*ELATE*: Nyanyian Riang Anak Sasak yang Pudar

*ELATE*
(Nyanyian Riang Anak Sasak yang Pudar)

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Seperti sudah disinggung pada tulisan sebelumnya bahwa suku Sasak itu sangat kaya akan sastra-sastra lisannya. Sastra lisan bisa dikategorikan sebagai folklor, yaitu jenis kreasi dan tradisi yang berkembang secara lisan, konvensional, dan mewujud dalam ucapan bahasa khas komunitas Sasak tertentu. Salah satu folklor Sasak yang berbentuk lisan itu adalah Elate. Elate kini tampaknya sudah memudar, dalam arti kata, sangat sulit ditemui  dan dihafal oleh anak-anak muda Sasak dewasa ini.

Elate adalah kreasi syair-syair berbahasa Sasak yang disampaikan dengan cara dilagukan oleh anak-anak ketika sedang bermain atau berkumpul di siang hari atau sore bahkan malam hari. Syair yang dilagukan sebagai wujud keriangan atau kegembiraan di antara mereka. Besar kemungkinan, kata "elate" berasal dari kata "elaq" atau "ilat" yang berarti lidah. Dengan demikian, elate identik dengan suara nyanyian yang diciptakan oleh lidah (lisan) yang mengikuti model melodi dan ritme tertentu. Selain itu, elate, secara linguistik, berbentuk kata benda (nomina) yang ketika merujuk pada aktifitas/pekerjaan anak-anak yang sedang menyanyikannya disebut dengan istilah "be-elate" yang diucap menjadi "be-late", yakni kegiatan sedang menyanyikan syair-syair elate. 

Perlu dicatat bahwa di Sasak, ada juga istilah "belate" yang bermakna "makhluk gaib pengganggu yang jahat, jelek rupa, dan menakutkan yang menghuni tempat-tempat tertentu. Bukan! Bukan itu yang dimaksud. Secara pengucapan, kedua istilah ini diucapkan sama persis. Tetapi, secara konteks, dua istilah tersebut berbeda makna atau merujuk pada hal yang berbeda-beda. 

Dulu, elate atau belate sangat populer di masyarakat Sasak. Syair elate diajarkan secara lisan dan turun-temurun dari orang tua ke anak-anaknya. Dan dalam komunitas Sasak, anak-anak mempunyai jenis elate yang berbeda-beda. Elate ini menjadi media pembentuk keriangan di antara anak-anak. Tatkala belum ada gadget android atau media teknologi yang canggih seperti sekarang ini, anak-anak menghibur diri mereka dengan cara belate. Dengan pakaian seadanya, dengan rupa yang bersahaja, dengan wajah polah yang lugu, mereka semua berbaur menjadi satu menghabiskan waktunya dengan bernyanyi riang dalam bahasa Sasak khas mereka. Sesekali mereka kejar-kejaran, sesekali mereka main petak umpet (main kaleng), sesekali mereka main tebak-tebakan (pinje panje), sesekali mereka main sepok, main kali kadang (selodor), main dengkul, dan akhirnya diujung rangkaian permainan itu mereka be-late. Mereka be-late sebagai relaksasi ketika mereka sudah merasa capek dengan berbagai macam permainan fisik yang dilakukannya. Itulah kehidupan anak-anak Sasak masa dulu. Bahkan, ketika mereka mencari ikan kecil di sungai mereka belate.

Mereka main-main pasar-pasaran mereka belate. Mereka main di persawahan, mereka belate. Di antara tiupan angin sejuk di bawah pohon, mereka berkumpul dengan cara menghibur diri mereka dengan elate. Tanpa berpikir akan menjadi apa kelak, anak-anak Sasak terus menghabiskan waktu berkumpulnya dengan cara belate. 

Di antara syair-syair elate yang mereka nyanyikan bersama adalah:

"Co pring ket ket kebue nyontloq
Ajiq pire telok bebekm jiq due sopoq"

"Kolo kolo tali kopang
Kebue bangket daye demplok"

"Dok dok dook keletok kelatek kelampan naen jaran
Dok dok dook keletok kelatek side saek aran"

"Bulan lanteq teregong awang-awang
Suke raden pateq tanggep egong bawaq alang"

Syair-sayir elate itu terus-menerus mereka nyanyikan tanpa rasa bosan. Sesekali mereka pun mendukung lagu elate mereka dengan pukulan bunyi-bunyian dari barang-barang seperti kaleng, kayu, atau besi buangan yang ada di sekitaran mereka. 

Nyanyian elate ini pada dasarnya merupakan sastra lisan, sama halnya tandak atau betandak, atau lelakaq ataupun lagu cilokaq. Secara umum, bentuknya terdiri dari dua baris yang mana baris pertama berfungsi sebagai sampiran (ilustrasi metaforis) sedengkan baris kedua berfungsi sebagai isi (pesan). Menariknya, makna tidak harus bermakna dalam atau filosofis. Tidak! Maknanya hanya sekadar tentang pembacaan situasi alam atau hal yang ringan saja. Tidak ada maksud untuk memberi pesan edukasi yang dalam yang butuh tafsir hermeneutis. Hanya sekadar pengisi dan penyesuai ritme lagu elate, yang muncul secara spontan. Yang ditekankan adalah suara merdu saat menyanyikannya. Mukanya yang memulai penciptaannya adalah dari orang-orang tua atau kakak-kakak mereka. Lalu, apabila terdengar indah, maka akan diikuti oleh adik-adiknya dan anak-anak yang lain. Yang akibatnya, elate itu terus dinyanyikan dan berkembang dalam bahasa Sasak secara lisan (from mouth to mouth) ke anak-anak tetangga dan seluruh kampung. Demikian model pengekspresian dan pendistribusiannya. 

Elate menjadi sangat menarik untuk dihidupkan. Jika memungkinkan, elate menjadi materi dalam pembelajaran kelokalan atau muatan lokal, yang diajarkan di tingkat sekolah dasar atau pra-sekolah dasar (tingkat PAUD). Hemat saya, ini penting dikarenakan empat faktor urgensi kemanfaatannya, yaitu: *Pertama*, elate atau belate itu bisa mengajarkan bahasa Sasak secara alamiah. Sedikit tidak, melalui elate, anak-anak Sasak mulai memahami diksi atau leksikon bahasa Sasak dalam setiap elate yang mereka nyanyikan. *Kedua*, melalui elate, mereka (anak-anak Sasak) mulai memahami gambaran kedaerahan mereka tempat mereka tumbuh berkembang sebagai anak bangsa, yang kelak elate itu bisa menjadi identitas kedirian mereka yang menyublim dalam memori mereka ketika sudah dewasa dan tinggal jauh dari kampung halaman mereka. *Ketiga*, melalui elate, sedikit tidak, mereka sudah mulai mengasah kemampuan jiwa seni mereka. Mereka sudah mulai mengenal aspek keindahan dengan kekuatan rasa dalam diri mereka. Akibatnya, kelak ketika mereka sudah mulai besar, itu bisa menjadi modal diri untuk menjadi seniman atau minimal penikmat seni dengan kekuatan rasa. *Keempat*, melalui elate atau be-late, mereka sudah mulai membentuk keberanian atau kepercayaan diri mereka secara alamiah untuk tampil di publik, yang didengar oleh orang lain. Hal ini perlu mengingat tidak sedikit anak-anak Sasak mengalami rasa minder jika diminta tampil di depan karena malu dan tidak percaya diri. 

Lalu, jika kita melihat empat faktor urgensi kemanfaatannya di atas, kenapa folklor Sasak ini dibiarkan pudar? Faktanya kini anak-anak Sasak lebih paham lagu-lagu Barat atau lagu-lagu Indonesia dari penyanyi populer yang bebahasa Inggris dan Indonesia daripada elate-elate yang pastinya berbahasa Sasak. Lalu mengapa pula folklor ini tidak dilihat oleh pemangku kebijakan pendidikan sebagai bahan pembelajaran khas (mulok)? Faktanya kini materi pembelajaran cenderung superfisial ataupun menafikan soal kearifan lokal yang nota bene menjadi identitas mereka. Lebih lanjutnya, silakan kita jawab bersama-sama. SEKIAN

Mataram, 4 Juni 2022
Sumber: nuriadisayip.blogspot.com
*ELATE*: Nyanyian Riang Anak Sasak yang Pudar *ELATE*: Nyanyian Riang Anak Sasak yang Pudar Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Juni 04, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.