*MERARIQ KODEQ*, Fenomena Tempo Doeloe yang Masih Mentradisi Kini?

*MERARIQ KODEQ*
Fenomena Tempo Doeloe yang Masih Mentradisi Kini?

Oleh: H. Nuriadi Sayip 

nyesel ku merariq kodeq

ketari kebelang mate
ndaraq untung sebulan
terus ku te seang

malem ku merariq
tesodoq eleq balen dengan
kereng saq kaduq ku
te jual kaduq beli beras
.........

Untaian kata-kata di atas adalah kutipan dari lirik lagu cilokaq lawas yang sangat fenomenal yang berjudul "Merariq Kodeq", yang dipopulerkan oleh grup Al-Mahsyar. Lagu ini sangat populer di pertengahan hingga akhir tahun 80-an, kalau tidak salah. Hampir setiap hari, radio-radio, terutama radio RRI NTB sebagai satu-satunya jalur informasi massal kala itu, memutar lagu cilokaq tersebut. Terlepas dari pesan implisit sponsor yang hendak disampaikan, lagu ini memang sangat diminati dan menjadi salah satu dendengan hiburan yang sangat enak didengar. 

Jika mengikuti syair lirik lagu tersebut, sangat jelas sekali pesan yang hendak disampaikan secara implisit yakni pernikahan dini (merariq kodeq) sejatinya tidaklah membahagiakan. Bahkan diksi pertamanya adalah "menyesal" (nyeselku). Dengan kata lain, lagu "Merariq Kodeq" itu tengah menarasikan bahwa pernikahan dini, yang didasari oleh emosi sesaat, merupakan sebuah penderitaan. Terlebih pernikahan dini itu dilakukan oleh remaja atau pemuda yang miskin, yang tidak mempunyai pekerjaan, yang menikah hanya didasari nafsu belaka. Ujung-ujungnya pihak yang menjadi korban atas peristiwa itu adalah kaum perempuan. Lagu "Merariq Kodeq" ini merupakan rintihan dari sang pengantin perempuan tatkala berani melakoni pernikahan dini dengan sang kekasih (suaminya) yang ternyata dia hanya menemui kenestapaan jauh dari harapan kebahagiaan seperti yang dibayangkannya sebelumnya.

Berbicara soal ini, fenomena "Merariq Kodeq" yang umumnya bisa dipadu-padankan dalam istilah bahasa indonesia sebagai "Pernikahan Dini", memang masih menjadi tradisi atau kebiasaan di masyarakat Sasak. Artinya tidak hanya hadir di masa lalu atau tempo doeloe, tetapi tradisi atau kebiasaan ini masih terus berlangsung dewasa ini khususnya di wilayah rural atau pedesaan meskipun tidaklah semassif masa lampau itu. Apa sebab? Lagi-lagi jawabannya adalah sudah tradisi! Sebuah kebiasaan atau tradisi di masyarakat memang sulit dihapus hingga musnah total. Hal ini karena pemilik tradisi yakni kelompok individu itu masih tetap memandang bahwa pernikahan dini merupakan hal yang wajar, tidak menyalahi aturan terutama aturan agama. Bahkan sampai sekarang ada orang tua yang masih berpandangan bahwa lebih baik menikah secepatnya daripada melakukan hal yang tidak-tidak, yang melanggar susila dan ajaran agama.  

Merariq Kodeq atau Pernikahan Dini bukanlah diartikan menikah di bawah umur atau menikah di bawah usia akil balik. Tidak. Orang sasak tidak akan pernah mengijinkan pernikahan di bawah umur atau sebelum akil balik. Mereka sangat tau dan paham bahwa pernikahan itu melanggar keyakinan agama mereka atau tidak ada aturan yang membolehkan hal itu di dalam ajaran agama Islam sebagai agama utama orang Sasak. Yang dipahami oleh orang Sasak tentang hal ini adalah pernikahan di usia remaja setelah akil balik tetapi usia itu masih usia yang sangat produktif menjalani sekolah tingkat pertama dan menengah. Jadi dikisarkan antara usia 13 sampai 17 tahun. Fakta ini dipastikan bahwa kedua mempelai belumlah dianggap mempunyai pekerjaan yang tetap dan mapan secara ekonomi. Mereka bahkan masih dianggap labil secara mental bahkan secara pemikiran dan pengetahuan. Karena mereka masih mencari bentuk, masih lebih cenderung mengikuti emosi dan jiwa kepemudaannya ketimbang berpikir panjang. Atas dasar itu, gerakan pemerintah melalui kantor BKKBN sangat massif dan simultan mengubah pandangan dan budaya ini di masyarakat Sasak hingga saat ini. Karena, bagi pemerintah berdasarkan hasil kajian, pernikahan dini cenderung lebih banyak mendatangkan mudaratnya daripada kemaslahatannya dan itu korbannya lebih banyak diterima oleh kaum perempuan dan anak-anaknya, persis seperti digambarkan dalam syair lagu cilokaq di atas tadi.

Dahulu, istilah "merariq kodeq" atau "merariq keceq" ini tidak dikenal di tengah masyarakat Sasak. Bahkan gambaran tentang dampak negatif atas peristiwa ini pun tidak ditahu dan tidak dibayangkan oleh masyarakat Sasak, khususnya di perkampungan atau pedesaan. Ini karena fenomena semacam itu cukup lazim, biasa, jamak, dan umum ditemukan di berbagai tempat. Akan tetapi, ketika masa pencerahan mulai muncul yakni ketika peran BKKBN yang memandang bahwa faktor ledakan penduduk, kemiskinan, dan pengangguran adalah, salah satunya, pernikahan dini (merariq kodeq), maka mulailah fenomena tersebut mulai dianggap sebagai tindakan yang tidak lazim. Masyarakat sejak itu mulai menyadari di beberapa tempat bahwa pernikahan dini merupakan hal yang tidak tepat. Mereka yang tercerahkan adalah masyarakat yang terdidik. Oleh karena itu, sejak saat itu, alasan "belas" (penggagalan pernikahan) tidak hanya karena faktor ketidaksetujuan orang tua si perempuan atas dasar perbedaan kasta sosial, tetapi juga karena ketidaksetujuan orang tua si perempuan atas dasar kondisi si (calon pengantin) perempuan yang masih sekolah dan masih sangat muda. 

Bagi masyarakat Sasak tempo doeloe, pernikahan dini sebagaimana yang distigma negatif secara umum dewasa ini tidaklah membawa mudharat atau kejelekan bagi kedua mempelai. Justru, bagi mereka, pernikahan pada usia muda merupakan pintu awal untuk menemui arti kehidupan yang sebenarnya. Dengan menikah pada usia muda, jiwa kedewasaan dan tanggung jawab serta berdikari itu akan cepat muncul dan terbentuk dalam diri seseorang. Dengan menikah di usia muda, jiwa juang untuk mencari nafkah itu akan cepat tumbuh menjadi sebuah karakter. Bahkan, dengan menikah di usia muda, sifat kebapakan dan keibuan itu cepat tertanam dan tumbuh berkembang seiring lahirnya anak-anak mereka dalam satu naungan rumah tangga. Di sisi lain, dari pandangan orang tua, ketika anak-anak mereka sudah menikah, maka tanggung jawab mereka akan terbebaskan dari sisi keyakinan agama, karena ketika anak-anak menikah mereka sudah disapih atau dilepas dari jiwa kebergantungan atau sikap bermanjaan kepada orang-orang tuanya. Setelah menikah, tanggung jawab dan kedewasaan adalah modal mentalitas yang otomatis harus dimiliki. Lalu, yang mereka pegang kemudian sebagai fondasi hidup berumah tangga adalah pemberian hak faroid atau warisan yang dapat ia kelola sebagai awal membangun rumah tangganya. Karena itu, dalam upacara pernikahan adat Sasak yang dikenal dengan Sorong Serah Aji Kerame, pembahasan soal bagian sawah ladang yang akan dikelola oleh kedua mempelai itu haruslah jelas dan disepakati terlebih dahulu sebelum upacara adat itu berakhir dengan ucapan "putus talin jinnah". 

Ada satu hal yang menarik bahwa orang Sasak zaman dulu masih tampak sehat bugar atau masih hidup meskipun mereka sebenarnya sudah mempunyai cicit (baloq), anaknya cucu. Hal ini tentu sangatlah langka ditemui dewasa ini. Yakni, sekarang rata-rata usia orang tua meninggal hanya sampai punya cucu saja, jarang yang masih hidup atau sehat bugar hingga sudah memiliki cicit, terkecuali karena anugerah Tuhan diberi umur panjang. Mengapa suku bisa begitu? Dalam pandangan saya, ini disebabkan karena faktor tradisi pernikahan usia remaja atau yang disebut usia dini sekarang. Mereka masih pada hitungan usia kelas enam atau kelas satu sekolah menengah, mereka sudah menikah, terlebih jaman dulu tradisi bersekolah formal (TK, SD, SMP, SMA, kuliah) hampir pasti sangat jarang, terlebih yang dilakukan oleh orang Sasak di pedesaan. Fakta ini, khusus oleh kaum perempuan, si perempuan boleh dipidang (dipacari) olen lebih dari satu laki-laki, yang tentunya tujuan utamanya adalah pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan di usia remaja awal seringlah terjadi dan sekali lagi tidaklah melanggar ajaran agama selama sudah akil balik. Namun, dampaknya, mereka tampak lebih panjang umur daripada orang-orang tua dewasa ini, karena mereka masih mampu dan berkesempatan menyaksikan lahirnya cicit-cicit mereka.

Merariq kodeq ini sebenarnya adalah istilah stigmatik yang sukses dilakukan sebagai gerakan melawan kebiasaan atau tradisi itu di masyarakat Sasak. Stigma itu cenderung bermakna negatif. Akibatnya, pihak yang melakukannya bisa dipandang sebagai pihak yang "deviant" atau yang tidak  mengikuti arahan pemerintah. Meskipun demikian toh faktanya hal ini masih terus dan tetap saja ditemui di tengah masyarakat, dan hal ini tidak dianggap salah atau secara ramai-ramai dipersalahkan oleh masyarakat terutama di daerah perkampungan. Pernikahan dini di usia remaja ini masih terus berjalan karena dukungan akses informasi atau media sosial yang makin marak. Artinya alur komunikasi dan sumber media untuk saling kenal mengenal dan berkomunikasi itu semakin dimudahkan oleh teknologi. Akibatnya semakin itu pula peristiwa "merariq kodeq" itu semakin mudah terjadi dan sulit dibendung sehingga hingga saat ini masih terus mentradisi. 

Baiklah. Jika kita semua akhirnya bersepakat bahwa "Merariq Kodeq" itu cenderung lebih berdampak negatif, maka sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan ini saya berpendapat bahwa: *Pertama* gerakan pencerahan sebaiknya tidak hanya disasarkan kepada kaum pemuda atau remaja Sasak yang dipandang rentan melakukan hal itu tetapi juga disasar kepada orang-orang tua mereka ni, terutama ibu-ibu, sehingga dengan pencerahan dan kesadaran yang dimilikinya mereka semakin terdorong untuk menjaga, mendidik, dan melindungi anak-anak gadisnya agar bisa menjauhi diri dari tindakan "merariq kodeq" tersebut. Ini penting karena sering kali orang tua terllau permisif dan abai terhadap kebiasaan anak-anaknya dalam berpacaran. *Kedua* gerakan pencerahan dari "merariq kodeq" ini sebaiknya juga menyasar kepada lahirnya sebuah konvensi atau adat di masyarakat. Artinya, pemimpin formal dan informal, terutama tokoh adat masyarakat dan agama membuat "Sangkep" atau pertemuan agung yang mana dapat membuat aturan adat untuk dilakukannya upaya belas (pemisahan calon pengantin) karena masih dianggap usia dini. Apabila terjadi di suatu kampung, maka pihak perangkat kampung dan desa bisa mem-belas-nya. Jika ada yang memaksa melakukannya, terutama dari pihak pengantin laki-laki, bisa dikenai sanksi adat. Jika ini bisa diberlakukan, maka sedikit demi sedikit tradisi "Merariq Kodeq" di masyarakat akan terkikis habis. Perlu diingat sebuah budaya atau tradisi bisa hidup dan tumbuh karena didasari oleh bentukan mindset yang membenarkan hadirnya tradisi atau budaya itu. Maka, jika berkeinginan mengikis habis hal itu, mulailah dari upaya perubahan mindset secara mendasar dan menyentuh. SEKIAN 

Mataram, 15 Juni 2022
Sumber: nuriadisayip.blogspot.com
*MERARIQ KODEQ*, Fenomena Tempo Doeloe yang Masih Mentradisi Kini? *MERARIQ KODEQ*, Fenomena Tempo Doeloe yang Masih Mentradisi Kini? Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Juni 15, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.