Resensi Buku Merpati Kembar di Lombok
Oleh: Resti Nurfaidah, S.S
Judul : Merpati Kembar di Lombok
Penulis : Nuriadi
Penerbit : Arga Puji Press
Genre : Novel
Cetakan : 2009
Tebal : 274
Merpati Kembar di Lombok merupakan novel yang ditulis oleh penulis sebagai sebuah novel kritik sosial atas satu adat tradisi yang sampai kini masih berlaku di Lombok, suku Sasak. Selain itu, novel ini mengkritisi perbedaan status sosial yang sangat mencolok. Pertentangan itu ditampilkan melalui perjalanan hidup sepasang saudara kembar asal suku Sasak yang tinggal jauh di negeri rantau. Erna dan Erni mengembara ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas ternama di kota itu. Selama menempuh masa pendidikan, mereka tinggal di sebuah kamar kos. Meskipun kembar, Erna dan Erni memiliki karakter yang berbeda. Erna memiliki tabiat serius, mampu konsentrasi tinggi, santun, dan teguh pendirian. Erni memiliki sifat periang, santun, teguh pendirian, tetapi tidak mampu berkonsentrasi terutama terhadap studi, dan senang berfoya-foya. Kehidupan di sebuah kota besar seperti Yogyakarta rupanya telah mengubah kepribadian Erni. Di kota itu Erni bertemu dengan Hartono yang menjelma sebagai seorang pangeran romantis yang sanggup melambungkan sang putri kea lam fantasi. Gaya hidup kota besar dan pertemuan dengan Hartono menyebabkan Erni mengalami krisis identitas. Kesantunan tiada lagi hinggap dalam perilaku sehari-hari, bahkan ia berani melakukan perlawanan kepada kakaknya. Erna sebagai yang dituakan merasa beban di pundaknya semakin besar menyaksikan sang adik hanyut dalam gaya hidup global yang jelas-jelas tidak dapat ia terima dengan akal sehatnya. Erna tidak mampu memperbaiki perilaku sang adik yang terbuai fantasi cinta. Erni tidak mampu menatap sisi baik nasehat Erna. Ia menganggap Erna tidak lebih sebagai batu penghalang perjalanan cintanya. Pada suatu hari kekhawatiran Erna terbukti. Erni dan Hartono terlibat hubungan seks di luar nikah. Erna yang memergoki peristiwa itu mau tidak mau harus membuka jalan agar aib tersebut tidak tersebar di keluarga bangsawan mereka. Erna akhirnya memutuskan agar Erni dan Hartono melakukan tradisi kawin lari atau merari yang berlaku di tengah suku Sasak. Perjalanan cinta Erni berakhir di pelaminan, meskipun ia harus mengorbankan studinya yang tinggal sejengkal lagi. Orang tua Erna dan Erni yang berlatarkan feodal totok merasa marah dan kecewa. Mereka merasa kecewa karena beberapa sebab. Pertama, terbengkalainya studi Erni, kedua jodoh Erni bukan merupakan orang yang diharapkan, dan ketiga perubahan sikap Erni. Beruntung aib Erni—Hartono tidak pernah terbongkar sampai ayah mereka menemui ajalnya. Erna berjanji agar peristiwa itu tetap menjadi rahasia mereka bertiga, Erna-Erni-Hartono. Sepeninggal Erni, Erna memusatkan perhatiannya pada tugas akhirnya. Berkat usaha kerasnya, Erna berhasil menuntaskan masa studinya dengan gemilang. Ia terpilih sebagai lulusan terbaik. Pascawisuda, Erna mendapatkan tawaran untuk menjadi asisten dosen di almamaternya. Sayang, harapannya untuk meraih jabatan profesor harus ia buang jauh. Sang ayah, Mamik Marhaban yang dikenal sangat keras kepala, memutuskan untuk membawa Erna kembali ke kampung halamannya. Erna sadar bahwa ia tidak mungkin melawan kehendak sang ayah. Dengan berat hati, gadis itu kembali ke kampung halamannya. Namun, kepulangan itu membuahkan polemik. Erna menemukan pujaan hatinya, Suparman. Namun, Suparman yang telah mendapat tempat di hati Erna tidak lantas mendapatkan hal yang sama di hati calon mertuanya. Ia mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya hanya karena berasal dari kaum kebanyakan. Tekad untuk saling memadu cinta, mendorong dua sejoli itu, Erna-Suparman, melakukan merari pula seperti adiknya, Erni.
Tentu saja, keputusan Erna tersebut sangat mengejutkan bukan hanya orang-orang terdekatnya melainkan seluruh kampung. Pertempuran antar kampung pun tidak dapat terelakkan lagi. Beruntung polisi dapat mengamankan peristiwa itu. Atas saran komandan, pihak Suparman diperintahkan untuk menyelesaikan masalah itu secara baik-baik. Namun, pihak Erna tidak mau menerima hal itu. Bahkan, Erna diputuskan untuk dicoret dari silsilah keluarga. Kondisi demikian menuntut keluarga Suparman menyelenggarakan prosesi pernikahan secara sepihak meskipun dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Sangat kontras jika dibandingkan dengan prosesi yang dilalui pasangan Erni dan Hartono dulu. Meskipun demikian, dua sejoli itu merasa bahagia karena akhirnya mereka dapat bersatu dalam sebuah ikatan perkawinan yang mulia.
Perkawinan demi perkawinan dalam keluarga Mamik Marhaban hanya menuai polemik. Sikap Erni dan Hartono, yang telah melalui badai dalam fase awal perkawinan mereka, mulai berubah. kesibukan demi kesibukan membuat mereka alpa terhadap aktivitas memuliakan orang tua. Tentu saja Mamik Marhaban dan istri merasa tersisih di dalam istana sendiri. Kekesalan Mamik yang bertumpuk memuncak dalam umpatan yang dahsyat dan berujung pada pengusiran Erni dan Hartono dari kediamannya. Tinggal sesal dan sedih dalam diri pasangan muda itu. Demikian pula hal yang sama dirasakan oleh Mamik. Ia kehilangan dua merpatinya, Erna dan Erni, yang tidak lagi jinak di hadapannya. Peristiwa itu membuahkan sakit di dalam tubuh lelaki yang sangat memuja status sosialnya itu. Tubuhnya ambruk tidak berdaya. Derita itu rupanya berbuntut panjang. Mamik menemui ajalnya dalam derita batin yang hebat.
Selain menceritakan dua karakter kembar dan tradisi kawin lari, novel ini juga mengetengahkan akibat dari perbedaan status sosial yang terlalu jauh. Kehadiran menantu dari kalangan ‘biasa’ dianggap mengundang aib bahkan, belakangan, pertumpahan darah yang hebat. Tingkat pendidikan seseorang tidak lantas menjadi pengangkat derajat atau seseorang, melainkan dari keturunannya. Keluruhan budi pekerti seseorang tidak bernilai di mata kaum ningrat jika ia berasal dari rakyat jelata. Perbedaan garis keturunan dalam perjalanan cinta kerapkali membuahkan kisruh di antara dua keluarga, seperti yang dialami oleh Romeo dan Juliet.
Kalangan ningrat sangat berkuasa di Desa Sangkhil. Keangkuhan Mamik Marhaban yang sangat menjunjung tinggi status sosialnya, berharap bahwa kedua putrid kembarnya akan mendapatkan pasangan yang sepadan berdasarkan bibit, bebet, dan bobotnya. Namun, ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidup ini ada yang mengatur, yaitu yang Mahaadil. Mamik lupa bahwa kenyataan itu ada yang berbuah pahit dan ada pula yang manis. Ia tidak dapat menerima kenyataan itu. Aturan keras yang ia terapkan kepada keluarganya, membuahkan kopi pahit bagi Mamik Marhaban. Dua merpati kembar kesayangannya terbentuk dengan kepribadian yang keras juga, terutama dalam hal menentukan tambatan hati. Hal itu berbuah derita yang cukup pahit laksana sebuah tombak berbalik menghujam ulu hati tuannya.
Kritik sosial penulis terhadap kesenjangan status sosial seharusnya dapat tersampaikan dengan baik melalui gerak-gerik dan ucapan karakternya. Namun, karakter yang ditampilkan adalah karakter yang monoton. Meskipun karakter tersebut kerap menunjukkan naik-turun tensi emosinya, kesan menoton sangat kental sepanjang cerita. Alur cerita sangat datar, terlebih ditambahkan dengan banyaknya kalimat yang terputus, hingga cerita menjadi hambar. Konflik kurang tersampaikan dengan baik. Peristiwa tawuran tampak terasa kurang seru. Di luar nuansa hambar, penulis cukup menguasai istilah dalam bahasa daerah. Selain itu, ia juga memiliki pengetahuan tentang tradisi, terutama merari, berikut tahapan-tahapannya.
Tradisi kawin lari lebih merupakan legalisasi atas pembangkangan seseorang terhadap penentu keputusan (orang tua). Tradisi ini cenderung mengundang reaksi negatif dari berbagai pihak. Orang tua akan merasa sakit hati karena pembangkangan anaknya, belum lagi paksaan harus menerima kehadiran calon menantu yang belum tentu memenuhi kriteria yang diinginkan. Lebih buruk lagi, jika terjadi pertempuran antarsuku hanya karena penolakan keluarga salah satu pihak calon pengantin, seperti yang digambarkan dalam novel Merpati Kembar di Lombok.
Sumber: kabarindonsia.com
Resensi Novel "Merpati Kembar di Lombok"
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Januari 02, 2018
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar