*NGUJANG*, Ekspresi Romantika Pemuda Sasak Dulu

*NGUJANG*
(Ekspresi Romantika Pemuda Sasak Dulu)

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Cinta adalah energi rasa suka dan menyuka antar satu pihak kepada pihak lain. Cinta itu adanya di bathin, di hati, di jiwa, dan di kalbu yang kemudian menguasai segala organ dan raga, termasuk pikiran dan pemikiran. Ia menjadi sumbu energi gerak makhluk di dalam bertindak, berusaha, dan berjuang dalam rangka membuktikan sebasar apa, bagaimana, dan mengapa ia merasai energi cinta itu. Ada yang beranggapan bahwa cinta yang bagus adalah tatkala ia ber-resiprokal, berbalas, bertaut, dan saling mempersatukan. Meskipun begitu, ada pula yang beranggapan bahwa rasa cinta itu tidaklah perlu ber-resiprokal atau saling berbalas tetapi cukup hanya dirasai sendiri sebagai stimulasi untuk sekedar memuja dan mendoakan si dia dari jauh. Dasar hadirnya cinta sejatinya adalah keyakinan dalam diri. Keyakinan atas seseorang atau pihak yang dicintai itu mempunyai kemampuan untuk mentelepatikan energi itu. Lalu, wujud konkrit rasa cinta ketika seseorang sedang merasainya adalah keikhlasan atau ketulusan. Logika sebagai pengendali normalitas akan luluh pada kekuatan energi cinta sehingga cara pandang, sikap, tutur kata, dan perilaku seseorang akan selalu merujuk pada bagaimana ia mengekspresikannya dalam bingkai keikhlasan. 

Hampir semua rona hidup dan karya, khususnya karya seni, selalu didasari dan didorong oleh energi itu. Di lagu, puisi, prosa, drama, lukisan, musik, patung, kriya, arsitektur, dan sebagainya rata-rata selalu mengungkap ekspresi cinta, lepas dari konteks peristiwa yang melatarinya. Karena sejatinya cinta itu mewujud dalam berbagai rupa dan jenis. Ada cinta fisik, ada cinta platonik, ada pula cinta spiritual. Contoh konkritnya, lagu-lagu cilokaq hampir semuanya berbicara soal ini. Di lirik-lirik lelakaq Sasak, hampir semua tercipta dengan tema ekspresi cinta melalui penggunaan pola ritme, rima, asonansi, aliterasi, serta bahasa figuratif yang indah. 

Lalu bagaimana dengan pengekspresian cinta melalui sikap dan tindakan? Contoh paling kentara soal ini adalah orang Sasak mengungkapkannya melalui berbagai macam tindakan, salah satunya, yaitu dengan tradisi Ngujang. Ada juga Bejambeq, ada juga Midang, dan lain-lain. 

Ngujang iya ngujang! Sebuah tradisi yang dilakukan oleh kaula muda Sasak ketika perempuan atau gadis yang dicintainya. Ngujang adalah berkunjung untuk mengapeli sang pacar. Sang pemuda datang secara sendiri atau berombongan pada siang hari ke sawah atau ladang di mana sang gadis tengah mengerjakan kegiatan sawah berupa "nowong" (menanam padi), "ngume" (membersihkan gulma), "mataq" (memanen padi), "najuk" (menam padi model gogo rancah), dan sebagainya. Sang lelaki akan datang dengan penuh keihlasan dan keriangan ke tempat tersebut, yang dipersaksikan oleh semua keluarga dan tetangga yang ikut bekerja di tempat tersebut. Bahkan, sang pemuda pun akan ikut aktif melebur menjadi pekerja suka rela dengan rasa ikhlas serta tulus sembari terus membersamai dan menemani sang gadis. Maka bisa dibayangkan, teriknya matahari, kerasnya desau angin, deras serta dinginnya air hujan semua itu tak akan dirasai sebagai pengganggu oleh mereka. Yang mereka rasai adalah betapa gelora cinta berkecamuk, bertaut dalam setiap ekspresi kata dan gerak tubuh. Pada titik inilah, ngujang menjadi momen romantika yang aduhai indahnya yang dirasai oleh kedua sejoli di tengah tangan dan kaki bergerak menyelesaikan kegiatan persawahan. 

Tidaklah mengherankan kemudian, apabila sang laki-laki membawa tebu, makanan, jajan kering, minuman, buah-buahan, serta hal lainnya yang bisa menjadi panganan ketika ngujang. Makanan itu menjadi santapan untuk semua dengan senang gembira. Tidak jarang juga si pemuda membawa radio tape-recoder tipe besar dan mahal dengan disetelkan lagu-lagu dangdut penyanyi Ida Laila, Arafik, Mus Mulyadi, bahkan Rhoma Irama. Lalu, tersebab itu, tidaklah mengherankan kemudian, di sela-sela pengerjaan sawah, senyum, tertawa, cekikikan, dan aura kegembiraan menjadi penghias kebersamaan. Tidaklah pula mengherankan apabila tiba-tiba sang lelaki bisa betandak, atau melantunkan syair-syair dalam bahasa Sasak dengan suara merdu. Itu terjadi karena gelombang cinta yang berpendar di jiwa si laki-laki. Lalu, tidak pula mengherankan ketika sang gadis pun mampu mengimbangi syair-syair dari sang lelaki dengan suara-suara tandak yang merdu pula. Lagi-lagi, itu semua terdorong oleh rasa cinta dan kebahagiaan dalam diri si gadis. Mereka menjadi sumber kegembiraan yang sekaligus menjadi penghias betapa romantika itu tengah berbunga semerbak. Tidaklah mengherankan kemudian apabila pekerjaan sawah yang semula terasa sangat berat dan melelahkan akhirnya terasa menjadi sangat ringan dan menyenangkan. Sehingga, karenanya, mereka ingin terus mengulanginya lagi dan lagi. Ngujang sejatinya menjadi momen intimasi, pengakraban alamiah tidak hanya antar kedua sejoli, tetapi pengakraban sang laki-laki dengan keluarga dan tetangga si gadis.

Dalam konteks momen ngujang ini, cinta benar-benar membaur dalam berbagai rupa. Cinta fisik, platonik, dan spiritual menjadi satu bagaikan adonan "Kandoq Cengeh" yang proporsional rasanya. Bagaimana tidak, cinta yang didasari gelora cinta fisik untuk segera menyatu seperti digambarkan Percy Shelley, penyair romantik Inggris, dalam puisinya "Love's Philosopy" (*The winds of heaven mix forever with sweet emotion, all things by law divine, in one another being mingle, why not I with thine*) kemudian bertalu-talu menjadi rasa platonik, berupa cinta penuh rasa kasih sayang yang mendorong dirinya untuk berdoa dan bersyukur kepada Tuhan seperti ucapan larik puisi Khalil Gibran, penyair platonis Lebanon Amerika, dalam  "Aku Bicara Perihal Cinta" (*Kemudian Dia mengangkat engkau ke api sucinya, sehingga engkau bisa menjadi roti suci untuk pesta kudus Tuhan, semua ini akan ditunaikan padamu oleh sang cinta*). Kira-kira demikianlah rasa itu berkecamuk, mendidih, dalam waktu seharian tatkala momen ngujang itu berlangsung.

Akan tetapi, tradisi ngujang kini sudah mulai memudar seiring cara pandang pragmatisme orang Sasak mulai berkecambah. Tradisi ngujang kini sudah dianggap sebagai milik orang-orang tua, bukanlah milik para kaula muda sekarang ini. Model nowong sudah diganti dengan model najuk, yang biasanya kini dengan model upahan. Model mataq kini sudah tidak ada lagi seiring varietas padi yang ditanam sudah tidak lagi "pare rau" tetapi "pare IR" yang dipanen dengan model ngerampek, dan hal ini pun dikerjakan oleh kelompok buruh upahan. Ngujang, sekali lagi, sudah sulit sekali ditemukan. Ia kini hanya bertengger di alam pengalaman hidup orang-orang tua Sasak. Terlebih pula, anak-anak petani sudah enggan juga ikut aktif mengerjakan sawah-sawah orang tuanya. Mereka merasa akan dianggap "modern" bahkan "milenial" ketika mereka pintar berhias diri, lalu jalan-jalan ke kota, memasuki mall-mall atau tempat shopping yang terkenal. 

Memang, budaya pasti akan berubah. Tidak ada budaya yang tidak berubah. Namun perubahannya bersifat evolutif, pelan-pelan, dan alamiah. Karena apa? Itu karena faktor manusia-nya, sang pemilik budaya. Manusia selalu berubah-ubah cara pandang dan tren pemikirannya seiirng kemajuan teknologi, pengetahuan, dan peradaban dunia. Oleh karena itu, tradisi ngujang hanyalah tradisi orang tua yang masih terporos pada budaya agraris. Sementara kini, masyarakat Sasak, terutama generasi mudanya, sedang berada pada kondisi liminalitas seperti istilahnya Victor Turner, yakni kondisi pergeseran cara pandang dan budaya dari kultur agraris menuju pasca agraris, modern, posmodern, dan bahkan era digital-milinial. Namun, ngujang patut dikenang dan diakui sebagai sebuah ekspresi tradisi Sasak tempo dulu yang lahir atas dorongan cinta. Benar, ngujang adalah ekspresi romantika Sasak, sebagai pembuktian atas keseriusan cinta. SEKIAN 

Mataram, 1 Juni 2022
Sumber: nuriadisayip.blogspot.com
*NGUJANG*, Ekspresi Romantika Pemuda Sasak Dulu *NGUJANG*, Ekspresi Romantika Pemuda Sasak Dulu Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Juni 01, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.