DARI GEMBALA HEWAN HINGGA RITUAL NEMOEQ MOTO SEONG
Oleh: H. Nuriadi Sayip
Salah satu tradisi yang hampir punah saat ini adalah tradisi "Nemoeq Moto Seong". Hal ini terjadi karena seiring mulai berkurangnya animo masyarakat untuk memelihara hewan-hewan peliharaan terutama kerbau. Hewan peliharaan yang masih ngetrend untuk dipelihara hingga saat ini adalah sapi, itupun dipelihara dengan model "peng-kandang-an, tidak seperti dahulu, yang mana sapi atau kerbau atau kambing dilepas berkeliaran di ladang atau sawah tanpa diikat.
Memang, dahulu, masyarakat Sasak biasanya memelihara hewan peliharaannya dengan cara dibiarkan lepas, setelah dikeluarkan dari kandang (bare), dengan cara di-aret atau digembala si sawah, di ladang, di perbukitan, bahkan di hutan. Kerbau-kerbau bebas berjalan mencari rumput sendiri, sejauh tempat atau wilayah itu tidak dilarang dengan adanya tanda pagar (lambah) atau pun penanda tiyang yang disebut sebagai "saweq". Dalam konteks ini, penggembala hanya mengikuti ke mana rombongan kerbau atau sapinya berjalan, karena biasanya memang rombongan kerbau atau sapi itu sudah tau tempat-tempat di mana mendapat makanan dengan kekuatan intuisi dan inderanya. Tugas penggembala hanya menjaga keamanannya dan menghalaunya jika mengganggu tanaman musiman seseorang berupa tanaman padi, palawija, jagung, rumput gajah, pohon turi, dan lain sebagainya.
Tampaknya model pemeliharaan seperti ini sudah sulit dilakukan. Ini karena hampir semua sawah ditanami palawija san pohon turi, setelah panen padi. Hampir semua ladang sudah dijadikan sebagai lahan produktif untuk menanam palawija juga. Bahkan, di pegunungan di sepanjang pantai selatan, yang dulunya sebagai tempat menggembala hewan ternak secara bebas, kini sudah rata-rata berpindah pemilik ke investor-investor, yang kemudian dijadikan sebagai tempat perhotelan dan obyek-obyek pariwisata. Maka itu, satu-satunya model pemeliharaan hewan ternak yang aman sekarang ini adalah model peng-kandang-an. Iya, zaman sudah berubah!
Meskipun demikian, tradisi nemoeq dengan menggunakan moto seong masihlah ditemukan di beberapa tempat di daerah pedesaan. Mereka yang masih menjalankan tradisi ini adalah yang tentu masih memelihara hewan ternak. Mereka melakukannya sebagai cara dan atau ikhtiar mereka di dalam memberkahi hewan peliharaannya supaya tetap terpelihara dengan baik dan menghidupi.
Meskipun sudah bergeser, masyarakat Sasak di pedesaan masih tetap memandang bahwa kepemilikan hewan ternak itu menjadi "simbol keberadaan dan properti" mereka. Dengan kata lain, mereka masih memandang bahwa dengan kepemilikan hewan, mereka masih bisa diakui sebagai orang yang berada atau kaya. Semakin banyak hewan yang dipelihara, semakin itu pula dia dianggap sebagai yang berada atau kaya. Walaupun begitu, tujuan memelihara hewan ternak adalah sebagai wahana untuk menabung, yang mana mereka mempunyai "jaminan hidup" yang bisa dipakai kalau-kalau ada kebutuhan mendadak/mendesak di kemudian hari.
Dengan lintang-lingkung persoalan serta motif hidup yang demikian itu, maka Nemoeq Moto Seong menjadi penting dilakukan secara berkala oleh orang Sasak yang mempunyai hewan ternak.
Nemoeq adalah acara ritual yang secara khusus diadakan untuk meminta doa kepada Yang Maha Kuasa demi terjaga dan terpeliharanya hewan ternak. Prosesi ritual ini dilakukan pada malam hari, waktu magrib, pada malam Jumat (Kamis Malam) dengan mendatangi kandang hewan ternak. Pertama-tama sang pemilik hewan ternak menyiapkan sajian yang dinamai "Moto Seong", yaitu beras yang digoreng kering (disangrai), lalu ditaburi gula jawa dan parutan nyiur. Ada pula yang dibuat bulat-bulat khususnya beras sangrai yang ditumbuk lalu dicampuri gula jawa yang sudah ditanak. Moto seong yang dibuat bulat-bulat ini dinamai "kerake".
Setelah selesai proses pembuatannya, Moto Seong ini disajikan di atas wadah yang dinamai "teplak" yang ditumpuk di atasnya dengan dilingkarkan kerake-kerake. Tidak lupa juga ditambahi suwir-suwir daging ayam. Menariknya, semakin hewan peliharaan berjumlah banyak, maka porsi sajian moto seong semakin banyak, bahkan jumlah ayam yang dipotong yang dagingnya disuwir-suwir pun semakin banyak pula. Lalu, dibawa ke tempat acara, yaitu di depan pintu masuk kandang yang disebut "tanggluk".
Semua keluarga pemilik hewan peliharaan, berikut para warga kampung, diharapkan hadir, yang dipimpin oleh laki-laki yang paling tua (kakek, atau ayah) yang dianggap sebagai "ketoaq" atau orang yang paling dituakan dan dihormati.
Di depan tanggluk, ketoaq itu duduk bersila, yang pertama-tama dia memukul kayu tanggluk, lalu membuka tanggluk kandang itu, lalu membunyikan "kerotok" atau kalung bel dari kayu yang biasanya dikalungkan di salah satu hewan ternak, yang dianggap sebagai pemimpin rombongan. Setelah itu, kakek atau ayah yang berperan sebagai ketoaq itu merapalkan doa-doa, yang sebelumnya dia nginang terlebih dahulu. Inti doanya adalah permohonan kepada Tuhan supaya berkenan menjaga hewan ternaknya dari pencuroan dan musibah, serta meminta kekuatan leluhur untuk ikut mendoakan hewan ternaknya supaya tetap setia hidup bersama dengan diri pemilik hewan peliharaan tersebut.
Salah satu baris rapalan yang diucapkan, misalnya, seperti berikut: "Baloq Tate, selapuq ladeh, saq araq leq timuq ebat, lauq daye...silak, aneh pade dateng...seriuq seremin kao sampim dowe bandem...pade due, pade jagaqn...aneh silaq..." (Para Leluhur, baik yang ada di timur, barat, selatan dan utara, mari kita berkumpul, silakan disaksikan bersama rupa keadaan hewan ternakmu, hartamu, mari kita semua sama-sama mendoakannya...), dan seterusnya.
Setelah itu, sang bapak atau kakek yang bertugas sebagai ketoak itu pun masuk dan memberi tanda sembek (nginang) di pimpinan kerbaunya. Kemudian, dia mengambil moto seong yang ada di atas sajian di teplak yang ada di dekatnya untuk dilemparkan ke semua penjuru kandangnya. Pada saat melemparkan genggaman moto seong itu, dia tidak henti-hentinya berdoa demi keselamatan hewan ternak dan pemiliknya.
Ketika prosesi itu sudah selesai yang ditandai dengan pemberian aba-aba tanda selesai dari sang ketoaq, maka semua orang yang hadir di acara itu menyantap sajian moto seong tersebut. Menariknya, ketika acara moto seong ini, tidak hanya anggota keluarga saja yang datang, tetapi semua tetangga pun diundang untuk datang, dengan membawa piring atau mangkok untuk mewadahi sajian moto seong itu. Semakin ramai warga yang datang, maka acara Nemoeq ini dianggap sukses, yang mana mereka juga dianggap turut mendoakan dan bergembira atas acara nemoeq tersebut.
Hadirnya Nemoeq Moto Seong sebagai tradisi menandakan bahwa konstruk budaya dan kesadaran (consciousness) orang Sasak itu adalah religiusitas. Bahwa kehidupan, pencapaian, dan harta kekayaan merupakan "titipan/pemberian dari Yang Maha Kuasa". Oleh karenanya, Nemoeq Moto Seong hadir ditujukan dalam rangka mengharap keridhaan dan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa sehingga hewan ternaknya, yang dulunya digembala lepas bebas di alam bebas, supaya tetap terjaga, aman dari pencuri dan penyakit, serta bisa tetap menghidupi pemiliknya sebagai properti harta kekayaan utama atau yang membanggakan. Selain itu, masih dlaam konteks religiusitas, acara Nemoeq Moto Seong juga dijadikan sebagai momentum bagi pemilik hewan ternak untuk berbagi, bersedekah, dengan membagi-bagikan makanan berupa "moto seong" kepada seluruh tetangga dan warga. Lagi-lagi berbagi atau bersedekah ini dapat diartikan sebagai ungkapan kesyukurannya di samping berbagi rasa kebahagiaan dan keriangan kepada semua orang yang hadir. Perlu diingat, sajian moto seong itu, bagi mereka, adalah makanan yang langka dan tidak sembarangan dibuat karena erat dengan nilai ritual. Ia dihadirkan hanya saat Nemoeq saja dan itu hanya dilakukan sekali enam bulan, atau bahkan sekali setahun, ketika ada niatan berdoa dan syukur. Oleh karenanya, makanan ini selalu dianggap "istimewa". Dan ini sebenarnya adalah kuliner yang amat khas milik orang Sasak. SEKIAN
DARI GEMBALA HEWAN HINGGA RITUAL NEMOEQ MOTO SEONG
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Mei 13, 2022
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar