HAJI, DI MATA MASYARAKAT SASAK

*HAJI, di Mata Masyarakat Sasak*

Oleh: Nuriadi Sayip

Haji adalah salah satu rukun Islam, yang menjadi penyempurna ke-Islam-an kaum Muslim apabila bisa ditunaikan. Dalam agama, ada frase "bagi yang mampu" yang disematkan terhadap rukun Islam yang kelima ini. Artinya, tidaklah dinilai "wajib" yang berdampak pada pemaksaan kepada semua muslim, namun ibadah haji dianjurkan ataupun diharuskan bagi mereka yang dipandang mampu secara ekonomis-materiil. Karena secara ajaran Islam, nilai dan pahala ibadah haji bisa digapai dengan pelaksanaan syariat ataupun amalan-amalan yang lain. 

Namun demikian, mengapa masyarakat Sasak memandang perlu pelaksanaan ibadah haji ini? Jawabannya, di antaranya, adalah karena orang Sasak memandang bahwa ibadah haji merupakan "puncak pencapaian" dari prosesi hidup mereka sebagai muslim. Yang namanya puncak, ibadah haji dipandang sebagai sebuah cita-cita besar yang senantiasa diidam-idamkan bagi mereka. Dampaknya kemudian adalah orang-orang Sasak senantiasa menancapkan niatnya sepanjang hidup di dalam melakukan berbagai ikhtiar kerja dan usaha hanya demi memperoleh kesempatan untuk beribadah haji. 

Ibadah haji menjadi penanda kesuksesan hidup. Ibadah haji, dalam hal ini, menentukan arah pribadi, mental dan sikap seseorang untuk beribadah secara mahdoh (syariati) dan secara ghoiru mahdoh (bermuamalah dan bersosial). 

Secara syariati, seseorang yang sudah menjalankan ibadah haji atau bergelar haji akan berusaha menjaga dirinya untuk terus istiqomah menjalankan rukun-rukun iman dan Islam secara lebih baik. Hablumminollah itu menjadi poros yang ia harus pancangkan sepanjang hidupnya. Pakaian yang berbau "kesalehan" senantiasa ia terus gunakan di setiap momen sebagai bukti akan ke-istiqomah-annya sebagai hamba Allah yang sudah ke Baitullah. Apapun kondisinya, peci haji harus terus dipakai sebagai pengingat dirinya untuk selalu menjaga diri serta juga sebagai penandanya kepada orang-orang kalau dia pernah berhaji sehingga layak diperlakukan "berbeda" daripada ketika dia sebelum naik haji. 

Dalam konteks ini, haji menjadi "pemarkah" bagj dirinya dan bagi orang-orang di dalam menjalankan hablum minannaas. Dengan dijadikannya sebagai pemarkah, seorang yang sudah haji harus bertindak, bertingkah, serta bertutur kata selalu dalam koridor normatif, yang sesuai dengan kepatutan dan kepantasan dari sudut pandang agama dan adat. Apabila melenceng, maka otomatis nilai hajinya akan luntur dan nilai "mabrur" itu pun sekaligus tercoreng bahkan tercampakkan. 

Singkatnya, ibadah haji bagi orang Sasak adalah momentum untuk mencapai penyempurnaan diri sekaligus sebagai muslim-muslimah, untuk hidup yang patut dan bernilai luhur. Di balik ini, haji juga menjadi tonggak kebanggaannya karena dianggap sebagai prestasi hidup. Dengan haji, orang Sasak akan layak diperlakukan lebih istimewa oleh orang-orang sekitarnya, yang sebelumnya dipanggil "amaq" berubah menjadi "bapak" (di Lombok Tengah) ataupun "mamiq" (di Lombok Barat) ataupun "mamiq tuan" (di Mataram, Lombok Timur ataupun di KLU). Ini semua pantas diperlakukan begitu, karena sejatinya ibadah haji itu berlaku hanya kepada orang-orang yang terpilih oleh Allah dan mereka adalah orang-orang yang beruntung. Maka, marilah kita tak bosan-bosannya untuk terus "merayu" Allah supaya kita bisa menjadi orang yang terpilih dan beruntung. Demikian semoga ada manfaatnya. SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH HAJI, SAUDARA-SAUDARA!🙏 

Labuapi, 18 Mei 2024
CATATAN SIANG.
HAJI, DI MATA MASYARAKAT SASAK HAJI, DI MATA MASYARAKAT SASAK Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 18, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.