MENELUSURI JEJAK RELIGIUSITAS (ISLAM) DI LOMBOK DALAM NASKAH JATISUARA (Bagian 2)
Oleh: H. Nuriadi Sayip
Aji Darma hanampani wangsit
Kahi bagus paran karsanira
Hana sasmita mangkane
Jatining lanang ngiku
Hing jro lanang hana pawestri
Hing jro wadon punika
Hanana kakung ngiku
....
Selain pertapaan atau berkhalwat di tempat rahasia, melakukan perjalanan menjadi sangat vital dalam proses penemuan jati diri bagi orang Sasak yang menempuh ajaran sufisme. Orang yang melakukan model ini dikenal sebagai Pejalan Tradisi.
Bagi mereka, perjalanan merupakan intisari dari proses akuisisi pahamaman serta pembatinan/penjiwaan terhadap ajaran Katauhidan Kang Hiyang Rahman yang dilakukan oleh para penganut Islam ala sufisme, di masa-masa awal kehadiran Islam di Nusantara, khususnya di Lombok. Pengembaraan itu suluk, yang diiktiqodkan sejak awal melakukan perjalanan.
Perjalanan yang diiktiqodkan berarti perjalanan yang fisik dan bathin ditransendenkan secara terus-menerus kepada Allah SWT. Wujudnya kemudian, bagi yang melakukannya, adalah sikap tawaduq, pasrah, ikhlas, serta sabar terhadap segala rona-rona yang dihadapi di sepanjang perjalanan itu. Baik itu berwujud Keberuntungan maupun berwujud Keburukan. Baginya, itu adalah nikmat. Baginya itu adalah anugerah untuk selalu ingat akan Yang Maha Kuasa, yang secara konsisten ditancapkan serta dihidupkan dalam Kalbunya. Perjalanan ini kemudian serupa "laku" menuju kesempurnaan pemahaman dan penjiwaan diri (nafs) sebagai hamba Allah yang fana. Pada posisi itu, dia sudah mencapai titik yang -- kata para ulama -- sebagai tingkat hakikat dan ma'rifat, yang sifatnya sangat sirr (rahasia).
Maka demikianlah yang dilakukan oleh Jatisuara, sebagai salah satu representasi sekaligus "mental evidence" atas fakta keberadaan penganut Islam di generasi awal historisitasnya di Lombok.
Tatkala di Lombok, Jatisuara sampailah ia di sebuah padepokan yang ternyata dipimpin oleh seorang pengulu kharismatik bernama Aji Darma. Di sana sang pengulu ditemani oleh dua pejalan spiritual yang bernama Syeh Maribasa dan Syeh Ragabrama, selain juga ditemani oleh dua putrinya yang cantik jelita yang bernama Supriya dan Grahita.
Seperti digambarkan di tulisan sebelumnya, Jatisuara sudah melakukan perjalanan panjang dan melakukan persinggahan di sejumlah tempat. Lombok kemudian tampaknya menjadi lokus perjalanannya yang terakhir. Bukanlah berarti Lombok sebagai tempat yang paling tinggi dibandingkan dengan tempat-tempat persinggahan sbeelumnya. Tidak. Akan tetapi, Lombok itu sebagai lokus yang dijadikan sebagai "simbolisasi literer" dalam pernaskahan tersebut bahwa penulisan naskah takepan ini memang diperuntukkan dan dipelajari oleh orang Sasak, secara khusus.
Di padepokan milik Pengulu Aji Darma itu, Jatisuara melakukan "ngangsu kawuruh" kepada sang pengulu. Menariknya, Pengulu Aji Darma dan Jatisuara secara bathin sudah mampu saling membaca "kedalaman" masing-masing. Mereka berada pada level pencapaian yang sama akan "keindahan Yang Satu". Mereka telah menemukan "sejatining kahuripan" yang disebutkannya juga sebagai "lebur hanurut sabdaning ma'rifat". Karenanya, Aji Darma atas nama kecintaan dan pengakuannya terhadap Jatisuara, dia memasrahkan anaknya untuk dipersunting oleh Jatisuara. Dipersunting artinya diberikannya Jatisuara tanggung jawab untuk mengajarkan keilmuannya kepada putri sang penghulu tersebut.
Perjalanan Jatisuara terus berlanjut. Tidak berhenti di Padepokan itu, meskipun dia diberi tanggung-jawab untuk mengajari anaknya pengulu Aji Darma. Baginya, perjalanan itu adalah nafas. Selama nafas masih terus terhembuskan, maka perjalanan spiritual.dan fisik itu harus dilakukan. Hal ini dikarenakan tiga Misinya, yaitu (1) mencari ilmu untuk kesempurnaan dirinya, (2) memantapkan ilmu penghambaannya dalam bingkai ma'rifat, dan (3) mensyiarkan ajaran Islam dalam bentuk Sufisme di setiap tempat yang ia singgahi.
Dengan demikian, sampailah ia daerah yang dikenal dengan nama Selamas. Tempat ini dilimpin oleh Pengulu Himbang Ratna, yang ditemani oleh Syeh Jatining Ara, Kiai Nurwahdat, dan sebagainya. Sama halnya seperti yang dilakukan Pengulu Aji Darma, mereka ini ternyata melakukan proses suluk dalam bentuk berkhalwat di tempat yang sunyi dan rahasia. Mereka melepaskan diri dari tuntutan keduniaan, sebagai bakti urip mereka kapada Tuhan Allah SWT.
Di sana, Jatisuara pun disambut dengan baik, ramah dan penuh kasih sayang oleh mereka. Jatisuara, dengan sikap tawaduq-nya rela memposisikan dirinya sebagai murid. Dengan posisi itu, dia bisa berdialog lepas denga para guru yang ternyata sudah mempunyai level tinggi dalam kebatinan sufisme. Meskipun demikian, Jatisuara tidaklah bisa lama menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya. Keharuman ilmunya tidak bisa untuk tidak dihirup oleh mereka semua. Akibatnya, Jatisuara tidak lagi diperlakukan sebagai murid, melainkan sebagai saudara yang sama-sama berjuang menuju kenikmatan beribadah kepada Allah. Setelah beberapa lama di Selamas, Jatisuara tetap melanjutkan perjalanan suluknya sebagai salik sejati.
.....
Melalui fakta-fakta literer di atas, dapat disimpulkan sementara bahwa model Islam awal yang hadir dan berkembang di Lombok khususnya dan Nusantara umumnya adalah model Islam sufisme, yang mana pendekatan ilmu tasawuf yang lebih dikedepankan daripada pendekatan ilmu fiqih. Orang sufi atau yang menekuni ilmu tasawuf sejatinya berupaya menghidupkan Zat yang Maha Agung di dalam kalbunya yang diyakini kalbunya berlapis-lapis berupa fuad, irfan, dan kalb. Pada saat yang sama dia menjadikan sifat Ihsan menjadi pembungkus semua organnya. Sebagai dampakya, dia menancapkan diri dengan kepribadiannya yang pasrah, ikhlas, tulus, dan selalu berbaik sangka atas segala rona hidupnya sebagai sang hamba. Pada kondisi inilah ia menjadi ma'rifat, yang tampak kemudian di luar dirinya orang yang sholeh. Dengan kata lain, dia adalah orang yang sudah selesai dengan diri dan dunianya. Dia menebarkan ajaran agama digawangi rasa tampa pamrih, murni sebagai wujud kebaktiannya pada Tuhannya.
Lalu dalam konteks dakwah atau penyebaran agama dan praktik beragama, orang seperti diungkapkan di atas merupakan "orang suci" yang boleh kita katakan kemudian sebagai waliyullah yakni istilah yang secara kasat mata merujuk pada makom pencapaian tertinggi atas riyadhoh kalbu dan/atau bathinnya yang terus berupaya menyatu dengan Allah seperti disimbolkan oleh Jatisuara dan sejumlah penghulu, syeh, ataupun kiai di dalam naskah itu. Tak ubahnya seperti para waliyullah di Jawa. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan kemudian kita sangat familiar dan menyukai kisah dan karomah para wali baik itu Tuan Guru Ali Batu, Tuan Guru Lopan, Tuan Guru Tretetet, Tuan Guru Saleh Hambali, Tuan Guru Maulana Syeh Pancor, dan sebagainya. Itu semua karena sejak dulu kita sudah mempunyai "horizon of expectation (horison harapan) atau pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) dalam diri bahwa Islam ala sufisme yang disebar waliyullah merupakan postur dan konstruk pengetahuan serta laku agama Islam kita. SEKIAN.
Mataram, 19 Maret 2024
MENELUSURI JEJAK RELIGIUSITAS (ISLAM) DI LOMBOK DALAM NASKAH JATISUARA (Bagian 2)
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Mei 05, 2022
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar