BEGARAP (Hukum Adat Sasak Pencegah Anomie)

BEGARAP
(Hukum Adat Sasak Pencegah Anomie)
 
Oleh: H. Nuriadi Sayip

Masyarakat merupakan kumpulan individu yang terikat oleh sistem sosial budaya yang terbentuk secara turun-temurun dalam wujud kepercayaan, pengetahuan, tradisi atau kebiasaan, yang kemudian terlembagakan  sebagai adat-istiadat. Sistem sosial budaya itulah yang menjadi "perekat" yang dapat menjadi solidaritas bersama, baik bentuk "gemeinschaft" (ikatan emosional) maupun "gesselschaft" (ikatan rasional). Tersebab itu, perekatan tersebut melahirkan rasa persaudaraan, kebersamaan, dan partnership di antara setiap individu.

Cita-cita mendasar terbentuknya sebuah sistem yang disepakati secara konvensional ini adalah supaya mampu terciptanya harmoni, kenyamanan, dan keamanan bersama di antara setiap individu yang berada di dalamnya. Jika tidak, maka sebuah masyarakat mengalami "anomie" atau kekacauan sosial yang menghambat bahkan menghancurkan tujuan dasar cita-cita hadirnya masyarakat tersebut.

Cita-cita mendasar ini sangatlah mudah dibaca di masyarakat atau komunitas-komunitas Sasak di setiap kampung, dasan, atau desa, terutama di daerah pedesaan (rural areas). Terlebih hampir setiap individu acap kali berkait satu dengan yang lain secara nasab atau perikatan keluarga secara biologis. Jika bukan saudara kandung, maka bisa menjadi ipar atau menantu atau besan. Oleh karenanya, keamanan dan kenyamanan merupakan hal yang mutlak diusahakan selalu tercipta.

Akan tetapi, menariknya, cita-cita dasar itu sering kali tidaklah bisa berjalan mulus sebagaimana mestinya. Seringkali terjadi hal yang disebut "anomie" itu. Hal ini disebabkan oleh imbulnya fitnah, pencurian, atau saling mencurigai, tuduh-menuduh. Hal ini menjadikan konflik yang tak terbendung, yang berpotensi perang terbuka dan permusuhan abadi.

Dengan demikian, kepala kampung (yang biasanya disebut Keliyang atau Jeron) berusaha menjalankan adat yang terlembagakan itu, yang sering disebut sebagai "awig-awig dusun". Yaitu, kepala kampung memutuskan untuk melakukan "begarap".

Begarap merupakan tradisi atau adat yang dijalankan di masyarakat Sasak tertentu dalam rangka memperoleh keputusan yang berterimakan, tatkala segala kemungkinan pemecahan yang dicoba tidak ada satupun yang dirasa berkeadilan. Begarap ini tradisi adat yang dilakukan kerana tidak ada satupun yang mengakui sebagai pelaku atau biang kerok permasalahan atau konflik sosial. Kelompok masyarakat, yang dipimpin Keliyang, berusaha menenangkan konflik ini dengan melakukan tradisi begarap ini. Biasanya dilaksanakan pada hari Jumat sore, karena Jumat dipandang sebagai hari yang baik dan suci. Maksud dan tujuannya adalah meminta Kekuatan Tuhan yang akan menentukan siapa yang bersalah dengan ditunjukannya melalui kejadian-kejadian aneh atau buruk pada diri pelaku itu, berikut keluarga besarnya, baik dalam tempo dekat maupun dalam tempo lama. Kejadian buruk berupa kematian, insiden tragis, kenestapaan, dan kesialan.

Umumnya tradisi/adat begarap ini dilakukan ketika, misalnya, di suatu kampung sebuah keluarga (pihak 1) kehilangan hewan peliharaanya. Keluarga ini mencurigai seseorang (pihak 2) sebagai "maling tendoq" (pelaku, atau penunjuk jalan atas peristiwa pencurian itu). Namun, mereka tidak berani menuduh. Di sisi lain, si orang yang dicurigai ini pun merasakan perubahan-perubahan sikap dari keluarga yang kehilangan hewan peliharaan itu. Atas dasar itu, baik pihak 1 atau pihak 2 mempunyai hak untuk mengusulkan untuk dilaksanakannya adat begarap itu. Namun, umumnya inisiatif yang mengusulkan begarap itu munculnya dari pihak 1. 

Dengan telah diputuskan untuk dilakukannya bergarap  maka keliyang akan mengumumkan hal itu, lengkap dengan waktu kapan dan lokasi dimana. Biasanya diumumkan seminggu sebelumnya dan biasanya dilakukan di ruang terbuka, yang bisa menampung warga masyarakat yang banyak. Apabila sudah diumumkan, maka semua laki-laki yang sudah akil balig harus hadir di lokasi begarap itu, dengan meminum air suci yang dicentong atau diambil dari sepelah daun bunut (daun pohon beringin). 

Air suci yang dimaksud diambil dari Air dari makam keramat yang sudah dipercaya kekuatan spiritual dan magisnya oleh masyarakat tersebut. Umumnya, di wilayah Lombok Tengah bagian selatan, air suci yang dijadikan sebagai air minum saat begarap adalah dari Makam Nyatoq. Yaitu, air yang diambil dari sumur kecil di dekat Makam Nyatoq yang kemudian didoakan di makam tersebut, sebelum dibawa pulang. Biasanya air makam Nyatoq itu diambil oleh kiayi pada hari Rabu (waktu/hari kunjungan Makam Nyatoq) yang kemudian dibawa dengan ceret tanah (semen) yang dibungkus dengan kain putih atau kain kafan. Selain menggunakan air suci dari Makam Nyatoq, ada juga prosesi pembuatan air suci dengan pertama-tama mengambil tanaq tertentu yang kemudian diberi air, lalu didoakan oleh kiyai atau orang yang dianggap bersih hingga waktu tertentu. Karena itu, begarap juga sering kali disebut dengan istilah "Enem Tanaq".

Ketika waktu begarap tiba, maka setiap warga diharuskan secara sosial dan adat untuk datang dan meminum air suci tersebut. Jika tidak datang tanpa ada uzur atau alasan yang jelas dan berterimakan, maka dia harus dijemput. Jika tetap tidak mau datang, maka masyarakat secara umum akan "diperbolehkan" untuk mencurigai orang yang tidak datang itu secara lebih nyata. Yang artinya, orang itu akan dinilai sebagai orang yang tidak bisa dipercaya dan patut disisihkan dari pergaulan sosial berikutnya.

Orang yang ada di lokasi begarap ini datang ke kiyai yang memegang ceret wadah air suci tersebut. Biasanya, tidak hanya ceret semen wadah air suci saja yang menjadi piranti/properti begarap, tetapi juga dilengkapi sejumlah daun bunut yang masih hijau segar dan "mangkok emas", tempat ditaruh lekoq-buaq (bahan nginang) dan kepeng bolong atau kepeng bereng. Kemudian, satu per satu warga datang mendekati sang kiyai untuk diminumkan air suci tersebut. Diminumkan hanya satu teguk air suci. Tidak boleh lebih. Karena satu teguk saja sudah bermakna penyucian dan pembersihan atas diri si peminum, terbebas dari tuduhan yang dihajatkan itu.

Diyakini kemudian, apabila dalam sehari, dua hari, seminggu, atau sebulan setelah diselenggarakannya begarap itu, seseorang tiba-tiba meninggal mendadak, mengalami insiden, tabrakan, anak atau istrinya sakit, bahkan usahanya tiba-tiba bangkrut, maka lagi-lagi patut dicurigai hal-hal itu adalah tuah atau akibat dari diminumkannya air suci saat begarap tersebut. Untuk kali, masyarakat atau keluarga korban kehilangan hewan itu boleh mencurigai tetapi tidak boleh menuduh dan keliyang pun tidak boleh melakukan sanksi sosial. Karena apa? Karena, diyakini, peristiwa yang terjadi itu adalah hukuman nyata yang sudah diturunkan oleh Tuhan kepadanya. Bahkan sebaliknya, dia sebaiknya didoakan untuk segera dan insyaf atas kelakuan jahatnya. Karena hanya Tuhanlah yang bisa memberi "ampunan" dari perbuatan jahatnya.

Akhirnya, dengan melihat fakta sosial antropologis di atas, masyarakat Sasak telah memiliki "jalan keluar" di dalam menyelesaikan persoalan sosial di masyarakatnya, demi menghindari terjadinya anomie atau kekacauan sosial yang tak berujung. Begarap ini merupakan jalan keluar yang bisa menjadi awig-awig dan/atau hukum adat yang khas yang dimiliki oleh masyarakat Sasak. Hukum adat yang sejatinya masih hidup dan eksis di kelompok masyarakat Sasak di Lombok Tengah bagian selatan. Demikianlah gambaran peradaban atau keadaban masyarakat Sasak. Demikianlah majunya sistem sosial budaya masyarakat Sasak. Begarap adalah "local wisdom" yang patut dikaji dan dipelihara sebagai sebuah kebanggaan dan identitas Sasak. SEKIAN

Mataram, 6 Mei 2022
BEGARAP (Hukum Adat Sasak Pencegah Anomie) BEGARAP (Hukum Adat Sasak Pencegah Anomie) Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 06, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.