SANG USTAD BERLATIH KHOTBAH

SANG USTAD BERLATIH KHOTBAH

oleh: Nuriadi Sayip

Suatu ketika, di pagi hari Jumat yang cerah, seorang ustad, pemuka agama, tiba-tiba sumringah.

Sumringahnya bukan tanpa alasan. Dia berlaku demikian karena Jumat siang nanti adalah jadwal untuk khotbahnya, yang sejak lama dia tidak pernah dapat giliran di masjid kampungnya. 

Atas dorongan sumringahnya itu, dia secara diam-diam pergi ke tepi sungai, di mana di salah satu tepinya ada tebing yang ketika berbicara suaranya dapat memantul dan menggema. Dia datang ke sana, tujuannya adalah untuk berlatih, sebesar apa suaranya berbicara, seberwibawa apa gema kata-katanya terlepas dari mulutnya, serta sekualitas apa isi khotbah yang akan disampaikannya siang nanti.

Sang calon khotib kini sudah di depan tebing itu. Tampak dia memakai peci putih dan sorbannya berpernik merah putih. Sementara dia tengah siap-siap, terdengar hanya suara air gemericik mengalir di bawah tebing itu.

Dengan sikap laksana di depannya para jamaah, sang khotib membuka bibirnya, dan mengeluarkan kata-kata pengantar khotbahnya berbahasa Arab. 

Beberapa saat aktifitas itu terus berlanjut. Tampak dia sangat fasih. Tidak heranlah, gelar magister agama. di belakang nama panjangnya sebagai pembuktian kefasihannya.

Tiba-tiba, dia teringat seseorang yang selama ini dia anggap sebagai pesaingnya di masjid itu. Pesaingnya di dalam memperebutkan pengaruh dan perhatian masyarakat. 

Saking dia membencinya, di hamparan tebing yang berlumut di depannya itu wajah sang pesaingnya itu benar-benar tampak nyata dia lihat. Padahal itu hanya bayangan dalam pikirannya semata.

Matanya nanar! Kulit wajahnya serasa menebal! Degup jantungnya bergerak kencang. Suaranya yang mulanya lembut, syahdu, dan berwibawa, sontak berubah menjadi meninggi setengah berteriak.

Anehnya pula, tema khotbahnya yang awalnya tentang: "Marilah menjaga ukhuwah Islamiah" berubah menjadi: "Jangan sombong dan takabur". 
Menariknya, dia melancarkan kata-kata khotbahnya dengan suara kencang. Dengan emosi membuncah, diksi-diksinya menjadi serupa semburan amarah. Semakin mendengar suaranya yang menggema begitu rupa, kejiwaan sang ustad, calon khotib itu, semakin tak terkuasai.

Dia kini benar-benar berteriak lantang.
"Aku ini ahli agama satu-satunya di wilayah ini. Aku ini paling berhak mengatur hidup masyarakat. Jangan coba-coba sombong di depanku.  Jika kamu begitu, itu artinya kamu tidak paham konsep ta'lim wa muta'lim!"

Sang ustad yang calon khotib itu seakan sudah kalap kesetanan. Dia berteriak-teriak sendiri.

Dia tidak menyadari bahkan lupa kalau di sawah sebelah tebing terdapat para ibu dan bapak yang sedang "nowong" (menanam padi). Padahal ketika tadi dia lewat, mereka menyapanya dengan salam takzim.

Mereka hanya bisa menonton tingkah polah sang ustad yang tamatan luar negeri itu. Mereka terkaget, ternyata orang yang mereka hormati selama ini, mempunyai jiwa lunatik (tak terkontrol) yang begitu rupa.

"Sang Ustad kita sedang belajar Ibu-ibu, sedang belajar khotbah" 
Kata seorang bapak setengah baya mencoba memberi pemikiran positif pada mereka tentang sang calon khotib.

"Ah bukan, Paman. Dia itu sedang belajar berdrama. Berdrama dengan memainkan skrip adegan  marah-marah".

"Bukan! Pak Ustad kita gila! Dia sedang menjatuhkan martabatnya sebagai orang terhormat."

Mereka terperangah, haaah! Terkaget, lalu terdiam, dan secara diam-diam mengiyakan kata jawaban dari salah satu ibu di antara meŕeka.

 Lalu mereka menunduk lagi, melanjutkan kegiatan nowongnya. Dan mereka menganggap suara yang makin menggelegar di depan tebing itu sebagai hiburan, bahkan ada satu di antara mereka menganggap suara sang ustad, calon khotib, laksana suara "radio side" (suara radio rusak). 

Baginya, kata-kata yang keluar dengan intonasi tinggi itu adalah sikap kepongahan yang sebenarnya, yang sejatinya. 

Baginya, suara kencang meskipun dibalut dengan ayat-ayat Kitab Suci dan Hadis adalah suara orang yang tidak bijak dalam berpikir. 

Gedebuk! Gedebuk! Byuurr!

Mereka tercengang lagi.Mereka semua berdiri tegak dan menghadap sumber suara menggelegar itu. Bahkan empat laki-laki berlari menuju suara gedebuk itu. Dan ternyata mereka mendapati sang calon khotib sedang memukul-mukul tebing itu.

"Ustad, Ustad! Ada apa?"
Mereka mencoba menahan sang calon khotib.

Tapi dia tetap meronta sambil berteriak-teriak.

"Mati kau! Setan kamu! Pahami makna ta'lim wa muta'lim apalagi fastabiqul khoirot, Jadah!"

Dia tetap berteriak lepas, mengulang kata-kata itu, meski tubuhnya kini sudah dipegang oleh empat petani itu.

"Lepaskan aku!" Sergah sang ustad.

"Ada apa Ustad? Kok bertingkah begini. Sadar pak Ustad. Sadarlah."

Suara seseorang menghibur, berusaha menenangkan sang calon khotib.

Beberapa saat, hening. Dan tubuh sang calon khotib tampak tenang, tak meronta-ronta lagi.

"Istighfar pak Ustad. Istigfarlah"
Kata-kata pak petani yang memeluk tubuh Ustad dari belakang. 

Sang ustad, calon khotib itu pun menuruti nasehat pak petani separuh baya itu. Mulutnya bergerak dan mengucapkan Astagfirullahal'aziim beberapa kali.

"Ada apa pak Ustad. Kok tampak marah sekali?"

"Maafkan saya Bapak-bapak. Saya tidak kenapa-kenapa. Saya hanya...."

Suara jawaban ustad itu berhenti. Dia tertegun, tampak sedang berpikir. Kali ini dia tidak mau melihat tebing itu lagi. Takut kalau-kalau masih ada bayangan pesaingnya di sana.

Dia kini hanya tertunduk kepala. Dan merasa malu pula pada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Mereka semua dia kenal baik. Mereka semua adalah jamaahnya, yang sering minta doa ke rumahnya.

"Ada apa pak Ustad?" 
"Ah, tidak ada. Aku hanya sedang berlatih khotbah!"

Bapak-bapak, para petani  itu tampak heran. Saling menatap, tidak percaya dengan jawaban ustadnya. 

Mereka hanya menatap ustadnya, sang calon khotib, pergi meninggalkan mereka. Langkah ustad gontai dengan muka tertunduk. Tanpa menoleh ke kiri-kanan. 

Namun di balik tatapan-tatapan mereka, para petani itu sungguh merasa iba, prihatin, dan bahkan kasian pada orang yang selama ini mereka sanjungi. Ternyata oh ternyata dia sedang dirundung penyakit jiwa. 

"Oh kasihan si Ustad..!"

SEKIAN.

Labuapi, 7 Maret 2020
SANG USTAD BERLATIH KHOTBAH SANG USTAD BERLATIH KHOTBAH Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Maret 07, 2020 Rating: 5

Post Comments

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.