MEMBACA PEREMPUAN SASAK DULU DAN SEKARANG

MEMBACA PEREMPUAN SASAK DULU DAN SEKARANG

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Mary Wollstonescraft, seorang tokoh pra-Feminisme asal Inggris, pernah mengungkapkan dalam salah satu karyanya yang berjudul "Vindication of the Rights of Women" (1792) bahwa perempuan itu laksana burung di dalam sangkar. Burung yang indah, peliharaan laki-laki. Perannya hanya sebagai hiburan, dipuja-puja, dan dipelihara sebagai kebanggaannya. Hal ini karena tampilan indahnya bulu, merdu suaranya tatkala berbunyi, kelincahan gerakannya, keunikannya, kelangkaan akan keberadaannya, dan lain sebagainya. Yang kemudian hanya dipajang setiap waktu di depan rumah. Ia tidak boleh dilepas bebas. Ia tidak punya hak untuk berada di ranah publik. Ia harus tetap berada di dalam rumah, sebagai pengisi utama sisi kebanggaan domestik. Atas dasar pemikiran itulah Mary mendorong adanya sebuah gerakan dari kaum perempuan dunia untuk mendobrak sistem dominasi laki-laki yang dinamainya sebagai sistem patriakisme. 

Selaras dengan konteks berpikirnya Mary di atas, tampaknya dahulu kaum perempuan Sasak pun kurang lebih "diposisikan"  seperti demikian (Mohon maaf jika saya keliru). Perempuan Sasak sedemikian rupa dipandang untuk mengurusi kehidupan domestik, dan secara terus-menerus untuk keluar rumah secara bebas dan terlibat di publik sebagaimana kaum laki-laki lakukan. Fakta ini secara khusus terjadi pada perempuan Sasak yang masih perawan atau gadis. Semakin dia menginjak usia kegadisan, maka kondisi itu semakin mengikatnya untuk tidak bisa lepas, dan terus diawasi keberadaannya oleh orang tua dan sistem sosial masyarakat. Sebaliknya, perempuan yang bisa berperan atau berperilaku dengan mengikuti cara atau pola pandang sistem patriarki, maka ia dikatakan sebagai "Good Woman" sebagaimana digambarkan secara jelas dalam puisinya Elizabeth Chandler, penyair Amerika, yang berjudul "Woman" (1836), yang mana keberadaannya seperti itu bagaikan "the evening star" (bintang malam) yang tidak pernah berhenti berkerdipan dan menyala serta sesungguhnya perempuan itu adalah "partner" bukan "toy" (mainan) kaum laki-laki.

Implikasi dari sistem sosial yang demikian itu, perempuan Sasak (baca: gadis Sasak) lantas dibentuk untuk dipersiapkan sebagai seorang perempuan yang penuh keibuan, penuh sikap pelayanan, dan pandai dalam mengurusi dunia domestik rumah tangga. Tidaklah lazim, zaman dulu, perempuan untuk bersekolah tinggi. Perempuan gadis Sasak senantiasa berhadap-hadapan dengan berbagai bentuk stereotipe, salah satunya berbunyi: "Dendeq sekolah tinggang-tinggang, mansih eakm jari tukang periap semamem lemaq" (Janganlah sekolah tinggi-tinggi, toh nantinya kamu akan mengurusi masakan suamimu saja kelak). 

Oleh karenanya, indikator-indikator perempuan Sasak cukup "bagus" sebagai istri adalah: (1) Penter Ngemi Ngelak, yaitu perempuan yang sangat pandai memasak terutama dalam memasak beebagai macam sayuran yang cukup pas dengan rasa bumbunya; (2) Penter Nyapu Nyae, perempuan yang sangat cekatan dan penuh perhatian terhadap kebersihan rumah tangga; (3) Penter Bepayas, yakni perempuan yang sangat terampil di dalam menata penampilannya sesuai tempat dan kondisi; (4) Penter Ngaji, yaitu perempuan yang bisa dan rajin membaca Al-Quran dengan fasih, sebagai indikator awal di dalam mendidik anaknya kelak; (5) Penter Nyensek, yaitu perempuan yang bisa mengerjakan tenunan-tenunan Sasak, yang diharapkan sebagai pakaian keluarganya nanti; dan (6) Penter Nowong, yaitu perempuan yang bisa menanam padi dan ikut suaminya nanti dalam mengerjakan urusan tanaman di sawah hingga panen.

Sejak awal, sejak mulai remaja, perempuan atau gadis secara alamiah ditempa atau diajar untuk bisa mengurus berbagai hal dalam rangka memenuhi kriteria atau indikator tersebut di atas. Adalah sang ibu yang kemudian berpran signifikan untuk itu. Kemudian, apabila gadisnya sudah mampu memenuhi kriteria tersebut, maka orang tua si gadis akan merasa percaya diri membiarkan gadisnya untuk menerima kehadiran (nemin) para pemuda yang datang mengapel. 

Dikatakan "para pemuda", karena faktanya gadis Sasak jaman dulu memang diperbolehkan menerima atau menjadi pacar lebih dari satu pemuda. Bahkan, menariknya, semakin banyak laki-laki yang datang "midang" (ngapel) ke rumahnya di setiap malamnya, maka si gadis itu akan menjadi kebanggaan diri dan keluarganya. Atas dasar itu kemudian, si gadis diberi pengawasan yang sangat ketat dan tidak mempunyai kebebasan bepergian. Dia menjadi "kembang rumah" bahkan "kembang kampung" yang mana semua mata mengawasinya. Pada konteks inilah, konsep Mary Wollstonescraft di atas amat berlaku pada keberadaan perempuan/gadis Sasak.

Dalam konteks ngapel (midang), perempuan hanya diperbolehkan secara adat dan adab menerima pacar-pacarnya di "betaran" (kamar depan) rumah, dengan kondisi terbuka, yang mana ibu atau ayahnya duduk mengawasi di dalam atau duduk di rumah tetangga sebelah dengan bercakap-cakap dengan tetangganha itu sembari mengawasi si gadisnya. Si gadis duduk dengan sikap duduk yang anggun, lalu setiap pacarnya yang datang harus duduk bersila satu setengah atau dua meter dari tempat si gadis. Laki-laki tidak diperkenankan melakukan gerakan atau berjalan bebas di depan si gadis. Apabila itu terjadi, maka pemuda itu dinilai kurang adat atau melanggar adab. Maka itu, ia kena denda, yang mana bisa dilaporkan ke Ketua atau Keliyang, atau minimal dapat dicurigai mempunyai niat yang tidak baik kepada si gadis itu. Tidaklah heran kemudian si gadis sejak awal sudah diberi berbagai macam mantra oleh orang tuanya terutama "mantra sengadang-ngadang" sebagai media pagaran apabila ada upaya para pacarnya mengambil hatinya dengan cara-cara tidak fair berupa senggeger atau pelet. Hal ini pun lumrah terjadi.

Lalu, tatkala ada laki-laki atau pacar lain mau datang untuk ngapel kepadanya, si pemuda itu harus secara legawa pergi, meninggalkan tempat/rumah gadis itu. Apabila tidak mau, maka tidak mengherankan perkelahian antar pemuda gara-gara si gadis terjadi. Bahkan, dulu, persoalan ini menjadi faktor terjadinya bunuh-bunuhan akibat perebutan si gadis. Pola prosedur ngapel ini sudah menjadi konvensi atau aturan yang melembaga secara tak tertulis sebagai adat di masyarakat. Tidak ada yang menolak, atau melawannya. Kehadirannya melahirkan harmoni dalam interaksi sosial, yang saling menghargai dan mengakui keberadaannya. Minimal, pola itu menghadirkan model kompetisi yang sehat dan fair di dalam memperebutkan si gadis sebagai istri.

Menariknya, semua kegiatan perempuan atau gadis itu menjadi pusat perhatian laki-laki atau pacar-pacarnya. Apabila perempuan pergi ke pasar ("lalo meken"), maka mereka akan berusaha mendekatknya. Apabila pergi ke acara mantenan keluarga ("betangko"), yang mana biasanya menginap, maka mereka akan datang pada malam hari untuk menemuinya dengan cara "tange" (ngapel berjam-jam sampai menjelang subuh). Serta, apabila si gadis itu pergi ke sawah, misalnya pergi memanen pagi, maka para pacarnya datang dengan cara "ngujang", yaitu datang membantu si gadis dengan membawa berbagai macam makanan istimewa. Menariknya, di setiap.momen yang disebut di atas, keluarga si gadis selalu ada untuk mengawasinya. Mereka tidak boleh lengah. Hal ini karena nama baik keluarga benar-benar bergantung pada adab dan perbuatan si gadisnya. 

Kemudian, setelah menikah, perempuan Sasak dianjurkan untuk benar-benar tau dan menyadari posisi dan perannya sebagai istri. Ia harus tunduk dan manut pada apa yang menjadi perintah suaminya. Segala potensi yang mampu membantunya untuk.membahagiakan suaminya, serta anaknya kelak, harus dimaksimalkannya. Filosofinya dalam konteks ini adalah "ridha Allah amat bergantung pada ridha suaminya". Apabila perempuan sudah bisa demikian, itulah yang disebut sebagai perempuan yang baik dan penuh bakti. Konkritnya, dalam praktik, tugas utama perempuan Sasak di dalam rumah tangganya adalah melayani. Dia harus rela memposisikan dengan ikhlas dan cinta untuk mengerjakan semua pekerjaan domestik dalam tataran pelayanan dan kebahagiaan suami dan anaknya. Jika tidak, maka perempuan ini tidak bisa dinilai sebagai perempuan yang baik, sebaliknya sebagai "nine durhake" (perempuan yang tidak baik). Konsep ini sebenarnya didasari pada ajaran agama Islam.

Dengan sekelumit fakta di atas perempuan Sasak jaman dulu sejatinya telah dikondisikan secara adat untuk menjadi perempuan yang baik-baik. Pengkondisian ini berjalan dengan cara yang sangat alamiah. Perempuan Sasak jaman dulu tidak pernah untuk diajarkan dalam sistem patriarki sebagai "perempuan baru" (New Woman) yang selama ini digawangi oleh gerakan emansipasi dan/atau gerakan feminisme, yaitu perempuan yang diperbolehkan sabagai "bread winner" atau tulang punggung nafkah keluarga, atau perempuan yang ikut serta sebagai aktor urusan publik dan politik. Namun faktanya sudah demikian sekarang. Paradigma orang Sasak sudah bergeser dan berubah. Perempuan Sasak harus bisa bergerak secara setara dalam berperan di dunia publik dan politik sama halnya dengan laki-laki. Perempuan Sasak saat ini harus bisa meraih pendidikan setinggi-tingginya. Perempuan Sasak saat ini harus bisa berkarya. Sekarang, akan diangap aneh kalau perempuan tidak bersekolah, bahkan indikator "nilai bagusnya" perempuan sekarang adalah tatkala ia mencapai gelar pendidikan tinggi, bahkan bisa menjadi pegawai negeri, konsultan, dokter, dosen, guru, atau segala macam pekerjaan yang berada di ranah publik. Sekarang, perempuan Sasak yang bagus adalah mereka yang mampu menghasilkan karya-karya karena kecerdasannya, yang sebelumnya dianggap sebagai manusia yang hanya mengandalkan perasaannya saja. Sekarang, perempuan Sasak yang dinilai hebat adalah mereka yang menjadi pemimpin dan pemilik perusahaan yang dulunya hal itu hanya dikerjakan oleh kaum laki-laki saja. Perempuan Sasak yang keren sekarang adalah perempuan yang modern, yang profesional, yang relijius, dan yang milenial. Karenanya, orang tuanya akan habis-habisan untuk berkorban demi pencapaian atau prestasi anak perempuannya. Hal inilah kini menjadi kebanggaan orang tuanya, tidak lagi karena bisa dipacari banyak laki-laki. 

Bahkan, sekarang, perempuan Sasak sudah tidak lagi melakukan atau menjalankan kebiasaan adat yang bisa diapeli atau di-pidang oleh banyak laki-laki. Perempuan Sasak sudah menganut kebiasaan mempunyai pacar yang satu. Terjadinya pergeseran atau perubahan pola pikir dan kebiasaan ini, menurut saya, karena faktor kemajuan teknologi informasi dan tingkat pendidikan yang membaik. Mereka bisa belajar dari kebiasan atau hal yang terjadi di daerah lain. Bahkan, pola midang (ngapel) yang biasa dilakukan jaman dulu, seperti diuraikan di atas, sudah tidak lagi terjadi. Proses hubungan perpacaran (ngapel) bisa berlangsung di mana-mana, dengan model yang beragam. Peran orang tua pun tidak lagi seketat jaman dulu. Mereka cenderung permisif. Orang tua lebih menanamkan nilai dan pemahaman serta pengetahuan agama yang kuat ketimbang pengawasan yang ketat secara fisik. Perempuan Sasak saat ini adalah perempuan yang mempunyai kebebasan dan hak yang relatif sama seperti yang dimiliki laki-laki.

Meskipun demikian, perempuan Sasak harus tetap menyadari kodratnya dan memahami adat budayanya bahwa ia adalah aktor utama urusan domestik, urusan rumah tangga dan pendidikan keluarga. Perempuan Sasak sekarang ini harus tetap tampil laksana Dewi Anjani, yang tetap menjadi pemimpin yang penuh jiwa keibuan dan pengayoman di manapun berada. Perempuan Sasak saat ini harus bisa tampil lincah, cerdas, dan pandai berperan seperti Dewi Rengganis meskipun tetap merendah dan memahami posisinya tatkala berhadapan dengan Raden Repatmaje. Perempuan Sasak dewasa ini harus memiliki kecakapan kalbu dan kepribadian seperti Putri Mandalika, yang kuat menghadapi cobaan serta bijak di dalam mengambil keputusan tatkala menjadi pemimpin. Singkatnya, perempuan Sasak masa kini harus berperan seimbang, yaitu cakap dalam urusan domestik serta cakap pula di pekerjaan publik bahkan politik. Inilah paradigma masa kini tentang keberadaan perempuan Sasak. Hadirnya perempuan yang mempunyai kecakapan yang seimbang ini sesungguhnya menjadikannya telah hadir sebagai sosok yang ideal. SEKIAN

Mataram, 29 Mei 2022
MEMBACA PEREMPUAN SASAK DULU DAN SEKARANG MEMBACA PEREMPUAN SASAK DULU DAN SEKARANG Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 29, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.