Cerita di pos penjagaan telah berakhir ketika bom terakhir tidak jadi meledak, karena kabel timer-nya telah dipotong. Dan tentara-tentara itu telah mencari barisan masing-masing, sebab mobil truk baja sudah sejak tadi menunggu. Iya, jembatan panjang itu telah aman untuk dilewati. Tak usah risau lagi. Tidak ada bom lagi. Pun, para sniper musuh masih tidur mendengkur di Kam-nya yang nyaman setelah bertugas sepanjang malam tadi. Maka, truk kini sudah siap menderu dengan suara mesin gemeretak. Melintasi jembatan berisi para tentara yang masih siaga memegang senjata.
Mobil truk itu terus berjalan, meski tertatih, moncongnya terus melesap ke depan, dengan suara mesin laksana suara anak menangis melengking sesekali. Terutama ketika ia harus melintasi jalanan bebatuan yang begitu curam. Di dalamnya, para tentara masih terlihat sigap, tanpa menolah, tanpa suara saling menyapa. Di tangan-tangan mereka senjata laras panjang tergenggam dengan pucuknya menghujam ke atas. Benar, tak ada suara ceria secarik pun di antara mereka. Mata mereka tampak tajam. Serius. Mereka tahu, mereka kini sednag masuk di kawasan yang sangat rawan, di mana musuh-musuh siap menyergap kapan saja. Dari balik pepohonan. Dari balik bongkahan-bongkahan batu. Dari atas bukit yang tampak mulai kwring karena telah masuk musim kemarau. Bagi mereka, tidak ada pikiran atau hati untuk mundur dari suasana ini. Ini tugas! Ini takdir! Karena mereka adalah tentara, yang pekerjaan utamanya adalah memberi keamanan dan kenyamanan rakyatnya.
Bila dihitung, jumlah tentara yang duduk berjejeran berhadap-hadapan itu berjumlah sekitar 24 orang. Semuanya berbaju loreng-loreng, dengan wajah yang belepotan dengan warna hitam. Sehingga agak sulit dikenal satu persatu. Terlebih helm tentaranya yang sangat, menutup kepala masing-masing. Iya, helm tentara memang beda. Semua sudah diperhitungkan, demi keselamatan para serdadu, pada saat di medan laga ini.
Namun, di antara mereka bisa ditandai dua sosok tentara. Yang satunya wajahnya seperti artis nasional Syahrul Gunawan, dialah Irunjalom. Sementara yang satunya, tubuhnya lebih kurusan daripada Irunjalom, namun menyiratkan wajah yang teduh berkharisma, dialah Amrulkraeng. Mereka duduk berhadap-hadapan. Mereka sesekali saling melirik. Tanpa kata. Tanpa kerlingan. Mereka tampak sigap, serius, sama halnya dengan teman-teman serdadu yang lain. Entah apa yang ada di hati dan pikiran mereka.masing-masing. Mungkinkah mereka berpikir tentang ornag tuanya yang berada nun jauh di Gumi Sasak dan Sumbawa? Adakah mereka berpikir tentang pacar-pacar mereka yang , baik Irunjalom maupun Amrulkraeng, dititipi sapu tangan becorak bunga-bunga sebagai penanda perwakilan cinta kasih? Entahlah.
Mereka membiarkan tubuhnya digerak-gerakkan oleh lunjakan truk yang terus berjalan. Menuju markasnya, di desa di ujung hutan di balik bebukitan. Iya, perjalanan yang panjamg, sekitar 10 kilometer dengan jalanan sempit bebatuan. Mereka mendapat giliran untuk off berjaga, setelah satu grup pasukan yang dipasok kemarin. Meski begitu, mereka harus tetap siaga untuk mencapai markas utamanya. Itulah hidup! Tak akan ada kenyamanan dan keamanan seterusnya. Akan selalu ada rintang dan halangan di setiap jengkal perjalanan.
"Turun! Turuuun! Ada musuh! Musuuuhh....Tuurrruun....!" Suara komandan regu berteriak sedemikian kencangnya.
Mulanya dia duduk di samping sopir. Dia kini sudah di samping kiri mobil truk yang memang tiba-tiba berhenti. Komandan itu dengan suara menggelegar tetap saja berteriak, memerintahkan anggota atau anak-anak buahnya yang duduk berjejer di truk, termasuk Orinjalom dan Amrulkraeng.
Komandan itu bernama Sertu Zulanda Ranjana. Lebih tua tiga atau empat tajun dari Irunjalom atau Amrulkraeng. Suaranya tak henti meminta dna memastikan anak-anak buahnya berada pada posisi aman.
Dialah pemimpin. Pemimpin yang selalu memperhatikan leselamatan anggotanya. Tak sedikit di antara anak-anak buahnya lebih menganggap Sertu Zulanda sebagai saudaranya, kakaknya, daripada hanya sekedar komandan regu pasukan. Sedemikian lekatnya hati para anggotanya kepada pribadi Zulanda.
"Door! Dooorrr.....Dooorr...!"
Suara tembakan menyentak membahana mengarah ke truk dan semua pasukan. Terus dan terus-menerus suara tbakam itu. Serasa datangnya dari segala arah. Menggema, memecah keheningan.
Irunjalom tampak kebingungan. Karena dia membelas nembak, namun sosok-sosok musuh tak tampak satu pun. Hanya suara tembakan yang terdengar dan bunyi-bunyi butiran peluru menghujam menyentuh truk baja itu. Dia tetap tiarap sepuluh meter dari truk tersebut, dan ada pula teman-temannya yang sembunyi di balik rerimbunan pohon.
"Jangan menjauh! Irun, Amrul, kalian semua, jangan pisah!" Lengking Sertu Zulanda memastikan keselamatan anggotanya.
Sertu Zulanda terus memastikan anggotanya untuk terus bersiaga, di tengah dentingan bunyi peluru yang melintas. Irunjalom, sebagai orang yang ditugasi untuk memegang radio komunikasi, tiba-tiba berinisiatif untuk menyalakan radio komunikasi sesaat dia menemukan tempat yang cukup aman untuk bersembunyi.
"Iruuunn...!" Panggil Sertu Zulanda.
"Siap Komandan!" Jawabnya sesaat kemudian.
"Kamu hubungi markas. Minta bantuan. Minta bantuuaan! Kontek markas!" Suara Sertu Zulanda terus memekik di tengah serbuan tembakan yang makin lama makin deras.
"Markas, markas, Grup Elang di sini, grup Elang di sini, Ganti!" Terdengar suara jawaban langsung yang samar-samar karena suara angin radio yang lebih besar dari suara orang yang menjawabnya.
"Markas, markas, monitor, Markas! Grup Elang dalam bahaya. Segera kirim bantuan. Segera kirim bantuan. Ganti!" Irunjalom terus saja mengontak markas.
Tanpa dinyana sebuah peluru menyasar ke kepalanya. Irunjalom terlonjak. Bergelimpang di tanah. Tubuhnya tak bergerak.
Sementara suara radio terus memanggil-manggil. Tak ayal, temannya Amrulkraeng melihat ini. Sehingga dia langsung berlari mendekati tubuh Irunjalom.
"Irun kenaaa. Irun kenaaa! Pekiknya. Hal ini membuat semua anggota, terutama sang komandan Sertu Zulanda, lari mendekat. Sekitar sepuluh menit berlangsung.
Suasana sendu terlihat. Wajah Sertu Zulanda tampak berubah murung. Mereka seakan lupa, bahwa mereka semua dalam keadaan bahaya. Butir-butir peluru tak bermata. Tak bisa memilih kepada siapa yang dituju. Butir-butir peluru lurus tajam secepat kilat menghujam siapa saja.
Iya, para serdadu itu tak perduli. Mereka terus terlihat lungkrah, menatap tubuh itu. Tiba-tiba tubuh Irunjalom bergerak-gerak. Dan iya! Dia ternyata masih hidup. Masih bernafas. Sontak, semua rekannya kegirangan. Terutama Sertu Zulanda dan Amrulkraeng. Wajah mereka berubah, berbinar. Ternyata, Irunjalom pingsan. Butir peluru sangat keras, dan benar-benar mengenai batok kepalanya. Tapi untunglah, helm tentaranya menyelamatkannya. Sehingga peluru itu tak mengenai kepalanya langsung. Hanya dorongan peluru yang begitu deras yang membuat tubuhnya terjerembab dan langsung pingsan.
"Markas, kami dalam bahaya. Kirim helikopter. Bersihkan segera jalan kami. Musuh banyak sekali. Ganti!" Suara Sertu Zulanda memanggil-manggil di mikrofon radio yang ada di dekat tubuh Irunjalom yang masih terkulai.
"Dalam 10 menit, tunggu!'
Jawaban dari markas, masih dibarengi suara angin gemeresek. Sesaat jawaban itu diterima, sesaat itu pula suara ledakan terdengar. Ledakan dahsyat. Iya. Bom molotov berdebum di truk baja, milik mereka. Tak pelak, truk baja itu terbakar.
Dan benar, puluhan serdadu musuh sudah mulai terlihat. Dari arah mana-mana. Mereka terus menembak. Seakan peluru tak.akan ada habis-habisnya. Sertu Zulanda memerintah, lawan mereka.
"Tembak!".
Maka pertempuran jarak dekat benar-benar terjadi.
"Hidup atau mati! Serbuuu!"
Tembakan demi tembakan sudah tak terhitung lagi. Saling balas membalas. Para serdadu yang mulanya berkumpul di satu lokasi, kini berpencar. Mereka terpaksa berpencar. Karena bom-bom disertai tembakan semakin deras. Seakan hidup dan matinya adalah usahanya sendiri. Irunjalom melihat, satu per satu rekan-rekannya terkulai lemas, kena tembakan. Iya, satu persatu. Musuh begitu banyak. Medan perang yang sungguh kejam. Nyawa manusia sudah tidak ada nilainya. Karena yang lebih bernilai kini adalah kemenangan. Kemenangan adalah harga mati. Kemenangan adalah tanda kehidupan.
BERSAMBUNG...
Mataram, 20 Juli 2020
CERBUNG: PERTEMPURAN SERTA-MERTA (Bagian 1)
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Juli 24, 2020
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar