan betapa aturan kampung tempat Kyai Gapur tinggal begitu kaku dan tidak manusiawi.
“Kiyai Gapur itu pahlawan. Dia memang kalah dan terusir dari kampungnya sendiri, tapi dia sejatinya pemenang. Dia akan dikenang selama-lamanya oleh semua warga kampungnya, bahkan seluruh desa ini.” Imbuh Amaq Istram pada anak bungsunya di pelataran rumahnya, sehari setelah kepergian Kiyai Gapur dan keluarganya.
Amaq Istram-lah yang memegang kunci rumah Kiyai Gapur yang sudah kosong itu. Dia bahkan dipasrahi untuk memelihara rumah itu hingga ada orang yang mau membelinya. Sambil menimang-nimang gantungan kunci rumah itu, lelaki paruh baya itu bergumam:
“Tuhan itu maha luas dengan kebijaksanaan, mengapa pertokoh-pertokoh kampung ini tidak memahami itu?”
Dan suara-suara jangkrik sajalah yang seketika itu terdengar mengkering, seakan sedang menjawab pertanyaan itu. Iya, jawaban yang tidak terjangkau oleh bahasa akal manusia. Dan malam pun membungkus suasana kampung itu menjadi sunyi senyap, menina-bobokan semua orang ke dalam mimpi-mimpi yang berupa-rupa ragamnya.
Mataram, 16 Januari 2021
CERPEN: SANG KIYAI KAMPUNG
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Januari 15, 2021
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar