MADAQ MARE: Semoga Tradisi yang Tidak Terabrasi oleh Jaman

MADAQ MARE,
(Semoga Tradisi yang Tidak Terabrasi oleh Jaman)

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Beberapa waktu yang lalu menyeruak persoalan tentang "Madaq Mare". Hal ini dipicu oleh miskomunikasi dan kebelumjelasan pemecahan dari dua kepentingan yang berbeda antara masyarakat dan pemangku kebijakan termasuk para investor. Masyarakat ingin tetap adanya pelaksanaan Madaq Mare seperti biasanya, bebas tanpa ada pelarangan di sana-sini. Sementara itu, pihak pemangku kebijakan menginginkan supaya pelaksanaan Madaq Mare ini ditertibkan di mana masyarakat sangat dibatasi (jika tidak dikatakan: tidak boleh) melaksanakan kegiatan tersebut di pantai-pantai sekitaran kawasan Sirkuit Pertamina (MotoGP) dan kawasan yang menjadi pantauan Otoritas, dalam hal ini pemerintah dan investor, yakni di sepanjang pantai Seger, pantai Seneq, pantai Ebunut, dan pantai Kute. Persoalan ini terus mencuat dan menjadi bahasan publik di medsos beberapa waktu silam. Bahkan, hingga saat ini, tampaknya belum ada pemecahan yang solutif dan akomodatif antar satu pihak dengan yang lain.

Madaq Mare itu tradisi masyarakat Sasak di wilayah Lombok Selatan. Madaq Mare berarti berkunjung dan tinggal untuk sementara waktu di pesisir pantai dalam rangka mencari ikan, kerang, dan isi laut lainnya ketika air sedang surut sehingga dasar laut mengering. Kehadiran tradisi ini disinyalir dipicu oleh faktor alam laut selatan, terutama di pantai Seger, Seneq, Ebunut, dan pantai Kute yang mengering sampai satu kilometer lebih ketika air sedang surut, terutama pada pagi dan sore hari.

Madaq Mare dilakukan pada tiga momen, yaitu Bulan Empat, Bulan Lime, dan Bulan Enam menurut perhitungan Kalendar Sasak. Kegiatan Madaq Mare ini kemudian disebut oleh orang Sasak sebagai momen Belauq Bulan Empat, Bulan Lime,  dan Bulan Enam. Pengambilan momen Madaq ini bergantung kesepakatan bersama, dalam satu kampung dan diambil satu momen saja, kalau mau tinggal beberapa hari di sana. Warga selatan biasanya saling mengatur pengambilan waktu/momen. Apabila satu kampung sudah mengambil Bulan Empat, maka warga kampung yang lain mengambil waktu/momen Bulan Lime atau Bulan Enam. Kemudian, jika sudah ditentukan kesepakatan, maka mereka berdatangan pada satu momen itu secara bersama-sama keluarga dan tetangga ke pantai-pantai tersebut, terutama pantai Seger dan menginap selama beberapa hari (antara tiga sampai enam hari). 

Dulu, tradisi ini biasanya dilaksanakan pada musim kemarau (Musim Kebalit) ketika panenan padi atau palawija di sawah sedang tidak ada. Maka itu, mereka dapat tinggal di pesisir pantai Seger selama beberapa hari. Dengan keadaan yang leluasa begitu, mereka bisa meninggalkan kampung halamannya selama beberapa waktu lamanya, dengan membawa perbekalan dan perlengkapan yang baik. Mereka membuat "pondokan" dari kayu-kayu dengan diatapi dan dipagari daun-daun kelapa yang disebutnya "kelansah". Lalu mereka tinggal dan tidur di dalamnya, pada malam hari bersama-sama satu keluarga dan satu pondokan, setelah habis bercanda ria dan menikmati santapan makanan yang semuanya dari laut. 

Sementara itu, pada pagi hari dan sore hari, mereka semua turun ke laut yang sudah mengering dan mengambil semua isi lautan yang mampu ditangkap dan dianggapnya berharga, layak konsumsi, dan hal lainnya. Bapak-bapak dewasa biasanya mencari ikan, gurita, dan cumi ataupun hewan laut yang biasanya sukar di dapat. Mereka biasanya mencarinya dengan peralatan yang lengkap di bagian laut kering yang lebih jauh dari lepas pantai. Sementara itu ibu-ibu dan anak-anak mencari kerang, ikan kecil, siput laut, karang laut, dan sebagainya di bagian laut yang dekat dengan pantai. Seakan pembagian tugas ini berlangsung sangat alamiah. Pada waktu siang hari, tatkala air sudah pasang, mereka menghabiskan waktu dengan berenang bersama, atau dengan menaiki sampan-sampan  (yang disebut juga dengan istilah "belancaran") sembari melantunkan tandak-tandak keriangan, saling bersahut-sahutan diiringi bunyi tiupan angin dan deburan air laut. Mereka semua melakukannya dengan senang dan riang gembira. Kegiatan atau aktifitas semacam itu dilakukannya secara rutin setiap harinya.

Meskipun rutin, mereka sangat menikmatinya. Karena momen seperti ini bagi mereka adalah istimewa dan langka. Momen ini dianggapnya sebagai pelesir atau berwisata. Sehingga, mereka total membiarkan hati dan pikiran mereka demi kebahagiaan, serta tidak lagi berpikir soal pekerjaaan sebagai petani atau peladang atau pedagang saat mereka di kampung halaman mereka.

Ketika isi laut yang berhasil didapat atau ditangkapnya, mereka menikmatinya langsung sebagai bahan makanan selama tinggal di pesisir pantai, tetapi ada juga yang mereka simpan atau adon untuk dibawa pulang. Biasanya hasil tangkapan yang dibawa pulang nanti adalah ikan besar, gurita, cumi dan jenis ikan laut yang dianggapnya istimewa dan layak dibawa pulang dengan cara dikeringkan sedemikian rupa sehingga tahan lama. 

Kegiatan ini dilakukan secara rutin oleh masyarakat Sasak di bagian selatan. Kegiatan ini lakukan setiap tahun. Yang mana, dulu, sebelum ada proyek dan aset nasional seperti KEK Mandalika, Sirkuit Pertamina (MotoGP), serta perhotelan yang dibangun oleh para pemilik modal, tradisi ini berlangsung secara alamiah, tidak ada yang mengusiknya. Ia berlangsung selaras dengan nafas dan daur hidup orang Sasak, mengikuti ritme alam. 

Akan tetapi, ketika proyek dan aset nasional itu telah ada dan menjadi ikon serta kebanggaan daerah dan nasional, keberadaan tradisi Madaq Mare mulai diusik. Kehadiran orang-orang Sasak yang menjadi pelaku Madaq Mare secara turun-temurun dianggap sebagai "pengganggu". Keberadaan mereka tak ubahnya seperti "bebenes" (sampah) yang merusak kebersihan dan keasrian penataan pantai yang menjadi pesona wisata para turis dan kaum pendatang yang berduit. 

Pada konteks ini, tradisi Madaq Mare sedang mengalami abrasi eksistensial. Tradisi ini sedang dipertanyakan oleh mereka yang kini menjadi penguasa di tempat itu. Tradisi yang sebenarnya memiliki "local wisdom" tentang budaya, cara pandang, dan daur hidup masyarakat Sasak sudah mulai dinegasikan dengan kepentingan-kepentingan lain. Lalu untuk apa kita melakukan pembangunan jika hal itu tidak pula mengakomodir kepentingan masyarakat lokal? 

Kondisi keabrasian tradisi lokal harus menjadi perhatian semua pihak. Pihak yang menjadi "penentu" haruslah bersikap berimbang di dalam mengambil kebijakan. Tidak berat sebelah. Ketika ingin tetap menjadikan Sirkuit Pertamina MotoGP dan KEK Mandalika sebagai ikon wisata nasional yang mendunia, lalu kenapa tidak tradisi lokal dijadikan sebagai bagian komplementer di dalam menunjang eksistensi ikon wasata nasional itu sehingga tanpak lebih unik daripada ikon-ikon yang lain di daerah lain? Hal ini membutuhkan pemikiran dan strategi yang baik sehingga kedua-duanya berjalan seirama bagaikan alunan musik yang padu dan harmonis. Tidak perlulah dimatikan satu elemen ketika hendak memunculkan elemen yang lain  terlebih hal itu sudah sifatnya kultural khas. Terkait ini, tampaknya diperlukan semacam kajian atau penelitian komprehensif sehingga konstruk kebijakan yang dibuat benar-benar akomodatif. Jika tidak, sesungguhnya kita telah menjadi sosok Kemal Attaturk di daerah dan bangsa kita sendiri pada zaman yang kita anggap sudah serba maju begini. Apa mau seperti itu? Saya yakin tidak mau seperti itu, bukan. SEKIAN

Mataram, 16 Mei 2022
MADAQ MARE: Semoga Tradisi yang Tidak Terabrasi oleh Jaman MADAQ MARE: Semoga Tradisi yang Tidak Terabrasi oleh Jaman Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 16, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.