NGEBONTOT, Cara Orang Sasak Menyambung Rindu dan Doa

NGEBONTOT
(Cara Orang Sasak Menyambung Rindu dan Doa)

Oleh: H. Nuriadi Sayip

Clifford Geertz, antropolog Amerika yang sering meneliti di Indonesia, menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif, sebuah konsep semiotik, dimana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang sifatnya konkrit. Dalam usahanya untuk memahami kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam (thick description).

Geertz, konkritnya, menawarkan konsep kebudayaan simbolik dimana konsep yang membutuhkan suatu pendekatan yang sifatnya hermeneutik. Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia semiotik. Pendekatan hermeneutik inilah yang kemudian menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan diinterpretasikan. Pengaruh hermeneutik dapat kita lihat dari beberapa tokoh sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti Kenneth Burke, Susanne Langer, dan Paul Ricouer. Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan fitur/keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik.

Mengikuti framework (cara pandang) yang diungkap oleh Geertz di atas, maka semua ekspresi dan/atau fenomena budaya yang ada dan berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat Sasak, adalah teks. Teks yang harus dibaca, dimaknai, dan diinterpretasikan Dengan diposisikannya fenomena budaya sebagai teks yang harus dibaca, dimaknai, dan diinterpretasi sehingga bisa memberi kontribusi lebih kepada masyarakat yang menjadi pelaku serta yang menjadi non-pelaku fenomena budaya tersebut. Paling tidak, budaya ini memberi nilai, pengetahuan, dan kebanggaan bagi pelakunya.

Terkait dengan konsep ini, Ngebontot dapat dipandang sebagai fenomena budaya yang bisa dijadikan teks untuk kita baca dan pelajari. Lalu setelah itu, kita mencoba menguak apa, bagaimana, dan mengapa ngebontot dilaksanakan oleh orang Sasak pedesaan.

Ngebontot itu adalah sebuah aktifitas ritual yang dilakukan oleh sebuah keluarga, yang dipimpin ibu rumah tangga, dengan menyediakan makanan istimewa diperuntukkan bagi anggota keluarga yang telah mati dan kemudian bagi keluarga yang masih hidup. Tujuannya adalah mengharap kehadiran mereka (orang yang telah meninggal itu) datang atau hadir bersama semua anggota keluarga yang masih hidup untuk bersama-sama menikmati kenikmatan, kesenangan, dan kegembiraan keluarga melalui santapan makan secara bersama-sama.

Ngebontot berasal dari kata "ebontot" yaitu bagian sisi depan rumah yang dijatuhi air hujan dari atap. Kenapa disebut begitu? Karena (1) aktifitas ritual itu hanya dilakukan di rumah saja, tidak dilakukan di masjid atau di makam tempat dikuburkannya sanak keluarga yang sudah meninggal; (2) dilakukannya karena diyakini "saudara-saudara kembar" orang-orang yang telah meninggal itu rata-rata ditanam/dikubur saat lahir dulu di sekitaran ebontot rumah; dan (3) dilakukannya aktifitas ngebontot hanya bersama anggota keluarga inti saja, tanpa mengundang kiyai dan jamaah seperti biasanya acara tahlilan atau zikiran.

Aktifitas ngebontot ini biasanya tidak direncanakan jauh-jauh hari, tetapi sering kali spontan. Ini tergantung dari jenis masakan yang disajikan dan dorongan hati sang ibu rumah tangga yang menyiapkan hidangan. Biasanya tatkala memasak daging, ayam, atau ikan yang semua jenis lauk pauk ini dulunya masih dianggap "istimewa" dan jarang-jarang untuk bisa dinikmati. Ini karena orang Sasak di pedesaan adalah berpenghidupan tani atau agraris, bukan nelayan. Lalu, dengan adanya masakan istimewa itu, maka sebelum disantap oleh anggota keluarga yang masih hidup, terlebih dahulu sang ibu menyajikanya di atas "nare" (nampan) atau tempat sajian makanan ala Sasak. Lalu masakan ini ditutupi kudung/tudung yang disebutnya dengan nama "tembolaq" atau "temolaq". Lalu, sang ibu menyiapkan dupa. Pada saat dupa dinyalakan, sang ibu biasanya berkata dengan penuh penjiwaan, memanggil nama-nama orang-orang yang sudah meninggal untuk datang dan makan bersama. Tidak lupa sang ibu berkata sebelum mengakhiri ucapannya dengan berucap: "Eakt bareng-bareng medaran, sempalaht pade selamat bahagie dait teridhe siq Saq Kuase" (Kita akan sama-sama makan barsama, semoga kita selamat bahagia dan mendapat ridha Yang Maha Kuasa). Setelah beberapa saat lamanya, biasanya setelah kepulan dupa meredup, maka baru anggota-anggota keluarga yang sudah dari tadi siap-siap untuk makan, sang ibu mempersilakan mereka semua untuk makan.

Aktifitas ngebontot ini dilaksanakan pada malam hari, atau tepatnya pada saat makan malam. Makanan yang sebelumnya disajikan secara istimewa itu biasanya dinikmati atau dimakan untuk sang bapak, atau anak paling sulung, atau anak yang dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Tidak jarang juga makanan istimewa itu dibagi-bagi untuk semua anggota keluarga yang hadir di aktifitas ngebontot tersebut.

Dengan mengikuti konsep Clifford Geertz yang mengatakan bahwa fenomena budaya sebagai teks yang perlu dibaca dan diinterpretasi, maka ngebontot ini jelas mempunyai makna simbolik. Sehubungan dengan ini, paling tidak ada dua makna yang bisa diambil dari kebiasaan orang Sasak tersebut. 

Pertama, ngebontot merupakan wahana atau momen di dalam membangun rasa keterikatan familial di antara anggota keluarga yang masih hidup dengan anggota keluarga yang sudah meninggal. Rasa keterikatan familial itu, bagi masyarakat Sasak, penting karena mereka meyakini bahwa mereka (orang yang sudah meninggal) sejatinya masih hidup. Mereka masih diyakini berada di sekitar rumahnya. Ini terbukti dengan adanya keyakinan orang Sasak tentang "Ketemuq" di mana orang-orang meninggal masih diyakini bisa menyapa orang-orang yang masih hidup dengan merasakan gejala penyakit yang mirip, sebagai penyebab meninggalnya orang yang sudah meninggal, lalu diobati dengan cara "Peretus".

Kedua, berkaitan dengan yang pertama, ngebontot adalah cara orang tua di dalam membangun rasa cinta, ingatan, dan kerinduan anggota keluarga yang masih hidup supaya mereka tetap dan selalu ingat kepada anggota-anggota keluarga yang sudah meninggal. Dengan mengingatnya, diharapkan kemudian anggota keluarga yang masih hidup untuk tidak lupa diri, tidak boleh berbahagia berlebihan, serta berkenan untuk membagikan rasa suka cita kepada mereka yang sudah meninggal. Bahwa kebahagiaan dan suka cita yang dinikmati dalam bentuk masakan istimewa itu, diyakini, bisa juga ada andil dari mereka yang sudah meninggal. Selain itu, dengan ungkapan kerinduan ini, orang yang masih hidup tidak dianggap sebagai "kacang yang lupa kulitnya".

Ketiga, ngebontot merupakan ekspresi doa ritual-spiritual dari orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal. Orang Sasak yang meyakini adanya "doa jariyah" senantiasa melakukannya dengan berbagai cara, salah satunya dengan aktifitas ngebontot ini. Terlepas dari pembacaan kaum puritanis yang jelas'jelas aktifitas ini bisa digolongkan sebagai khurafat atau syirik atau bahkan sinkretis, mereka tidak berpikir sejauh itu. Mereka tetap meyakini bahwa dengan cara ini doa kepada Yang Kuasa adalah tujuan akhirnya. Dengan kata lain, dari aktifitas ngebontot ini, orang Sasak berdoa semoga Tuhan senantiasa memberi keselamatan dan kebahagiaan kepada anggota keluarganya yang sudah meninggal. Bahkan, dari aktifitas ngebontot ini, mereka mengharapkan supaya orang-orang sudah meninggal itu juga mau mendoakan anggota keluarga yang masih hidup untuk bisa hidup bahagia dan sukses. 

Ini semua masih tetap dilakukan oleh orang Sasak karena mereka sangat meyakini Alam Nyata dan Alam Ghoib serta Alam Dunia dan Alam Kubur masih mempunyai keterhubungan yang berkait. Konkritnya, ketika mereka melakukan kebaikan untuk orang yang sudah meninggal, maka mereka meyakini hidupnya pun akan bisa lebih baik dan bahagia serta diridhoi Allah. Pun, ketika mereka senantiasa mendoakan orang yang sudah meninggal, maka mereka akan diridhoi Allah serta akan bisa tetap berkumpul bersama anggota-anggota keluarganya yang sudah meninggal itu kelak di alam Kubur ataupun di alam Akhirat. Sedemikian itu makna simbolik ngebontot. Sedemikian iti cara orang Sasak tetap menyambung rindu dan doanya.

Oleh karena itu, marilah kita coba membacanya secara holistik bahwa ngebontot merupakan sebuah tradisi ritual sederhana namun fungsi dan sifatnya sangat transenden dan sosial sekaligus. Janganlah sedikit-dikit kita hanya menilainya sebagai hal yang sinkretis dan non fungsional di era yang milenial ini. 

Mataram, 10 Mei 2022
NGEBONTOT, Cara Orang Sasak Menyambung Rindu dan Doa NGEBONTOT, Cara Orang Sasak Menyambung Rindu dan Doa Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Mei 10, 2022 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.