“THE CONFLICT WITH SLAVERY, JUSTICE AND EXPEDIENCY” KARYA JOHN GREENLEAF WHITTIER

Karya ini diterbitkan dalam bentuk pamflet atau esai pada tahun 1833, tahun yang sama ketika Masyarakat Anti-Perbudakan Amerika dibentuk atau didirikan oleh William Lloyd Garrison di mana John Greenleaf Whittier berada di dalamnya. Karya ini merupakan ungkapan ketidak-setujuan atau antipatinya terhadap sistem perbudakan. Alasannya adalah perbudakan bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya dan, terkait dengan alasan pertama, perbudakan juga melanggar kemanusiaan itu sendiri. Melanggar kemanusiaan berarti sama halnya melanggar HAM itu sendiri. Dia meyakini bahwa semua manusia adalah sama di hadapan Tuhan; semua manusia itu adalah bersaudara.

Pemikiran ketidak-setujuannya atas perbudakan ini sudah terlihat sekali pada bagian awal tulisannya ini. Dia menyetujui pemikiran umum di New England perihal perbudakan bahwa sistem ini merupakan tindak kejahatan (evil). Dalam hal ini dia amat menghargai pandangan umum ini karena ini tandanya masyarakat New England sebenarnya sepaham dan sepemikiran dengan John Whittier; mereka tidak menyetujui adanya tindak perbudakan itu. Meskipun demikian, John Whittier ternyata berharap lebih dari itu. Dia menginginkan sebuah gerakan atau tindakan yang memperlihatkan sikap antipati tersebut. Dia berpikir bahwa seruan-seruan penolakan atas perbudakan sudah cukuplah melalui konvensi atau deklarasi. Hal ini, menurut dia, tidak bisa mengubah keadaan kaum Negro dalam sistem perbudakan ini. Artinya praktek perbudakan kepada kaum itu tetap saja berlangsung meskipun seruan-seruan penolakan muncul di mana-mana. Gerakan yang diinginkan oleh John Whittier adalah gerakan politik dan sosial yang tampak di dunia wacana maupun dunia praktis. Terkait ini, masyarakat New England diharapkan untuk turut bertanggung jawab secara nyata terhadap sistem perbudakan tersebut.

Selanjutnya, John Whittier memandang bahwa selama suatu kaum atau masyarakat meyakini sebuah prinsip “man can hold property in man”, maka tidak ada alasan bahwa kaum atau masyarakat tersebut tetap dipandang tidak bersalah (guiltless). Hal ini dipandang demikian karena prinsip ini sebenarnya tidak sejalan dengan keadilan yang di atur oleh Tuhan, bertentangan dengan esensi perintah Tuhan.

Sesungguhnya, bagi John Whittier, perbudakan itu adalah sebuah sistem. Tapi pertanyaannya, sistem yang bagaimana? Dalam perspektif yang antipati terhadap hal ini, John Whittier mendefinisikan perbudakan itu sebagai sistem (1) yang menjadikan dua jutaan manusia, ciptaan Tuhan, berada dalam belenggu (2) yang meninggalkan satu jutaan kaum perempuan berada dalam kondisi terlantar tanpa adanya perlindungan, (3) yang memperbolehkan menghukum manusia dengan semena-mena hingga hukuman mati, (4) yang menjadikan manusia sebagai bagian dari hak milik (property) serta menjadi barang dagangan atau komoditi, (5) yang menjadikan kealpaan hubungan sosial dan alamiah di antara para manusia yang dijadikan budak, sehingga membiarkan saja terjadinya perpisahan atau pemisahan anak dengan ibu, istri dengan suami, dan sebagainya.

Dengan kenyataan sistem perbudakan seperti ini, John Whittier mencoba memberi solusi (remedies) yang seharusnya dilakukan guna menghapus sistem perbudakan itu. Solusi pertama yang ditawarkan supaya menempatkan para budak itu terpisah dari kehidupan para majikan mereka seperti yang terjadi di Polandia dan Rusia. Solusi kedua yang ditawarkan John Whittier adalah sebuah “gradual abolition”, dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan, yang dengan aksi ini, masyarakat sedikit demi sedikit memisahkan atau menjauhkan diri dari praktek perbudakan ini serta menghindari keluarga dan keturunan mereka dalam keterlibatan pada perbudakan ini. Solusi ketiga yang ditawarkan adalah mendorong adanya kolonialisasi dalam arti positif kepada kaum Negro, yakni dengan tindakan ini secara praksis kaum Negro sebenarnya sedang dicerahkan sehingga kaum Negro akan dapat melepaskan dirinya dari perbudakan nantinya. Tindakan kolonialisasi tersebut akan dapat memunculkan efek positif di masyarakat sebagaimana yang dipaparkan John Whittier berupa adanya tindakan pemaafan atas perbudakan dan para majikannya dari kaum Negro. Meskipun faktanya memang, John Whittier menyadari bahwa tawaran solusinya yang ketiga ini cenderung disalah-artikan atau disalah-praktekkan oleh sejumlah orang dan konkretnya mereka tetap memandang bahwa kolonialisasi itu adalah praktek perbudakan itu sendiri, yang menempatkan kaum Negro sebagai ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk menjadi "property" serta mereka tidak menolak sistem perbudakan itu terus dilangsungkan. Meskipun demikian, itu adalah sebuah alternatif.

Apa yang seharusnya menjadi tugas para abolisionis? Menurut John Whittier, tugas utama para abolisionis atau masyarakat yang tidak menyetujui atas praktek perbudakan ini adalah berupaya terus memberi efek terhadap spirit Konstitusi yang melandaskan pemikirannya bahwa setiap penduduk mempunyai hak-hak asasi (hak-hak sipil), di samping terus-menerus terlibat aktif di dalam pendeklarasian pemikiran bahwa membiarkan diri di dalam kondisi hipokrit baik politik, hukum, maupun agama, justru akan menjadikan hilangnya arti kebebasan bagi bangsa Amerika itu sendiri. Oleh karena itu, John Whittier mendorong supaya perbudakan terus diperangi dengan mengkampanyekan kondisi-kondisi jelek atas sistem perbudakan itu termasuk kejahatan para majikan yang dilakukannya kepada para budak.

John Whittier sesungguhnya menginginkan adanya perdamaian, perdamaian dari cinta universal, simpati yang murni muncul dari kesadaran agamis, perasaan humanitas dalam konteks HAM yang muncul dalam diri semua masyarakat Amerika. Akan tetapi, semua ini tidak akan mungkin terjadi apabila perbudakan masih terus dilangsungkan. Kebebasan dan perbudakan tidak bisa hidup dan muncul secara serasi dalam waktu yang bersamaan. Perdamaian yang muncul karena sudah tidak ada lagi praktek kekerasan atau opresi terhadap bangsa lain. Sesungguhnya, tidak akan ada perdamaian di dalam opresi, kepalsuan, dan perbudakan itu sendiri. Oleh karena itu, John Whittier meminta perbudakan dihapuskan dari seluruh wilayah Amerika.

Kata kunci: esai, perbudakan, anti-perbudakan, kolonialisasi, dan sebagainya.
“THE CONFLICT WITH SLAVERY, JUSTICE AND EXPEDIENCY” KARYA JOHN GREENLEAF WHITTIER “THE CONFLICT WITH SLAVERY, JUSTICE AND EXPEDIENCY” KARYA JOHN GREENLEAF WHITTIER Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Februari 25, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.