PERESEAN, Tradisi yang Terus Hidup Tak Lekang oleh Waktu

PERESEAN
(Tradisi yang Terus Hidup Tak Lekang oleh Waktu)

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Dalam kajian budaya yang dikembangkan oleh departemen Pengkajian Amerika (American Studies) di seluruh dunia, ada satu model khas yang menjadi "keharusan" ketika melakukan kajian atau analisis pada satu fenomena kehidupan manusia baik itu politik, sosial, ekonomi, budaya, sastra dan lain sebagainya. Model khas itu adalah bangunan teoretis-metodologis yang disebutnya model interdisipliner. Tokoh-tokoh intelektualnya yang menggagas model perspektif ini di antaranya adalah Louis Parrington, Henry Smith, Leo Marx, dan lain sebagainya, yang kemudian dikelompokkan sebagai penganut model interdisipliner American Studies yang bernama "Myth and Symbol School" di pertengahan abad ke-20.

Dengan model ini, pembaca, pengkaji ataupun peneliti diharuskan secara metodologis untuk menerapkan beberapa perspektif teoretis sebagai pendekatan ataupun framework di dalam membaca atau mengkaji fenomena tersebut. Dia diharuskan untuk menggunakan data atau informasi sosiologis, antropologis selain data linguistik ketika dia mengkaji sebuah fenomena. Fenomena, dalam hal ini, dijadikan sebagai "teks", selaras pula dengan konsep Clifford Geertz, yang harus dikonkretisasi dan dimaknai sedalam dan seluas mungkin. Akibatnya, hasil yang diperoleh kemudian diharapkan sebagai hasil yang komprehensif atau holistik, bukan monolitik. 

Tidak hanya itu, Leo Marx, dalam bukunya yang berjudul "Machine in the Garden" mendetailkan model interdisipliner tersebut dengan pola "From Micro to Macro", yang mana seorang pengkaji atau peneliti hendaknya berangkat dari isu atau fenomena yang kecil secara mendalam (Micro) lalu melebarkan kajiannya dengan memposisikan isu atau fenomena tersebut pada satu "ruang" atau "sistem" yang berkaitan serta berkelindan dengan isu atau fenomena yang lain (Macro). Persis seperti di dalam bukunya, ketika dia membahas kemajuan suatu teknologi akibat kemajuan jaman modern, dia membahas pula ide-ide pastoral yang menjadi ciri khas pembangun visi dan konstruk kebudayaan serta peradaban Amerika Serikat dalam konteks hari ini yang dikaitkan kemudian dengan konteks masa lalu (historis) dan masa depan (futuristis).

Sehubungan dengan model perspektif di atas, mari kita mencoba membaca fenomena budaya Sasak yang bernama "Tradisi Peresean" dalam sudut pandang model interdisipliner tersebut. Dalam lingkup ini, tradisi itu kita posisikan sebagai hal yang bersifat micro yang kemudian kita coba dedah lagi dalam konteks yang lebih macro terkait lanskap kebudayaan Sasak.

Peresean berasal dari kata "perese" yang mengacu pada sebuah kegiatan yang dipertunjukkan dengan maksud sebagai hiburan. Istilah "perese" itu berasal dari asli bahasa Sasak yang yang artinya "bertanding". Dengan kata lain, istilah itu bukan diambil dari kata "perisai" meskipun pada prakteknya kegiatan bertanding ini menggunakan properti yang disebut "ende" (perisai). Kata "perisai" itu bahasa Indonesia yang mulai dikenal dalam sistem kebahasaan orang Sasak sejak Negera Indonesia ini merdeka. Sementara itu, kata "perese" sudah dikenal jauh sebelum itu. Disinyalir istilah ini sudah muncul sejak abad ke-13, berarti jauh sebelum Indonesia dan bahasanya itu ada. Dengan kata lain, kata "perese" merupakan istilah atau glossa asli bahasa Sasak. Bukan istilah yang diambil dari kata "perisai" yang kini dipakai di artikel-artikel yang ditemukan di mesin pencarian Google.

Memang,menurut beberapa sumber referensi, disebutkan bahwa tradisi Peresean ini sudah muncul sejak abad ke-13 (sekitar tahun 1200-an). Ini berarti sudah cukup lama. Ia muncul era Singosarian di Jawa, sebelum Gunung Samalas meletus. Disebutkan bahwa kemunculan tradisi Peresean ini, dahulu, ditujukan sebagai bagian dari ritualitas untuk meminta turunnya hujan. Kendatipun terkesan animisme-dinamisme, tradisi ini patut dipandang sebagai upaya kultural bangsa Sasak kala itu di dalam mendekatkan diri kepada Sang Khalik betapa mereka mengakui bahwa karunia hidup mereka amat bergantung pada "Paice Neneq Kuase" (Anugerah Tuhan yang Maha Kuasa). Dalam konteks ini, masyarakat Sasak, pada era itu sampai era-era menjelang jaman modern, meyakini bahwa aliran darah dari para "Pepadu" (aktor peresean) menjadi simbol akan turun atau tumpah ruahnya hujan. Dengan kata lain, semakin banyak darah mengalir keluar dari raga akibat pukulan perese maka dianggapnya air hujan akan semakin banyak.

Dalam praktiknya, relatif tidak banyak yang berubah sejak kemunculannya hingga sekarang ini. Hanya saja ada penambahan dari segi ornamen komplementer dan properti yang digunakan. Dulu, perese tidak menggunakan perisai (Ende) yang berbentuk segi empat dengan dilapisi kulit kerbau atau sapi, tapi dulu perisai/ende untuk peresean masih menggunakan properti ende yang seadanya. Masih menggunakan pagar bambu berbentuk bundar model "Keleyung" (alat ayakan beras/padi), ada pula yang menggunakan Caping atau Kopiyah Petani yang berukuran besar. Sementara itu, bahan untuk memukul tidak harus rotan, tetapi kayu kukun (nama dalam bahasa Sasak) atau kayu banten (nama dalam bahasa Sasak). Bahkan menurut informasi ada yang menggunakan besi, meskipun data soal ini tidak begitu kuat.  Jadi, perlengkapannya masih sangat sederhana. Selain itu, gamelan yang dipakai dulu hanya gendang dan rincik saja. Akan tetapi, sekarang, seiring selera dan kebutuhan jaman, semua itu tampak lebih tertata dan lengkap. Sekarang sudah menggunakan rotan sebagai alat pemukul dengan bahan ende dari kulit serta lebih rapih.  Tidaklah mengherankan, waktu terus berjalan dan sangat panjang, sehingga perubahan demi perubahan terjadi.

Dalam praktiknya, memang dilaksanakan di tempat tanah lapang yang luas. Soal ini sejak dulu memang sudah demikian adanya, jika tradisi itu dimaksudkan sebagai ajang ritual atau "sangkep beliq dise". Menariknya, sejak agama Islam menguat sebagai nafas religiusitas orang Sasak, tradisi peresean sedikit bergeser pemanfaatannya. Apabila awalnya peresean dijadikan sebagai agenda utama ritualitas, peresean, dalam ritual minta hujan pada tradisi menguatnya Islam, digeser sebagai wujud kesyukuran atau pesta bersama dengan riang gembira setelah hujan turun. Dalam hal ini, sholat minta hujan atau sholat sunat Istiskoq menjadi agenda utama, yang dipimpin oleh kiyai atau tuan guru, tidak lagi oleh dukun atau pawang hujan. 

Dalam pelaksanaannya, para "Pepadu" berasal dari warga seluruh desa. Warga umum, tidak harus ditentukan berupa perwakilan kampung. Tidak! Pepadu itu ya warga. Yang diambil atau ditunjuk secara spontan di arena peresean. Warga yang melakukan peresean itulah yang disebut otomatis pepadu. Meskipun sekarang ini, istilah ini mengalami makna menyempit, yaitu khusus mengacu pada orang yang dikenal angoh, sakti, dan terampil ber-perese. Dalam konteks pelaksanaan ini, ada lima pihak/pelaksana yang harus ada, yaitu: (1) Pepadu perese berjumlah dua orang, yang bertanding; (2) "Pekembar Sedi" berjumlah dua orang yang bertugas mencari warga sebagai pepadu peresean (3) "Pekembar Tengaq" berjumlah satu orang, bisa ditambah dua orang, tergantung kebutuhan yang bertugas sebagai wasit utama sekaligus juri; (4) Pemberi hadiah atau "Peris" yang bertugas sebagai pemerlihat hadiah supaya warga tertarik di awal acara dan pemberi hadiah untuk setiap pepadu yang tampil; dan (5) Grup gamelan yang bertugas sebagai penyemarak acara.

Peresean berlangsung selama beberapa ronde. Biasanya 4 sampai 5 ronde, bergantung kekuatan dan keseruan dari permainan. Dalam 1 ronde ditaksir kurang lebih berlangsung 7 sampai 10 menit. Namun, soal ini bergantung pada kuasa prerogratif sang Pekembar terutama Pekembar Tengaq. Saat sudah ditentukan siapa pepadu dan lawan tandingnya ada, setiap pepadu harus melepas baju. Yang dipakai kemudian adalah "Sapuq" (kain penutup/pengikat kepala), "Bebet" (kain pengikat pinggang) yang umumnya di dalamnya ada "Pembadong/Bebadong"yang berisi kekuatan magis, dan "Selewoq" (kain atau jarik penutup paha sampai lutut. Tidak lupa pula, setiap pepadu mempersiapkan mental dan diri mereka dengan rapalan-rapalan mantra. Setelah usai, baru Pekembar Tengaq memanggil kedua pepadu dengan memberi penjelasan terkait aturan permainan, salah satunya adalah bagian badan yang boleh dipukul (wilayah pinggang sampai kepala).  Setelah selesai, Pekembar Tengaq meniup pluit  lalu permainan peresean berlangsung. Suara gamelan dan teriakan riuh penonton semakin membawa suasana semakin meriah bahkan memantik keberanian dari kedua pepadu. Apabila di fase ronde tertentu, ada pepadu yang berdarah atau terluka, maka permainan dihentikan dan langsung dinyatakan kalah. Namun, apabila keduanya tampak tangguh maka akan dilanjut sampai ronde terakhir sampai ditentukan siapa pemenang, yang kalah, atau hasilnya seri. Demikianlah keberlangsungan dan keseruan prosesi peresean ini.

Secara antropologis, tradisi peresean ini terus hadir dan diselenggarakan sebagai salah satu ekspresi budaya bangsa Sasak. Eksistensinya seakan tak lekang oleh waktu sebagai kebanggaan dan identitas bangsa Sasak. Rasanya belumlah syah parade atau festival budaya Sasak apabila tradisi peresean ini belum ditampilkan. Terlebih lagi, dewasa ini peresean ini sudah dijadikan sebagai "Seni Pertunjukan" yang menjadi seni penyambutan (Welcoming Dance) untuk tamu-tamu istimewa, menggantikan atraksi seni Gendang Beleq.

Fakta di atas menandakan bahwa tradisi peresean menyiratkan nilai-nilai yang menjadi cerminan karakter orang Sasak. Di antaranya, yaitu: Pertama, tradisi peresean menyimbolkan kejantanan, keberanian, dan ketangkasan orang Sasak. Laki-laki Sasak harus memiliki jiwa berani dalam segala hal dan di segala medan. Keberanian ini menjadi variabel karakter yang ditanamkan oleh orang tua, terlebih kondisi sosiologis masyarakat Sasak yang cenderung "keras". Akibatnya, di masyarakat Sasak, orang yang pemberani sangat berpotensi menjadi pemimpin. Kedua, tradisi peresean menyimbolkan nilai sportifitas. Di balik sportifitas, ada nilai-nilai penyerta berupa kejujuran, ekualitas, penghargaan, dan taat pada aturan. Karenanya, tradisi peresean sebenarnya memberi edukasi yang baik bagi orang Sasak, terutama laki-lakinya, sebagai orang-orang yang diharapkan terus bersikap berbudi luhur yang selalu menjunjung nilai-nilai tersebut di tengah masyarakatnya. 

Demikianlah sekelumit tentang tradisi peresean dari sudut pandang Interdisipliner "Myth and Symbol School". Tradisi ini memang satu bentuk budaya Sasak, namun demikian, ia menyimbolkan nilai-nilai yang menjadi cerminan karakter pemiliknya. Sasak itu bangsa yang boleh jadi tampak keras dari sikap, karakter, namun sesungguhnya ia adalah "empan papan". Artinya, Sasak sangat memahami kapan harus keras dan kapan harus lembut, tergantung situasi dan kondisi yang menuntutnya begitu. Namun, di balik semua itu, Sasak itu apa adanya, terbuka, "what you see what you get". Karenanya, dengan hidupnya peresean sebagai tradisi yang lintas generasi dan jaman, beranilah kita mengatakan bahwa peresean sejatinya telah dan sedang menanamkan nilai-nilai luhur secara alamiah sehingga orang Sasak merupakan suku bangsa yang berperadaban tinggi dan tua. SEKIAN

Mataram, 18 Mei 2022
PERESEAN, Tradisi yang Terus Hidup Tak Lekang oleh Waktu PERESEAN, Tradisi yang Terus Hidup Tak Lekang oleh Waktu Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 18, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.