CERBUNG: PERTEMPURAN SERTA-MERTA (Bagian 4 -- Habis)

Dua minggu telah berlalu, sejak peristiwa pengepungan itu terjadi. Berita tentang peristiwa menjadi headline di hampir seluruh media di dunia. Yang awalnya berita itu dikirim oleh Fuad Kuncoro, yang selama ini dia sering sekali menjadi kontributor media-media mainstream nasional bahkan internasional. Fuad Kuncoro memang tidak hanya sebagai dokter tentara tetapi juga sering sebagai pemberi berita untuk peristiwa penting di medan perang. Dan peristiwa itu tidak luput dari ketajaman pena-nya. Hal ini membuat pertempuran itu viral ke mana-mana. 

Tentu, pertempuran ini membuat pihak musuh menjadi tiarap. Hilang sirna tanpa manuver secuil pun. Di sisi lain penyerbuan ke wilayah-wilayah yang dianggap Kam dan kantong konsentrasi pasukan musuh dibumi-hanguskan. Meski itu adanya di goa-goa persembunyian. Meski itu adanya di tengah hutan belantara. Tidak sedikit yang menyerah dan tertangkap, terutama para petingginya. Itulah dampak betapa peristiwa itu sebenarnya sedang membangunkan singa dari tidurnya. Lupa akan reaksi besar dari aksi.

Sementara itu, Sertu Zulanda, Irunjalom, Amrulkraeng, dan sejumlah tentara lainnya yang masih hidup meski terluka sedang dirawat secara intensif di rumah sakit tentara, di markas utama mereka. Iya, Sertu Zulanda masih hidup, meski ia harus beberapa kali dioperasi. Terutama operasi lutut, punggung, dan lengannya yang hampir putus. Dan kini ia pelan tapi pasti membaik. Sementara itu, Irunjalom dioperasi pencabutan peluru di bagian dada atas dan pahanya. Amrulkraeng pun demikian. 

Mereka bertiga dirawat di ruang tenda yang berbeda. Secara intensif. Masuk minggu ketiga, tanda-tanda sehat terlihat sudah. Semua ini berkat kerja keras kepala dokter tentara, Fuad Kuncoro, yang sekaligus kontributor berita itu.

Siang itu, Irunjalom mencoba bangun dari ranjang perawatannya. Ia memanggil perawat. "Perawat, perawat, ke sini!" Tanpa bersuara, perawat itu mendekat. 

"Tolong cari baju tentara saya, ambilkan secarik kertas di kantongnya." 
"Siap Pak" Perawat itu menjawab singkat. 

Dan tak lama kemudian, perawat itu muncul, dengan baju loreng yang sudah lusuh itu. "Ini kertas itu Pak" kata perawat itu sambil menyodorkannya ke Irunjalom. "Terima kasih", jawabnya singkat. 

Dengan lengan kanan dan dada yang masih diperban, Irunjalom membuka kertas itu, yang ternyata surat Sertu Zulanda kepada istrinya. Dia penasaran dengan isi suratnya. Dia juga sebenarnya kangen bertemu dengan sahabatnya itu. 

Lalu dia membaca deretan  tulisan yang lamur di kertas itu. 

"Adekku, Tulang Rusukku nun jauh di sana. Hidup dan mati itu takdir. Janganlah kamu khawatir dengan hal itu. Kakakmu ini sekarang berjalan di antara dua takdir itu. Hari demi hari. Malam demi malam. Aku melangkah dengan penuh kesadaran atas kedua itu. Namun kakakmu merasa tidak gentar karena adek dan anak-anak selalu di jiwaku. Kalian adalah perwakilan Tuhan di duniaku, di kehidupanku. Karenanya, suara meriam dan bom seakan menjadi suara musik karaoke di telinga dan jiwaku. Jika aku mati di medan perang ini maka aku yakin cinta kalianlah yang akan menjadi suluhku menuju Rabb Ilahi. Karena kakak tahu cinta dan setiamulah yang menjadi bukti akan hal itu. Dan jika aku hidup dan kembali setelah tugas ini, maka Tuhan masih memberi kesempatan kepadaku untuk melihat dan menikmati Kasih RidhaNya melalui kamu dan anak-anak. Maka kakak siap akan segala akibatnya. Kamulah yang telah membentuk aku benar-benar sebagai kesatria pemberani mempimpin anak-anak buahku di medan perang ini. Yakinlah, lagu kesukaan kita selalu kakak nyanyikan, "Home" Michael Buble. Bahkan hari-hari ini. Adek, aku sangat rindu padamu, duhai Tulang Rusukku. Tunggulah aku di rumah. 
Salam cinta sepenuh jiwaku. 
Dari Kakak/Suamimu, 
Zulanda Ranjana." 

Mata Irunjalom sembab. Berkaca-kaca. Ia menerawang ke depan. Hatinya mengharu-biru. Tampaknya dia merasa iri pada  kemurnian cinta Zulanda kepada istrinya. Atau mungkin dia merasa belum ada apa-apanya secara pribadi dibanding Sertu Zulanda. Entahlah. Irunjalom masih tertegun.

Sepi. Tangannya masih memegang kertas surat itu.

Lalu, mata Irunjalom berkerjap. Dia menoleh ke arah pintu. Dia memanggil perawat lagi. "Perawat, perawat! Bantu saya temui Pak Zulanda!" Perawat datang setengah berlari, dan langsung mengatakan "Siap, Pak". Perawat itu meminta teman sejawatnya yang lain untuk membawa Irunjalom menuju tenda perawatan Sertu Zulanda. Dia duduk di kursi roda dan didorong oleh perawat itu. 

Tak beberapa saat lamanya, dia sudah masuk ke dalam tenda tempat Sertu Zulanda, dan Amrulkraeng dirawat. Ternyata mereka ditempatkan di satu tenda. Hanya disekat oleh dinding saja, sebagai pembeda kamar. 

Irunjalom terkaget, ternyata Sertu Zulanda dan Amrulkraeng sedang bercakap-cakap berdua, meski keduanya diinfus, diplester, ditambal tubuhnya sana-sani oleh perban atau entah apalah istilah medisnya. Yang terbanyak jelas Sertu Zulanda. Terutama di bagian-bagian tubuhnya yang dioperasi. Dalam hati, Irunjalom kagum dengan komandannya yang mempunyai daya juang hidup tinggi. 

Seperti biasanya, mereka bertemu dengan suasana akrab. Layaknya tidak berada lagi di ketentaraan. Mereka bercengkrama dengan penuh kerinduan sebagai sahabat lama. Sesekali tertawa terkekeh, riang gembira, walau sesekali pula terlihat sendu sedih di saat tahu rekan-rekannya meninggal tertembak di tempat penyergapan itu. 

"Zulanda, saya mau kembalikan titipanmu" Irunjalom berkata dengan nada serius.

"Titipan apa itu, aku lupa, Irun" Zulanda menimpali.

"Wah kalian ini punya cerita di balik cerita kita? Amrulkraeng berkata spontan, seakan tidak terima dia tidak dilibatkan. Tapi dijawab dengan senyum saja oleh kedua sahabatnya itu.

"Surat titipanmu. Ini, ini titipanmu saat kita masih terkapar di tempat perang itu." Irunjalom terlihat tidak mau berlama-lama membuat sahabatnya berpikir.
"Oh itu. Iya ya....aku endak jadi mati, hehe" Sertu Zulanda menerima secarik kertas itu. 
"Keren ya kata-katanya. Ternyata dirimu romantis juga", kata Irunjalom sambil tersenyum.
"Aaah....kamu, jadi malu aku." Jawab Sertu Zulanda dengan muka sedikit memerah, memang.
"Wah waah...boleh dong aku baca" Ucap Amrulkraeng, menyela.
"Jangan ah. Malu aku...hehe" Timpal Zulanda.

Obrolan mereka terus mengalir bagai air. Dibumbui riang gembira serta rasa sedih mengahru biru. Ibarat minum kopi, ada pahit ada manis. Campur aduk. Namun di situlah nikmatnya. 

Ketiga hati mereka bertaut, terikat dalam rasa persaudaraan senasib sepenanggungan. Mereka lupa waktu. Mereka juga lupa sinar matahari yang kini sudah mulai meredup, karena sang matahari telah bersiap-siap masuk ke dalam peraduannya. Mereka lupa karena mereka menikmati. 

Ternyata, kegembiraan yang mereka rasa disebab oleh isi hati mereka yang bening membersamai pertemuan dan perkumpulan sehingga mereka menemukan arti akan hal tersebut. Pertemuan adalah wisata. Pertemuan adalah pelesir. Pelesir untuk jiwa dan bathin yang jujur saling membutuhkan, tanpa pamrih, serta mengakui keberadaan orang lain, yang setara yang tidak saling menegasikan. Sehingga medan perang hanyalah wahana untuk memahami arti dan nilai sebuah persahabatan.

SEKIAN.

Mataram, 26 Juli 2020

CERBUNG: PERTEMPURAN SERTA-MERTA (Bagian 4 -- Habis) CERBUNG: PERTEMPURAN SERTA-MERTA (Bagian 4 -- Habis) Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Juli 26, 2020 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.