BETANDAK, Tradisi Sasak yang Apa dan Bagaimana?


BETANDAK, Tradisi Sasak yang Apa dan Bagaimana?

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Betandak akhir-akhir ini sering kali menjadi bagian dari seni pertunjukan budaya di event pemerintah. Dalam sajiannya sebagai seni pertunjukan, betandak dibawa oleh dua kelompok, yaitu kelompok pria dan kelompok wanita, yang secara bergiliran melantunkan tandak seperti sedang saling menjawab/merespons satu dengan yang lain. Upaya pemerintah ini bisa dinilai sebagai upaya konservasi. Dalam konteks menselebrasi atas upaya ini, saya tertarik untuk berpartisipasi, dengan mencoba membedahnya sebagai sebuah produk seni budaya Sasak dari perspektif yang sedikit holistik.

Jika dikaji secara kebahasaan, Betandak itu adalah kata kerja (verba) yang berarti "melakukan kegiatan/aktifitas tandak". Prefiks be- menjadi penanda/imbuhan khas untuk kata kerja (verba) dalam bahasa Sasak. Sama halnya, seperti kata-kata: be-gawe (mengadakan pesta), be-rarasan (mengobrol panjang), be-tangko (menghadiri penikahan), be-sapaq (bertegur sapa), be-lakoq (meminta), dan sebagainya. 

Lalu, tandak merupakan kata dasar, yang berbentuk kata benda (nomina). Tandak berarti "penanda" atau "hal yang menjadi perhatian, yang bisa dilihat oleh orang lain". Dalam hal ini "tandak" bisa juga disinonimkan sebagai "tande" atau "penandoq" yang berarti "sinyal" atau "kode". Mengapa ada bunyi/huruf /k) di akhir kata tersebut? Ini karena, Pertama, dalam bahasa Sasak, kata untuk merujuk arti "tanda" atau "sinyal" itu adalah "tande" "tandaq" dan "tandoq". Contoh: "Muk tandaqm (tandoqm) eleq oneq batur" (Saya tandai/kenali kamu dari tadi, kawan). Dengan demikian, betandak adalah untuk betandoq  atau betande atau betandaq (pakai 'glotal tipis), yang artinya: usaha untuk memberi tanda kepada orang lain dengan suara lagu yang keras. Sayangnya, di beberapa tempat cara mengucapkan kata "betandak" tidak lazim dengan cara mengucapkan kata "betandaq" atau "betandoq". Kedua, bisa ditafsirkan juga, huruf/bunyi /k/ ini bisa dipahami sebagai infleksi  dari pronomina pertama yang berbentuk posesif (milik) yang berarti "kepunyaanku", yang kemudian dibaca dengan model bacaan bunyi glottal tebal. 

Hal itu terjadi karena dahulu belum ada media komunikasi yang canggih seperti sekarang ini. Maka dari itu, orang-orang Sasak menggunakan suara sebagai tanda atau sinyal atau media pemberi informasi untuk  orang yang membutuhkan informasi tempat keberadaannya. Tandak itu milik pelaku/subyek yang dibutuhkan informasinya. Oleh karena itu, menurut orang-orang tua dulu, kegiatan betandak biasanya dilakukan ketika mereka masih berada di tempat yang lumayan jauh dari lokasi orang yang memerlukan/membutuhkan informasi keberadaan orang yang akan datang. Dengan adanya suara tandak atau betandak itu, lalu orang yang butuh tanda/kode bisa mengetahui bahwa si pelaku tandak sudah dekat atau tidak lama lagi akan sampai. Singkatnya, kegiatan betandak adalah upaya ditujukan untuk memberi tahu tentang (keberadaan/kondisi) diri si pelaku kepada orang lain.

Dalam perkembangan berikutnya, betandak atau tandak menjadi sebuah tradisi Sasak, yang dapat dikategorikan sebagai Folklor (tradisi lisan) dan sekaligus sebagai bentuk Sastra Lisan (Oral Literature). Sebagai sebuah folklor, betandak atau tandak senantiasa berpola: (1) disampaikan secara verbal dan lisan, (2) bersifat anonim jika ditulis, (3) ketika diucapkan atau dilisankan, lirik atau narasinya cenderung berubah-ubah bergantung pada versi orang yang betandak, dan (4) sering kali dilisankan dalam wujud nada atau lagu.

Sementara itu, dari sisi sastranya, bentuk tandak umumnya disajikan dalam tiga pola, yakni (1)  berpola gurindam, yakni baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua sebagai isi atau pesan; (2) berpola pantun atau lelakaq, yang mana dua baris pertama adalah sampiran dan dua baris kedua adalah isi atau pesannya, serta (3) pola diksi metaforis, yang artinya pola ini tidak memakai sampiran tetapi langsung semua baris menjadi isi atau pesan meskipun diksi-diksinya menggunakan metafora (perumpamaan). Untuk pola yang ketiga ini cenderung bebas dari segi jumlah barisnya. Ketiga pola ini bersifat opsional, yang artinya bergantung pada selera dan panjang pendeknya nafas serta variasi (undah unduh) nada yang diciptakan oleh si pelaku.

Contoh tandak yang berpola dua baris:
"Bale balaq kayukne kayuk jati oh dindengk (baris 1). Mula salaq idapk segati-gati oh dindengk" (baris 2). Sementara itu, contoh tandak yang berpola empat baris: "Kepanas jelo gamak ariq, jelo kebalit" (baris 1), Pataq reket gamaq ariq salon kedit (baris 2), Betelah juluq ganaq ariq mane semenit (baris 3), Lelah laloq gamaq ariq kemelet bedait (baris 4)". Serta, contoh yang bermetafora: "Guntur genter uni kanengk pegitaq angen leq side (baris 1), laguk mane nyelelet kisap edaq bae monyan gamak aring (baris 2). Diksi "guntur genter" dan "nyelelet kisap" adalah diksi-diksi metafora. 

Menariknya, jika dilihat pada konteks dan tempos pelaksanaan betandak ini, tandak ini bisa dikategorikan menjadi beberapa macam, yakni, di antaranya: (1) Tandak Ngujang  yaitu tandak atau kegiatan betandak pada saat mengunjungi sang pacar yang sedang memanen padi di sawah/ladang pada siang hari; (2) Tandak Panu, yaitu tandak atau kegiatan betandak pada saat melakukan pulang dari hutan dalam keadaan kecapian, sebagai upaya penghibur diri; (3) Tandak Ngaret, yaitu tandak atau kegiatan betandak yang dilakukan di saat menggembala kerbau atau sapi di tengah sawah atau ladang yang luas dan sepi, lagi-lagi sebagai upaya menghibur diri, serta (4) Tandak Midang, yaitu tandak atau kegiatan betandak tatkala mau atau sesudah berkunjung dari rumah pacar di malam hari, yang mana merasa sedih, rindu dan belum puas bertemu dengan sang pacarnya.

Apabila dilihat dari kebiasaan orang Sasak melakukan betandak, maka tampak sekali fungsi tandak atau betandak itu sebagai Media Katarsis dan sebagai Media Afektif. Media katarsis berarti tandak atau betandak sebagai media perlipur hatinya di kala sedang sedih, rindu, dan lelah dari pikiran dan perasaannya yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Dengan kata lain, orang Sasak memandang bahwa tandak atau betandak merupakan salah satu upaya diri mereka di dalam melepas isi beban hatinya sehingga bisa lebih relief. Sementara itu dari sisi media afektif, tandak berfungsi sebagai wahana untuk menyampaikan pesan dan isi hati yang bisa menyentuh kepada seseorang tentang bagaimana isi hatinya yang sebenarnya. Dalam hal ini, sering kali orang Sasak, terutama kaula mudanya, merasa kesulitan menyampaikan isi hatinya secara jujur kepada kekasihnya saat berhadapan, tetapi mampu melakukannya saat betandak dengan lantunan nada suaranya. 

Apabila kemudian direspons oleh kaum perempuan, khususnya pada konteks Tandak Ngujang dan Tandak Midang, maka itu artinya suara tandak yang dilantunkan oleh pria sebelumnya benar-benar didengar, diresapi, dan menyentuh/mengafeksi isi hati si perempuan. Dengan kata lain, tanda atau kode serta pesan dari si pria benar-benar telah tersampaikan dengan baik kepada si wanita/gadis. Tentu, si wanita juga biasanya memberi pesan dengan tandak/betandak dalam lantunan nadanya yang merdu. Pada konteks inilah kemudian mengapa ketika dipertunjukkan di panggung pertunjukan betandak "ditradisikan" dengan dihadirkannya secara resiprokal antara kelompok pria dan kelompok wanita, yang saling bersahutan/menjawab satu dengan yang lainnya secara bergiliran.

Akhirnya, betandak itu sebenarnya bernyanyi atau belakaq dengan lantunan nada tertentu yang sering tidak mengikuti nada lagu pada umumnya. Ini menariknya! Lalu, ketika pemerintah melalui dinas pariwisata dan dinas pendidikan & kebudayaan mulai melihat tradisi tandak atau betandak sebagai bagian dari rangkaian pertunjukan dalam event besar di Lombok khususnya seperti event Bau Nyale, tampaknya perlu didukung sebagai upaya konservasi dan sosialisasi terhadap eksistensi tradisi Sasak ini, meskipun hal ini masih perlu dipikirkan strategi rekayasa macam apa sehingga tradisi betandak ini bisa menyeruak menjadi salah satu kebanggaan khususnya bagi generasi muda/milenial saat ini. Dikatakan demikian, karena betandak atau tandak sejauh ini masih menjadi milik budaya/tradisi orang-orang tua Sasak saja (tradisi Zaman Old), masih belum menjadi bagian nafas budaya generasi mudanya (tradisi Zaman Now). Pun, dikatakan demikian, karena betandak merupakan salah satu ekspresi budaya Sasak yang khas, yang satu-satunya dimiliki oleh orang Sasak. SEKIAN

Mataram, 8 Mei 2022
BETANDAK, Tradisi Sasak yang Apa dan Bagaimana? BETANDAK, Tradisi Sasak yang Apa dan Bagaimana? Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 08, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.