BESIRU
(Sistem Sosial yang Menjunjung Kebersamaan)
Oleh: H. Nuriadi Sayip
Emile Durkheim, seorang sosiolog kenamaan dalam aliran strukturalisme fungsional, pernah menyatakan bahwa terdapat dua bentuk solidaritas sosial yang membingkai ketahanan suatu sistem sosial, yakni (1) solidaritas mekanik (mechanic solidarity) dan (2) solidaritas organik (organic solidarity). Yang pertama mengacu pada suatu sistem ketahanan sosial yang didasari atas ikatan emosional dan familial. Sementara itu, yang kedua memgacu pada bingkai ketahanan sosial yang didasari pada pertautan rasionalitas dan motif kepentingan. Tujuan hadirnya solidaritas mekanik adalah menjadikannya sistem sosial terbentuk dan terbangun dalam rangka penghadiran harmoni serta menyelaras dalam rasa satu ikatan persaudaraan dan kekeluargaan. Maka itu, tatkala terjadi gangguan, solidaritas ini secara otomatis membangkit demi terjaganya kebertahanan yang utuh. Sementara itu, tujuan solidaritas organik tercipta adalah dalam rangka membangun jejaring sosial demi mencapai tujuan atau cita-cita yang berasaskan kepentingan tertentu. Karenanya, ketika terjadi goncangan, maka ikatan yang membersamainya adalah rasionalisasi motif kepentingan yang sama.
Sehubungan dengan konsep Durkheim di atas, tampaknya masyarakat Sasak lebih beraras pada konsep sistem solidaritas sosial yang pertama. Fakta ini tampak nyata di daerah-daerah pedesaan (rural areas), meskipun sudah ada muncul di beberapa tempat sedang mengalami sistem solidaritas sosial yang liminal, yakni, menurut Victor Turner, kondisi masyarakat yang sudah tampak maju tetapi model sistem solidaritasnya masih teebangun dalam paradigma yang berpola mekanik.
Namun demikian, terlepas dari dikotomi dan pervalensi di atas, salah satu sistem sosial yang cukup kuat di dalam membangun solidaritas orang Sasak adalah sistem Besiru. Sistem sosial yang menjadikan satu individu dengan individu yang lain saling membantu, saling terikat, saling bergantung, dan tetap menjadikan hubungan serta interaksi mereka saling terjaga. Sistem yang menjadikan mereka merasa tetap sebagai sebuah komunitas yang padu namun cair dan saling merasai bahwa mereka berada dalam bingkai simbiosis mutualistik. Akibatnya, kebersamaan dan kegotong-royonganlah menjadi satu-satunya jalan mencapai cita-cita dan kesuksesan bersama.
Besiru berasal dari kata be- dan -siru. Be- adalah awalan atau prefiks yang menandai kata yang dilekatinya menjadi kata kerja (verba). Akibatnya, kata akar -siru, ketika ditambah awalan be- menjadi kata kerja (verba), yang bermakna: suatu kegiatan untuk saling membantu dengan sistem siru (utang/ikatan/bantuan). Menariknya, imbuhan be- pada "besiru" tidak hanya mengacu pada penjenisan kata, tetapi imbuhan atau awalan tersebut lebih berarti: saling, secara resiprokal. Sementara iu, kata akar "siru" berarti bantuan, pengikatan jasa, dan bahkan utangan yang harus dibalas atau dipenuhi dengan bentuk jasa yang sama, yang tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
Dalam praktiknya di masyarakat Sasak, besiru telah menjadi sistem yang cukup jamak ditemukan. Dikatakan sebagai "sistem" karena besiru mempolakan kehidupan para pelakunya terkait dengan bagaimana proses pengelolaan serta pengerjaan sawah atau kegiatan yang lain di masyarakat. Seseorang yang terlibat di dalamnya kemudian merasa terikat sehingga interaksi dan ritme hidupnya harus bersesuaian. Jika tidak, dia tentu akan dianggap "deviant" (menyimpang) serta teralienasi di lingkungannya. Menariknya, memang, sistem besiru ini sangat tampak dan mudah ditemukan di tengah masyarakat pedesaan yang masih berpola penghidupan agraris atau pertanian. Ketika musim tanam padi sudah datang, maka masyarakat saling mengatur untuk saling membantu, bersama-sama, dna berkelompok di dalam mengerjakan tanaman padinya dari sejak "najuk" (menanam padi model gogo rancah), "ngume" (membersihkan padinya dari gulma), sampai "ngerampek" (kegiatan memanen padi).
Uniknya, besiru ini mulanya cenderung dilakukan kaum ibu atau perempuan, bukan kaum laki-laki. Hal ini memperlihatkan juga peran perampuan yang signifikan di dalam penanaman padi di maayarakat Sasak. Tidaklah benar bahwa perempuan Sasak tidak mempunyai peran signifikan dalam proses publik. Perempuan Sasak itu amat tangguh, yang mana tidak hanya mengurusi soal domestik, tetapi juga mengurusi soal kehidupan dan penghidupan terutama di wilayah penanaman padi di persawahan.
Selain itu, dalam pola besiru ini, kuantitas waktu dan jumlah menjadi sangat diperhatikan. Ketika seseorang datang membantu dan menghabiskan waktunya sehari penuh dalam membantu mengerjakan pekerjaan di sawah ornag lain, maka ornag lain itu pun harus membayarnya dengan wkatu yang sama pula. Serta, ketika dua anggota keluarga yang datang membantu mengerjakan sawahnnya, maka orang itu pun melakukan hal demikian, yakni membawa anggota keluarganya satu lagi guna membayar siru yang telah diberikan pihak yang pertama. Apabila tidak mempunyai anggota keluarga, maka dia harus mau ikut membantu sekali lagi pada momen yang berbeda dalan prosesi pengerjaan sawah pihak yang pertama. Jika tidak bisa, maka dia berusaha membayarnya dengan hasil sawahnya yang setimpal dengan waktu siru yang belum terbayarkan.
Dalam perjalanan waktu, sistem besiru ini tampaknya kemudian tidak hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja dan tidak hanya juga terjadi di wilayah persawahan saja. Sistem besiru ini juga dilakukan oleh kaum laki-laki dan tidak di wilayah/urusan persawahan saja. Bagi laki-laki, sistem besiru itu dilakukan di kala urusan pembuatan rumah ataupun di kala bantuan penyiapan acara pesta (begawe). Sistem besiru diikat dengan sebutan "banjar", yang dimaknai lebih konkrit sebagai arisan kelompok yang terdiri dari sejumlah individu. Apabila satu anggota kelompok mempunyai hajatan/kegiatan, maka anggota-anggota yang lain harus hadir dan memberi bantuan semaksimal mungkin. Demikian seterusnya, yang berlangsung secara alamiah di masyarakat.
Dengan demikian, sebagaimana telah dikatakan di atas, pola hubungan yang terjadi di antara individu menjadi sangat mutualistik, yang mana mereka melakukannya tanpa didasari pamrih uang atau bayaran, yang akhir-akhir ini sudah menggorogoti sistem mutualistik di masyarakat Sasak. Dengan kata lain, sistem besiru itu sekarang sudah mulai memudar, dan hampir semua pengerjaan sawah harus di-imbali dengan uang. Mengapa hal ini sampai bisa terjadi? Apakah masyarakat Sasak sudah sedemikian materialistik dan pragmatis?
Zaman memang sudah berubah. Sistem sosial dan budaya pun akhirnya turut ikut berubah. Namun demikian, dalam pandangan saya, sistem besiru ini sebaiknya harus tetap dilestarikan. Karena, dengan sistem besiru ini keberadaan sosial kemasyarakatan masih bisa berasaskan pada nilai kemanusiaan yang "zon politicon", istilah Aristoteles, yang berarti bahwa sesungguhnya manusia yang satu dengan yang lain saling bergantung dan membutuhkan secara alamiah. Pada titik ini, model solidaritas mekanik, yang dikonsepsi oleh Durkheim di atas, akan tetap terjaga yang terikat atas dasar rasa atau emosi sebagai sesama manusia, sesama warga, sesama makhluk Tuhan, sesama saudara dan keluarga, tanpa pamrih dan motif pragmatis. Besiru adalah sistem hidup masyarakat yang benar-benar menjunjung nilai kebersamaan. SEKIAN
BESIRU, Sistem Sosial yang Menjunjung Kebersamaan
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Mei 19, 2022
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar