Polemik
Puisi Sukmawati yang berjudul "Ibu Indonesia" ini mengingatkan saya
pada Polemik-polemik Sastra sebelumnya: Polemik Cerpen "Langit Makin Mendung"
karya Kipandjikusmin, Puisi "Malam Lebaran" karya Sitor Situmorang,
novel "The Satanic Verses" karya Salman Rushdie, novel "The Da Vinci
Code" karya Dan Brown, dan sebagainya.
Sungguh! Saya semakin meyakini bahwa sastra itu tak ubahnya sebagai "senjata" yang bisa menjadi "Si Cermin dan Si Lampu" (the Mirror and the Lamp") akan zamannya. Karena ia membawa kebenaran meski relatif dan kadang dengan cara yang subtil pula. Karena ia menyuguhkan kejujuran yang genuin. Karena ia menawarkan sisi yang lain dari sisi-sisi mainstream.
Hanya saja, kontroversi tak bisa dielakkan. Kontroversi itu, tak ubahnya, sebagai bumbu. Bumbu yang bisa jadi menasbihkan suatu karya mempunyai keunikan. Bumbu yang boleh jadi memantik refleksi intelektual yang panjang dan khitmad. Bumbu yang bisa menjadi "pedang" yang langsung menohok si penciptanya sendiri. Dan itulah dunia karya seni, tak akan lepas dari sisi puji-puji dan sumpah serapah.
Hanya saja, sebagai pencipta karya hendaklah bersikap arif dalam membaca momentum. Jika engkau mengharap pembaca/masyarakat bersikap arif dan holistis dalam menanggapi karya-karyamu, maka terlebih dahulu engkau harus berolah rasa dalam konteks kearifan. Karena sejatinya karya sastra itu memberi pelajaran di dalam karya (afeksi evokatif), tidak hanya sebatas ungkapan rasa (ekspresif), pun tidak hanya sekedar untuk menghibur (dulce). Maka itu, lantaran karyamu itu, engkau bisa menjadi tokoh masyarakat yang tentu pantas diidolakan.
Artistik vs Estetik
Dalam dunia seni, khususnya dunia seni sastra, ada dua istilah yang menjadi "pemisah" antara ranah pencipta/pengarang dengan ranah pembaca/audiens. Dua istilah itu adalah "artistik" dan "estetik". Kedua istilah sejatinya mengacu pada keindahan obyek. Akan tetapi, istilah yang pertama identik dengan keindahan yang dimiliki pengarang atau pencipta seni lengkap dengan kebebasan, hasrat, dan visi personalnya. Dalam konteks inilah dikenal istilan "lisensia poetika" (poetic lisence) yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Apapun bentuk dan isi yang diungkap pengarang adalah murni hasil oleh cipta, karsa, dan rasa si pengarang. Dan itulah esensi dari keindahan artistiknya.
Sementara itu, istilah yang kedua mengacu pada espek keindahan yang dirasai dan ditemui oleh pembaca/audiens ketika melakukan apresiasi, pemaknaan, konkretisasi, interpretasi, ataupun kritik mendalam terhadap sebuah karya sastra. Aspek keindahan (estetis) ini hadir diawali oleh konsep Roland Barthes yang mengungkap bahwa matinya sang pengarang tatkala karyamya sudah dipubikasi atau dilempar ke publik. Dalam konteks ini, adalah masyarakat luaslah yang hidup atau yang mempunyai hak penuh terhadap pemaknaan karya tersebut. Pengarang dianggap mati, karena sejatinya dia tidak berhak secara formal melakukan pledoi atau pembelaan atas karyanya. Kalaupun ia berusaha membela seperti yang pernah dilakukan oleh Sitor Situmorang saat puisinya "Malam Lebaran" terpublikasi, maka pledoinya itu justru tidak bisa berbuat banyak atas pemaknaan karyanya sendiri. Justru dia dicibir dan semakin membuka polemik dan perdebatan yang lebih luas. Dan itulah yang diungkap oleh Prof. Sapardi Djoko Damono tatkala ia berpolemik dengan sang pengarang.
Untuk ini, maka sebaiknya pengarang berdiam saja dan memposisikan diri sebagai "penonton" sembari menikmati ketenaran dan kebesaran yang diperolehnya atas karyanya. Masalahnya apa bisa begitu? Memang harus begitu, hingga waktu yang membuktikan seberapa bernilai pemikiran atau gagasan yang disampaikannya bagi jaman dan masyarakatnya. Pengarang haruslah sejak awal menyadari bahwa sastra itu fungsinya sebagai "bukti mental" (mental evidence), cermin dan lampu jamannya sebagaimana yang diungkap oleh M.H. Abrams, seperti diungkap di awal tulisan ini. Jika tidak kuat menghadapi kontroversi atas karyanya, maka sebaiknya pengarang merefleksi diri atas gagasan yang dinyatakannya lewat karya sastra. Pun, dia sedari awal sebaiknya berpikir ulang dalam konteks kearifan dan kebijaksanaan personal terkait dampak dan imbas dari terbitnya karya dimaksud. Penerbitan sebuah karya harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan akal sehat yang bening, bukan dalam konteks emosional dan spontan, terlebih ada kepentingan politis tertentu.
Sisi "Kontroversi" Puisi Sukmawati
Pada dasarnya, puisi "Ibu Indonesia" bisa dikatakan cukup bagus, terlebih ketika dibaca oleh Bu Sukmawati sendiri dengan suara yang begitu anggun dan menyentuh. Tampak sekali, bu Sukmawati mempunyai "bakat" dalam bidang seni (lepas dari sinyalemen kalau karyanya itu adalah hasil jiplakan dari puisi "Ibu Muslimah"). Wallohualam bissowab. Selain itu, puisi ini bisa diketogerikan sebagai "Puisi Bebas" (Free Verse) yang menjadi ciri khas dari puisi modern. Jadi tidaklah menjadi soal, apakah sebaiknya berima atau bertopografi model puisi-puisi angkatan sebelumnya.
Dari segi isi atau pesan, puisi ini juga mempunyai nalar narasi yang cukup jelas yaitu menyaran minimal pada dua hal sebagai pesannya, yakni: pertama, puisi ini ingin mengajak kaum perempuan Indonesia untuk melihat sisi-sisi kultural yang telah dimilikinya bahwa hal-hal itu cukuplah penting dan lebih bermakna untuk menjadi manusia bermartabat ketimbang mengadopsi anasir-anasir dari luar yang notabene boleh jadi milik bangsa lain. Kedua, puisi ini secara tersirat tapi kuat hendak menegaskan sisi nasionalisme yang sangat kuat yang dimiliki/diyakini pengarangnya yaitu Sukmawati sendiri. Nasionalisme itu menjadi sebuah keharusan bagi anak bangsa Indonesia terutama kaum perempuan untuk terus dipupuk dan dihidup-kembangkan sehingga rasa kebanggaan atas apa yang sudah domiliki dan diwariskan harus dilestarikan. Dengan demikian, anak bangsa ini tidak mudah terpengaruhi oleh hal-hal yang datang dari luar. Iya! Sampai di situ, puisi "Ibu Indonesia" tersebut cukup baguslah.
Yang menarik, yang menimbulkan kontroversi luas, adalah puisi ini menggunakan "kalimat perbandingan" dalam arti dan konteks yang sangat heuristik (linguistik), bukan "perbandingan" dalam konteks sastra. Dalam dunia sastra, ungkapan perbandingan itu sangat jamak ditemukan. Ia dikenal dengan istilah "majas" (figurative languages). Dalam hal ini kita mengenal istilah-istilah seperti simile, asosiasi, metafora, sinekdok, apostrop, personifikasi, imajeri, alegori dan sebagainya, yang kesemuanya itu. menyaran pada perbandingan dua hal, baik tersurat maupun tersirat, secara aosiatif dengan membandingkan sisi kualitas, karakteristik, maupun manfaatnya.
Akan tetapi, dalam puisi ini ekspresi perbandingan yang serupa ditemui umum di dalam dunia sastra tidaklah mencolok. Justru, yang ditemui kuat adalah bahasa perbandingan dengan menggunakan frase "lebih dari" seperti terlihat pada larik: "Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia/LEBIH cantik DARI cadar dirimu" (bait ke-1) dan larik: "Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok/LEBIH merdu DARI alunan azanmu" (bait ke-3). Penggunaan kalimat perbandingan yang terlihat pada dua larik di atas tidak tepat karena dua hal yang dibandingkan tidaklah seimbang. Hal ini disebabkan diksi "sari konde" dan "suara kidung" itu hanyalah bermuatan budaya saja, sementara diksi "cadar" dan "alunan azan" mengandung esensi shariat dan/atau keyakinan agama Islam, meskipun juga sedikit menyiratkan anasir budaya Timur Tengah.
Atas dasar inilah maka puisi ini menjadi persoalan masif. Persoalan yang sungguh menyinggung "darah daging", ideologi dan jalan hidup serta martabat publik terutama kaum muslimin. Karena ini tidaklah sebanding dan tidak pula pula asosiatif dalam segi makna, nilai, dan fungsi. Justru dengan membandingkan kedua hal yang tak sebanding tersebut dapat berimplikasi pada degradasi makna dan fungsi yang dimiliki dalam diksi "cadar" dan "azan" itu.
Terlebih lagi, kalimat perbandingan (lebih dari) itu ditambah pula dengan larik-larik berikutnya yang mempertegas "kelebihan" yang dimiliki oleh diksi-diksi "sari konde" dan "suara kidung", seperti: "Gerai tekukan rambutmu suci/Sesuci kain pembungkus ujudmu" (bait ke-1) dan "Gemulai gerak tarinya adalah ibadah/Semurni irama puja kepada Ilahi" (baik ke-3). Sekali lagi, larik-larik puisi ini berfungsi sebagai penegasan dari maksud atau pesan yang dikandung dalam dua diksi "konde" dan "kidung" tersebut. Hal ini semakin memperkuat kuat maksud bahwa konde dan kidung itu sama suci dan murninya dengan "cadar" dan "azan".
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan betapa umat Muslim seantero negeri marah dan tidak terima. Buktinya, umat Muslim melaporkannya ke polisi dan melakukan demonstrasi massal. Yang mereka lihat, lepas dari karya itu sebagai karya seni, adalah ungkapan dalam puisi ini merupakan sebuah penghinaan dan penistaan terhadap ajaran agama Islam. Demikianlah cerapan estetik mereka sebagai audiens puisi tersebut, yang mungkin tidak disadari Sukmawati ketika menciptanya secara artistik. Maka itu bagi mereka, tidaklah cukup hanya sekadar minta maaf ke publik ataupun menemui dan meminta maaf kepada representasi tokoh agama di Indonesia. Bagi mereka, jalan satu-satunya yang bisa menyembuhkan adalah "penjara" seperti yang dialami oleh Ahok pada masa sebelumnya. Jika demikian adanya, maka polemik puisi Sukmawati ini akan jauh lebih dahsyat daripada hal serupa yang terjadi pada polemik karya-karya sastra sebelumnya seperti yang dialami oleh Kipandjikusmin, Sitor Situmorang, Salman Rushdie, ataupun Dan Brown. Kasus mereka ini hilang seiring berjalannya roda masa dan tren kehidupan masyarakat. Dan semakin dipolemikkan, karya mereka semakin dicari hingga mereka benar-benar diakui sebagai sastrawan kenamaan.
Mataram, 6 April 2018
Penulis: Dr. H. Nuriadi S.
SASTRA DAN POLEMIK PUISI SUKMAWATI
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
April 06, 2018
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar