Sungguh, rasanya hiburan yang paling digemari oleh masyarakat umum Indonesia dewasa ini, khususnya dan terutama sekali oleh kaum ibu-ibu rumah tangga, adalah tayangan sinetron-sinetron yang setiap malamnya memenuhi acara-acara prime time televisi-televisi nasional. Sinetron-sinetron itu misalnya yang ditayangkan akhir-akhir ini seperti Tukang Bubur Naik Haji, Ganteng-Ganteng Serigala, Diam-Diam Suka, yang mengikuti sinetron-sinetron fenomenal sebelumnya seperti Cinta Fitri ataupun Cahaya. Mengapa demikian? Mungkin ada banyak alasan yang bisa diurai satu-persatu, tetapi mungkin alasan yang paling utama dan terutama adalah karena cerita-cerita yang ditawarkan sinetron-sinetron itu sangat menarik, sangat menyentuh relung emosi para pemirsanya. Justru karena faktor kemampuan memposisikan hal yang diminati oleh pemirsanya ini, maka produksi sinetron tersebut membludak-ludak dan menjadi hal yang bersifat ‘wajib’ bagi stasiun-stasiun televisi swasta nasional untuk terus menayangkannya terlepas dari hirauan, kepedulian, ataupun tanggung jawab untuk memberi sentuhan atau tawaran nilai-nilai edukasi, budaya dan agama serta idealisme yang mampu menjaga kualitas artistik sebuah karya. Bagi orang yang bergelut di bidang itu, mungkin sudah tidak ‘perlu’ memikirkan hal-hal ini, melainkan terus-menerus menjejali pemirsanya dengan adegan-adegan melodramatik yang diminati pemirsa serta demi pemerolehan gepokan-gepokan keuntungan material.
Bagi saya fakta ini sangatlah menyedihkan. Tetapi inilah realitas simulakrum hipersemiotis. Inilah industri opera sabun kontemporer. Inilah kemaharajaan budaya popular. Inilah dunia kapitalis ala Carper Diem. Inilah dunia yang fantasi eskapis hewaniah. Tak ada nilai, tak perlu idealisme, tak guna pembelajaran serta pesan moral. Yang penting adalah pragmatisme dan pemerolehan keuntungan material yang sebanyak-banyaknya. Maka konkretnya uanglah yang berkuasa. Manusia pencipta artistik adalah robot, serta manusia penikmat estetik adalah semacam bejana kosong yang seakan-akan mati (tanpa akal dan nurani), yang ‘pokoknya’ perlu diisi dan dijejali oleh kehidupan-kehidupan semu dan fantasi, tanpa harus memikirkan dan menawarkan inspirasi serta solusi hidup yang evokatif dan afektif.
Fakta yang mengejutkan kemudian adalah ternyata hanyalah disebabkan oleh tuntutan pragmatisme dan industrialisasi produksi sinetron-sinetron itu, disinyalir plagiarisme pun marak terjadi di balik layar produksi sinetron tersebut. Tak ayal, demi pemenuhan tuntutan masyarakat yang telah mereka kondisikan sedemikian rupa, maka pemerolehan inspirasi dan ide cerita dilakukan dengan upaya ‘segala macam cara’, tanpa menghiraukan moralitas, integritas, akuntabilitas, dan atau pertanggung-jawaban secara nurani masing-masing. Uanglah yang berbicara! Plagiarisme ini dilakukan dan diupayakan dalam bentuk ‘laboratorium sulapan’ di balik layar. Ada sejumlah tim ahli yang mempunyai bidang tugas masing-masing, yang kemudian dalam satu hari beberapa episode cerita pun bisa terselesaikan dan tentu sesuai dengan ‘angka-angka reting’ penyiaran setiap serial.
Fakta yang mengejutkan kemudian adalah ternyata hanyalah disebabkan oleh tuntutan pragmatisme dan industrialisasi produksi sinetron-sinetron itu, disinyalir plagiarisme pun marak terjadi di balik layar produksi sinetron tersebut. Tak ayal, demi pemenuhan tuntutan masyarakat yang telah mereka kondisikan sedemikian rupa, maka pemerolehan inspirasi dan ide cerita dilakukan dengan upaya ‘segala macam cara’, tanpa menghiraukan moralitas, integritas, akuntabilitas, dan atau pertanggung-jawaban secara nurani masing-masing. Uanglah yang berbicara! Plagiarisme ini dilakukan dan diupayakan dalam bentuk ‘laboratorium sulapan’ di balik layar. Ada sejumlah tim ahli yang mempunyai bidang tugas masing-masing, yang kemudian dalam satu hari beberapa episode cerita pun bisa terselesaikan dan tentu sesuai dengan ‘angka-angka reting’ penyiaran setiap serial.
Bahkan, menurut sumber yang diperoleh dalam pengajian Maiyah Tujuh Belasan edisi bulan Juni, 2011, di Kasihan Bantul, ada tiga ciri utama adegan yang harus ada dalam pemroduksian sebuah sinetron atau dalam setipa episode sinetron, yakni (1) harus ada pertengkaran yang mana tokoh utama ditempeleng; (2) harus ada tokoh yang menangis; dan (3) harus ada tokoh yang berbicara sendiri, dengan lain kata, dia di-dubbing oleh suaranya sendiri, sebagai ungkapan isi hatinya. Keharusan adegan-adegan ini disebabkan tidak lain dan tidak bukan karena semua itulah yang digandrungi oleh pemirsanya. Dengan kata lain, atas dasar ketiga macam adegan itulah, reting sebuah sinetron bisa naik dan ditonton terus oleh pemirsa setia sinetron. Lalu, dimanakah nilai-nilai pembelajaran yang ditawarkan? Mungkin sekali lagi hal ini berada pada urutan kesekian alias sudah tidaklah penting, tidaklah berguna lagi!.
Persoalannya kemudian adalah apa yang seharusnya diperbuat untuk mensikapi fenomena semacam ini yang terus terjadi ini? Haruskah masyarakat dibiarkan meresapi sendiri serta dipaksa untuk harus segara ‘dewasa’ sendiri? Apakah seterusnya dibiarkan saja atau perlu ada dobrakan yang bersifat perlawanan? Iya, sebuah perlawanan dalam konteks budaya. Karena kata orang sebuah budaya harus dilawan dengan budaya pula. Ini terjadi demi menyaring dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh produksi sinetron dengan adegan-adegan yang tak mendidik ini. Dampak-dampak ini pelan tapi pasti akan menjadi sebuah collective conscience dalam kehidupan komunalitas kita, khususnya bagi generasi-generasi penerus kita sehingga kelak akan menjadi sebuah budaya (sistem nilai) di masyarakat. Hah rumit, rumit sekali! Sungguh, bagaikan mengurai benang kusut yang sudah terlampau kusut. Ujung-ujungnya kemudian kita pun seakan dipaksa untuk berkubang dalam lumpur kebingungan yang amat dalam, lantas bersikap apatis yang diikuti dengan sejumlah alasan tertentu atas nama penyelamatan dan pembenaran personal terhadap wujud sikap dimaksud. Sehingga, dengan ini, kemudian tanpa ada upaya dan ikhtiar lagi. Iya, semoga kita semua bukanlah sekelompok manusia jelata yang terus menunggu dan menunggu terus di pinggiran jalan akan kedatangan sosok Godot, padahal sosok itu tidak jelas datangnya kapan seperti yang disindir dalam sebuah drama absurd fenomenal yang berjudul Waiting for Godot karya Samuel Beckett.
Persoalannya kemudian adalah apa yang seharusnya diperbuat untuk mensikapi fenomena semacam ini yang terus terjadi ini? Haruskah masyarakat dibiarkan meresapi sendiri serta dipaksa untuk harus segara ‘dewasa’ sendiri? Apakah seterusnya dibiarkan saja atau perlu ada dobrakan yang bersifat perlawanan? Iya, sebuah perlawanan dalam konteks budaya. Karena kata orang sebuah budaya harus dilawan dengan budaya pula. Ini terjadi demi menyaring dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh produksi sinetron dengan adegan-adegan yang tak mendidik ini. Dampak-dampak ini pelan tapi pasti akan menjadi sebuah collective conscience dalam kehidupan komunalitas kita, khususnya bagi generasi-generasi penerus kita sehingga kelak akan menjadi sebuah budaya (sistem nilai) di masyarakat. Hah rumit, rumit sekali! Sungguh, bagaikan mengurai benang kusut yang sudah terlampau kusut. Ujung-ujungnya kemudian kita pun seakan dipaksa untuk berkubang dalam lumpur kebingungan yang amat dalam, lantas bersikap apatis yang diikuti dengan sejumlah alasan tertentu atas nama penyelamatan dan pembenaran personal terhadap wujud sikap dimaksud. Sehingga, dengan ini, kemudian tanpa ada upaya dan ikhtiar lagi. Iya, semoga kita semua bukanlah sekelompok manusia jelata yang terus menunggu dan menunggu terus di pinggiran jalan akan kedatangan sosok Godot, padahal sosok itu tidak jelas datangnya kapan seperti yang disindir dalam sebuah drama absurd fenomenal yang berjudul Waiting for Godot karya Samuel Beckett.
Oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
Yogyakarta, sekitar September 2012 silam
TENTANG TAYANGAN SINETRON
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Januari 06, 2018
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar