SENTAKUT NGANAK BELAE, Folklor Sasak yang Menyemangati

*SENTAKUT NGANAK BELAE*
(Folklor Sasak yang Menyemangati)

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Brunvand, seorang ahli folklor Amerika, pernah menteorikan bahwa terdapat tiga macam folklor yang hampir dimiliki setiap suku bangsa di dunia ini, termasuk suku bangsa Sasak. Folklor adalah bentuk kreasi rakyat yang mewujud sebagai tradisi dan/atau budaya yang khas dimiliki oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa tertentu guna pemenuhan tujuan atau maksud tertentu. Setakat dengan ini, ketiga macam folklor dimaksud adalah: (1) folklor verbal (verbal folklore), (2) folklor semi-verbal (semi verbal folklore), dan (3) folklor nonverbal (non-verbal folklore). Yang pertama mengacu pada jenis folklor yang dipertunjukkan dan disebarkan secara lisan, atau dari mulut ke mulut seperti cerita atau waran,  sesenggak, ungkapan, seloka, dan sebagainya. Yang kedua mengacu pada jenis tradisi atau kreasi budaya yang ditransmisikan dan dipertunjukkan dengan menggunakan lisan atau suara ditambah juga dengan alat atau metode  lain seperti tari saman, tari, rudat kemidi, cilokaq, dan sebagainya. Sementara itu, yang ketiga mengacu pada jenis tradisi yang berupa hasil seni lukis, kriya, arsitektur, alat rumah tangga, alat pertanian, lain tenun, yang semuanya tanpa menggunakan lisan atau suara ketika diciptakan atau ditunjukkan. 

Berdasarkan kategorisasi jenis folklor di atas, tampaknya masyarakat Sasak termasuk masyarakat yang cukup kaya dengan semua itu. Semua kategori yang diungkap Brunvand di atas bisa ditemui di masyarakat yang menjadi penduduk asli pulau Lombok. Hal ini bisa diartikan bahwa suku bangsa Sasak adalah suku bangsa yang sudah cukup maju dan tua, yang bisa bersejajar dengan suku-suku bangsa yang lain yang ada di nusantara ini, bahkan yang ada di dunia. Bagaimana tidak, menurut ahli budaya atau antropolog dunia, bahwa sebuah suku bangsa bisa diukur kemajuan dan ketuaan peradabannya melalui folklor atau tradisi dan kreasi yang dimiliki oleh suku bangsa tersebut. Lalu, hadirnya semua itu dalam rangka memenuhi tuntutan kehidupannya untuk tetap "survive" (hidup) sebagai manusia yang beradab.

*Sentakut Nganak Belae sebagai ungkapan*

Wujud folklor yang dikategorikan sebagai folklor lisan adalah ungkapan atau frase. Ungkapan adalah pernyataan yang berbentuk propositif yang terdiri dari beberapa kata. Biasanya ia dihadirkan untuk memberi pesan moral secara implisit dan pernyataan konklusif dengan bahasa kiasan. Ungkapan umumnya tidak mempunyai subyek, namun lebih menggunakan diksi yang polisemik atau metaforik. *Sentakut nganak belae* (artinya: ular sentakut melahirkan ular belae) adalah bukti nyata terkait definisi di atas. Diksi yang dipakai dalam ungkapan ini adalah dua jenis atau nama ular yang dikenal luas di masyarakat Sasak.

*Sentakut* adalah jenis ular kecil panjang yang umumnya berwarna hijau atau kadang kuning yang sering hidup di pohon perdu atau rumput hijau, yang mana ular ini tidak berbisa, namun ketika muncul atau ditemui seseorang sering kali kaget dan takut. Menariknya, ketika ditemui, bukannya ular ini akan menyerang, justru ular ini akan lari menjauh ketakutan. Atas fakta ini, orang Sasak sering menyebutnya sebagai ular yang sekadar untuk menakut-nakuti, karena tidak berbisa, bahkan cenderung jinak. Ular ini akhirnya, bagi orang dewasa yang sering berada di sawah atau hutan, sering tidak menghiraukannya. Meskipun demikian, ada juga yang mempercayai bahwa apabila pernah digigit ular ini, maka orang itu tidak akan pernah lagi atau enggan digigit oleh ular-ular berbisa. Namun, pendapat atau kepercayaan ini masih tataran mitos saja.

Berbeda dengan sentakut, *belae* adalah jenis ular yang berbahaya dan agresif gerakannya. Ular ini sering kali hidup di atas pohon, warnanya cocklat atau kadang agak memerah serta tubuhnya tidak panjang, sepanjang ular-ular pada umumnya. Biasanya bagian ekornya ada tanda merah. Hal yang menarik dari ular ini adalah karena ular ini sangat berbisa dan mematikan, pergerakannya sangat agresif, serta ular ini bisa terbang atau mampu meloncat dari satu pohon ke pohon yang lain. Karena itu, ular ini sangat ditakuti oleh masyarakat Sasak yang biasanya pergi ke sawah, ladang, atau hutan. 

Tentu, dua jenis ular itu adalah metafor. Implikasinya adalah.*sentakut nganak belae* adalah metafor. Menariknya, secara logika, bagaimana mungkin ular sentakut bisa melahirkan ular belae. Kedua ular ini beda jenisnya. Di sinilah kreatifnya orang Sasak di dalam mengkonstruk maksud yang sebenarnya dengan menggunakan ungakapan sastrawi itu. Hal yang mutahil sentakut melahirkan belae. Namun di sini menariknya bahwa melalui ungkapan metaforik ini, seseorang hendak mengungkapkan atau menyampaikan suatu fenomena sosial tertentu yang unik dan tidak logis. Misal, di balik ungkapan itu, seseorang ingin mengatakan adanya seorang anak yang kini sukses sebagai pemimpin atau figur intelektual terhormat dan berpengaruh (ular belae), meskipun anak itu dulu lahir, besar dan hidup dari keluarga miskin, tidak berpendidikan, dan non-ningrat atau kelas rendahan (ular sentakut).

*Pesan moralnya bagi orang Sasak*

Fenomena keberadaan masyarakat Sasak yang digambarkan oleh ungkapan di atas dewasa ini sangatlah jamak. Orang Sasak yang lahir dari kelompok masyarakat biasa atau rendahan bisa menjadi orang yang sukses, terhormat, dan berpengaruh di masanya. Tidaklah mengeherankan memang apabila, ada orang kaya, bangsawan, dan terhormat yang anaknya bisa sukses sesukses orang tuanya. Hal ini dianggap orang sangatlah wajar karena orang itu sudah memiliki modal ekonomi, sosial  dan budaya yang sudah disediakan oleh orang tuanya. Namun, apabila ada orang yang bisa sukses menjadi orang hebat atau pejabat sekarang meskipun dia berasal dari keluarga yang tidak berada, keluarga rendahan, buta huruf, maka inilah gambaran fakta/fenomena yang cocok untuk ungkapan "sentakut nganak belae" itu. Dan, sekali lagi, fakta atau bukti soal ini sudah banyak ditemui di masyarakat. Sudah banyak pejabat dan intelektual sekarang yang dulunya lahir dari keluarga yang miskin, buta huruf, dan tidak dipandang ada. Sudah banyak pengusaha yang kaya raya sekarang, yang dulunya dari orang tuanya hanya sebagai penyakaf sawah orang kaya, yang orang tuanya dulu hanya sebagai buruh, TKI/TKW, dan sebagainya.

Ada dua sebab atau faktor yang menjadikan orang bisa demikian, yakni: (1) karena faktor internal berupa kesadaran dan ikhtiar dan (2) faktor eksternal berupa adanya pendidikan dan peluang. Yang dimaksud dengan "kesadaran" di sini adalah bahwa anak atau orang itu telah menyadari dalam dirinya kalau dia itu berasal dari keluarga yang miskin dan tidak terpandang, maka atas dasar itu dia mendorong dirinya untuk bangkit, berjuang, bekerja keras dalam menjalankan usaha demi mencapai cita-cita, yaitu sukses dalam meraih tingkat pendidikan tinggi, sukses  menjadi pengusaha kaya, ataupun sukses sebagai pejabat publik melalui jalur politik. Sementara itu, faktor kedua adalah faktor eksternal yaitu adanya kesempatan atau peluang serta jalur jalur pendidikan yang sangat mendukung mencapai kesuksesan. Peluang adalah hal yang diharapkan dan didoakan oleh siapapun untuk mencapai derajat sukses. Demikian juga, pendidikan merupakan jalur formal yang cukup memudahkan orang di dalam membuka kesempatan mencapai kesuksesan. Dengan ijazah dan gelar yang diperolehnya, maka kesempatan atau peluang semakin terbuka untuk mencapai kesuksesan secara lebih cepat.

Bertumpu pada penjabaran di atas, jelaslah bahwa "sentakut nganak belae" merupakan ungkapan yang ditujukan tidak sekedar untuk menunjukkan suatu fenomena atau fakta sosial, tetapi lebih dari itu, yakni dimaksudkan untuk memberi dorongan atau semangat kepada semua masyarakat Sasak, terutama masyarakat di pedesaan yang tergolong miskin supaya tidaklah hidup pesimis di dalam membesarkan anak-anaknya. Apabila sekarang mereka sebagai orang tua berada dalam kondisi yang miskin atau tidak dipandang ada oleh orang lain, akan tetapi yakin dan percaya bahwa anak-anak mereka bisa menjadi orang yang sukses, yang bisa mengangkat derajat dan kelas sosial orang tuanya. Yang mereka butuhkan sebagai orang tua adalah penyadaran secara cepat dan terus menghidupkan pengharapan-pengharapan bahwa besok atau lusa hidup pasti berubah, jikapun bukan mereka yang tidak bisa mengubah, maka anak-anaknya pasti bisa melakukannya. Yang terpenting, sejak dini mereka harus mendidiknya untuk bisa sukses laksana ular belae, meskipun diri orang tua tetap tidak dianggap seperti ular sentakut. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Segalanya bisa berubah. Hidup ini berputar begaikan roda pedati. Yang dulunua dianggap rendahan (sentakut) bisa jadi sekarang karena anaknya  menjadi terpandang (belae).

Lalu, hal yang perlu ditanamkan sejak dini sebagai orang tua adalah ketika anak-anaknya sudah sukses kelak, janganlah mereka sombong. Tetaplah low pofile, tawadduq, dan rendah hati, meskipun kesuksesan berada di genggamannya seperti yang dilakukan ular belae yang diam saja dan bahkan bersembunyi di atas pohon. Dia akan menyerang secara agresif ketika dia diganggu ranah hidupnya. Jika pesan ini ditanamkan, maka sejatinya, orang Sasak telah mendidik anaknya menjadi orang yang tindih (berakhlak). 

Luar bisa memang orang-orang tua Sasak. Mereka sudah mampu mengabstraksikan pesan-pesan moral melalui ungkapan-ungkapan yang berbentuk metafora. Dan inilah "harta karun" orang Sasak yang --menurut teori Barat-- dikelompokkan sebagai folklor. Berbanggalah! SEKIAN 

Mataram, 30 Mei 2022
Sumber: nuriadisayip.blogspot.com
SENTAKUT NGANAK BELAE, Folklor Sasak yang Menyemangati SENTAKUT NGANAK BELAE, Folklor Sasak yang Menyemangati Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 30, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.