ASUMSI SEBAB-MUSABAB BAHASA SASAK BERDIALEK BANYAK

ASUMSI SEBAB-MUSABAB BAHASA SASAK BERDIALEK BANYAK

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Cylde Kluckhon, seorang antropolog Perancis, menteorisasikan dalam bukunya "Universal Categories of Culture" bahwa terdapat tujuh macam kebudayaan universal yang selalu dimiliki dan ditemukan di setiap suku bangsa di dunia, yakni: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup & teknologi, pola pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.

Tampak jelas dalam kategorisasi di atas, bahwa bahasa menempati posisi yang amat penting di dalam kebudayaan suatu bangsa. Bahasa menjadi media komunikasi dalam proses interaksi antar individu di suatu masyarakat. Bahasa juga menjadi cermin tentang siapa dan bagaimana seseorang dan masyarakat menjalani kehidupannya. Bahasa menjadi pintu masuk di dalam melihat model keadaban dan peradaban suatu bangsa. Bahkan, bahasa menjadi "penyimpul" keterikatan suatu bangsa sehingga ia memiliki solidaritas primordial serta kekhasan pembeda di antara suku-suku bangsa lainnya.

Dengan episteme di atas,  tidaklah berarti bahasa suatu bangsa harus berwujud dalam satu performance atau penampilan yang sama  baik dari segi kosa kata, intonasi, dialek, ataupun unggah-ungguh pelevelannya. Tidak. Suatu bahasa akan tetap dikatakan dengan sebutan atau penamaan yang sama, meskipun terdapat varian/ragam atau model serta dialek yang berbeda-beda di antara satu tempat dengan tempat yang dalam satu wilayah yang luas.

Meskipun demikian, agak sedikit menarik, apabila kita mencoba mendedah konsep ini kepada eksistensi bahasa Sasak di pulau Lombok. Menariknya, karena pulau ini tergolong pulau kecil namun performance bahasa Sasak sangatlah bervariatif dari segi pengelompokan dialek, aksen, maupun glossa kata (parole) yang digunakan masyarakatnya. Menariknya ini terdorong pula jika mencoba membandingkannya dengan bahasa Jawa atau Sunda. Dua bahasa ini tampak terlihat lebih "solid" dari segi dialek kendatipun berada di wilayah yang sangat luas dengan populasi penutur yang sangat banyak. Lalu mengapa bahasa Sasak sedemikian variatifnya? 

Terdapat beberapa asumsi yang akan saya coba beberkan di tulisan ini, sebagai upaya pribadi di dalam "mengkonfirmasi" sebab musabab mengapa bahasa Sasak bisa sedemikian variatifnya. Menurut temuan, bahasa Sasak terbagi menjadi beberapa bahasa dialek yakni bahasa Sasak Bayan, bahasa Sasak Selaparang, bahasa Sasak Pujut, bahasa Sasak Pejanggik. Ada pula temuan yang membaginya menjadi keto-kete, kuto-kute, nggeto-nggeto, ngeno-ngene, meno-mene, meriyak-meriku. Temuan-teman ini memperkuat kuatnya varian bahasa Sasak secara sosiologis. 

Pertama, Lombok sebagai tempat pertemuan berbagai suku bangsa pendatang. Sudah diketahui bersama bahwa Lombok sejak dahulu kala merupakan tempat persinggungan suku bangsa dari berbagai asal. Diketahui bahwa suku bangsa Melayu menjadi suku bangsa yang dominan melakukan migrasi ke seantero Nusantara, termasuk pulau Lombok. Kemudian, dalam kurun waktu tertentu, suku bangsa Bugis, Makassar, berdatangan di Lombok. Kemudian diikuti oleh suku bangsa Jawa, Sunda, dan Bali. Dalam tempo yang tergolong baru, bangsa Arab dan China ikut menjadi bagian dari populasi di Lombok. Semua itu berdatangan seiring dengan kekuasaan politik, teknologi dan kemajuan bahari, serta dorongan pencaharian penghidupan yang lebih baik. Akibatnya, keberadaan bahasa Sasak yang sebelumnya sudah terbentuk dan dipakai oleh penduduk asli (yang konon menurut  "Babad Lombok" berasal dari keturunan pengikut Nabi Nuh) mengalami penambahan perbendaharaan kata dan ekspresi seiring interaksi di antara suku bangsa tersebut. Pada titik ini, teori asimilasi model "Melting Pot" ala Cetheau de Crevecouer memenuhi sisi kebenarannya di masyarakat Sasak awal. Meskipun begitu, masih terdapat kekhasan pengucapan dan kata yang muncul di enklave-enklave tempat suku-suku bangsa tersebut berdomisili sehingga, dampaknya, melahirkan varian bahasa Sasak yang berbeda baik dari segi glosa, intonasi, aksen, dan dialek daripada yang ada di tempat lainnya. 

Kedua, Lombok tidak mempunyai kekuasaan Kerajaan Besar yang melembagakan sistem sosial-budaya. Dalam konteks ini, ada baiknya kita mencoba "bercermin" pada eksistensi bahasa Jawa. Keberadaan bahasa Jawa bisa digolongkan relatif ajeg dalam segi performance di masyarakat Jawa. Bentuk parole atau pengucapannya dan kata-katanya relatif sama di Jawa, meskipun masih terdapat perbedaan-perbedaan di wilayah-wilayah tertentu. Akan tetapi, menariknya meskipun berbeda, ekspresi bahasa Jawa masih bisa dipahami dan dimengerti satu dengan yang lain. Ini terjadi karena adanya peran Kekeratonan besar yang masih eksis hingga saat ini, khususnya Kekeratonan Mataram (Jogja dan Solo). Dua keraton ini memanfaatkan "peran kuasanya" sejak dulu kala di dalam memajukan literasi-literasi Jawa sehingga itu semua menjadi "patokan standar" dalam berbahasa Jawa sampai dewasa ini. Lain di Jawa lain pula di Lombok, kerajaan besar yang sangat berpengaruh di dalam melembagakan sistem kebahasaan khususnya tidak ada. Memang, ada Kerajaan Selaparang dan Kerajaan Pejamggik yang dicatat sebagai kerajaan-kerajaan besar di Lombok, menurut "Babad Pejanggik" atau "Babad Selaparang". Namun, dua kerajaan ini belum mampu "mengatur" langgam atau standar bahasa Sasak yang mapan sebagaimana bahasa Jawa. Tampaknya, kedua kerajaan ini belum bisa memajukan literasi-literasi ke-Sasak-an sebagai patokan standar di dalam bahasa komunikasi. Terlebih dua kerajaan ini sudah tidak ada lagi. Akibatnya, performance bahasa Sasak menjadi sangat variatif dari segi dialek dan hal-hal lainnya. 

Ketiga, rasa primordialitas sebagai rasa kebanggaan di sejumlah tempat. Primordialitas berakar dari primordialisme, yakn: suatu perasaan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai, norma, kebiasaan yang bersumber dari ras, etnik, dan asal usul kedaerahan tertentu. Rasa ini sangat subtil dan tidak tampak, namun sangat mempengaruhi pola pikir dan bathin. Di masyarakat Sasak di Lombok, rasa primordialitas itu berawal dari hadirnya kekuasaan kedatuan yang banyak di pulau ini. Kedatuan ini adalah kerajaan kecil yang meliputi satu desa atau dusun yang dilimpin oleh datu secara turun-temurun. Pada kondisi ini, datu,  keluarga, dan punggawanya sangat berpengaruh di dalam membangun semangat nasionalisme lokal (baca: primordialisme) serta dalam mempolakan model berbahasa di tempat mereka. Pada saat yang sama, mereka juga sangat kuat di dalam membentuk sikap dan cara pandang kelokalan mereka termasuk model berbahasa. Akibatnya, semua itu mendarah daging dalam masyarakatnya sehingga hal itu pula yang menjadikan performance bahasa mereka berbeda dengan yang lain di tempat lain, kedatipun mereka sama-sama bersuku bangsa Sasak. 

Keempat, belum hadirnya media komunikasi/informasi yang bagus dan intensif di jaman dahulu. Faktor ini sangat menjadi penentu atau parameter progresi peradaban suatu bangsa.  Semakin akses komunikasi dan informasi terbuka dan terbuka lebar, semakin itu pula pengetahuan dan informasi mudah dibagi dan diakulturasi. Pada zaman dulu, tentu hal ini menjadi faktor ketertutupan budaya menjadi faktor. Komunikasi antarbudaya hanya memungkinkan terjadi hanya di tempat-tempat publik seperti pasar, pelabuhan, dan alun-alun kedautan. Akibatnya, informasi yang dibagi antar daerah pun sangat terbatas. Serta model komunikasi dan informasinya pun tidak panjang dan cenderung pragmatis, sehingga ekspresi bajasa dan kosakata tertentu saja yang bisa terpahami. Dengan kata lain, lokus-lokus komunikasi itu tidak bisa menjamin berlangsungnya komunikasi bahasa Sasak yang mendalam. Dan keberlangsungan aktifitas komunikasi di tempat-tempat itu pun tergolong jarang, hanya sekali seminggu misalnya, karena dulunya hari pasaran biasanya hanya sekali seminggu. Dewasa ini, memang media komunikasi dan informasi sudah besar dan masif. Akan tetapi, konstruk berbahasa di daerah masing-masing sudah terpolak sebagai sistem budaya yang kuat, sehingga perbedaan-perbedaan dialek berbahasa sudah tak bisa dielakkan lagi.

Menariknya, model kebahasaan langgam Sasak alus dan Sasak Linggih tampaknya bisa menjadi "simpul pemersatu" di antara sekian banyaknya varian dan dialek yang terbentuk oleh faktor-faktor tersebut. Bahasa Sasak alus masih dipakai sebagai bentuk bahasa honorifik dalam interaksi sosial, meskipun masih terbatas. Sementara itu, bahasa Sasak Linggih adalah bahasa Sasak tingkat tinggi yang umumnya dipakai saat Sorong Serah Aji Krame. Terlepas dari asal usul pembentukannya yang erat dengan pengaruh (ekspansi) Jawa dan Bali, bahasa Sasak alus dan linggih ini media komunikasi yang tampaknya paling berterimakan di antara kelompok/komunitas yang mempunyai dialek Sasak yang berbeda-beda itu. Akan tetapi, sayangnya, karena bahasa ini tidak "diajarkan secara masif dan terstruktur oleh pihak penguasa, maka literasinya akhirnya masih sangat berkurang. Hanya pada orang-orang tertentu saja yang bisa menguasainya, terutama bahasa Sasak linggih. Bahkan, sekarang ini, hanya orang-orang yang gemar belajar budaya dan tradisi sajalah yang bisa menggunakannya sebagai media komunikasi di forum formal kebudayaan Sasak. 

Hadirnya bahasa yang sifatnya mempersatukan sejatinya semakin menentukan dua hal, yaitu: (1). Bahasa itu semakin dapat memperkuat kohesifitas sistem sosial budaya bangsa Sasak yang berfilosofi Tauhid Yang Satu (Saq Saq) sehingga makin kokoh dan terhindar dari rasa centang-perenang di tengah masyarakat yang mengglobal seperti sekarang ini. Hal ini karena bahasa bisa menjadi cermin sejauh mana bangunan solidaritas bangsa terbentuk. Di samping itu, (2) hadirnya bahasa yang satu merupakan tolok ukur bahwa bahasa sejatinya menjadi identitas yang khas, yang menjadi unsur  kebudayaan Sasak yang utama dan inti seperti diteorisasikan oleh Clyde Kluckhon di atas tadi.

Demikianlah, pemikiran asumtif saya terkait kenapa bahasa Sasak berdialek banyak. Boleh diterima boleh tidak. SEKIAN

Mataram, 9 Mei 2022
ASUMSI SEBAB-MUSABAB BAHASA SASAK BERDIALEK BANYAK ASUMSI SEBAB-MUSABAB BAHASA SASAK BERDIALEK BANYAK Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 08, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.