SEKAPUR SIRIH
Untuk
BUKU ANTOLOGI PUISI "DI SANA MASIH ADA CAHAYA"
Untuk
BUKU ANTOLOGI PUISI "DI SANA MASIH ADA CAHAYA"
KARYA MABRULLAH (PENYAIR MUDA SASAK)
Oleh
Dr. H. Nuriadi Sayip, S.S., M.Hum.
Dosen Sastra FKIP UNRAM
Oleh
Dr. H. Nuriadi Sayip, S.S., M.Hum.
Dosen Sastra FKIP UNRAM
Ada dua kata kunci yang bisa diungkapkan ketika membaca puisi yang ditulis oleh Mabrullah di dalam buku Antologi Puisi-nya ini, yaitu: ‘Bebas’ dan ‘Liris’. Kata kunci yang pertama cenderung diarahkan pada bentuk penyajiannya (form), dan yang kedua mengacu pada isi (content) yang ditampilkan yang bertali-temali dengan pesan penulisnya untuk disematkan pada pikiran dan rasa para pembacanya.
Bebas, dari segi bentuknya, berarti bahwa semua puisi yang ditulis Mabrullah ini dapat dikategorikan sebagai Sajak Bebas, yang di Barat, dikenal sebagai Free Verse (Inggris/Amerika) atau Vers Libre (Perancis) sejak abad ke-19. Dikatakan ‘bebas’ karena pola atau bentuk penyajiannya tidak mengikuti konvensi penulisan puisi yang telah ditradisikan sebelumnya yang umumnya memakai rima tetap, dengan jumlah larik dalam bait yang konsisten. Sebaliknya, puisi jenis ini tidak sama sekali memperhatikan pola-pola penulisan puisi yang demikian itu. Rima tidak ada. Jumlah larik per baitnya arbitrer. Pola atau bentuk puisi tidaklah menjadi perhatian dan bukan merupakan hal yang penting. Yang terpenting adalah ekspresi perasaan dan pikiran penyairnya yang mengalir sedemikian rupa. Dengan kata lain, bentuk puisi mengikuti isi dan pesan yang hendak disampaikan penulisnya. Maka itu, kemunculannya bebas dengan sebebas-bebasnya getaran dan aliran emosi dan/atau fiksionalitas sang empunya, Mabrullah. Terkait dengan hal ini, dapatlah dilihat di setiap puisi bahwa semuanya tanpa menggunakan rima, serta susunan larik di setiap baitnya pun, jika dibanding antara satu puisi dengan yang lain, sama sekali tidak tetap. Lantas, apakah ini keliru atau tidak menarik? Jawabannya, sama sekali tidak. Justru model atau bentuk seperti inilah letak menariknya, karena penampilan puisi terkesan tidak lagi monoton tetapi dinamis, mengikuti dinamisasi perasaan dan pikiran serta ketajaman indera Mabrullah, sang penulisnya sendiri. Bentuk puisi yang ditampilkan oleh Mabrullah ini merupakan tren penulisan puisi modern dan kontemporer.
Liris, dari segi isinya, menegaskan bahwa tema dan pesan yang disajikan pada setiap puisi merupakan ungkapan perasaan dan pikiran yang jernih dari Mabrullah sendiri terkait dengan fenomena yang dia temukan atau saksikan di dalam kehidupannya. Dengan demikian, puisi-puisi yang ditulisnya merupakan respons atau reaksinya yang muncul secara spontan terhadap fenomena tersebut, seperti yang terlihat pada puisi Memecah Pagi, Senja Pantai, Malam Kelam, Semuanya Telah Usai, Percikan Malam, dan lain-lain. Kedua puisi ini sekan muncul ketika pada saat itu Mabrullah benar-benar menyaksikan fenomena yang dia gambarkan di dalam puisi-puisinya itu. Dalam konteks ini, sang penyair telah menunjukkan sikap kejujurannya terhadap keadaan yang dia saksikan. Dengan sikap kejujuran dimaksud, dia sebenarnya secara nirsadar sudah mengikuti model penulisan puisi penyair hebat Inggris era Romantik yang bernama William Wordsworth yang mengatakan bahwa puisi yang baik itu apabila, dalam penciptaanya, ia muncul mengikuti aliran perasaan yang cukup kuat dan bersifat spontan disebabkan oleh stimulus dari luar entah itu berbentuk fenomena alam ataupun fenomena-fenomena lainnya. Tepatnya, dia berkata: “Poetry is a spontaneous overflow of powerful feelings”.
Di samping terinspirasi oleh fenomena alam, Mabrullah kenyataannya terinspirasi pula oleh fenomena kehidupan manusia. Fenomena yang kedua ini disasarkan secara lebih spesifik pada sifat dan karakter manusia itu sendiri, yang tentu – di mata penyairnya—tidaklah patut. Dengan kata lain, puisi-puisinya tercipta sebagai bentuk kritikan ataupun protesnya terhadap fakta yang tidak patut tersebut. Di antara puisi yang menunjukkan hal tersebut adalah Hedonis dan Kota ½ Mati. Pada puisi yang pertama, penyair memberikan sikap kritisnya terhadap sikap atau perilaku manusia yang hedonis, yang permisif atau membolehkan segala sesuatu, tanpa menghiraukan norma dan susila sosial. Dan menurutnya ini jelas-jelas adalah perusak kebudayaan dan peradaban. Pada puisi kedua, Mabrullah mengungkapkan protesnya terhadap perilaku manusia yang ‘lapar’ sehingga menjadikan kehidupan kota hampir lumpuh (1/2 mati), sehingga menjadikan kota tersebut suram dan mencekam, “Engkau telah berubah menjadi kota suram,/mencekam menjadi kota ½ mati, oh Tuhan!!!”.
Meskipun dia mengungkapkan kritik atau protesnya pada sejumlah puisinya, dia pun memperlihatkan nuansa semangat dan kepasrahannya sebagai seorang manusia yang hendak berbuat banayak pada masyarakatnya. Nuansa semangat yang menggebu-gebu terlihat jelas pada puisnya yang berjudul Kota Baru, Kota Harapan: Kepada Proklamator Lombok Utara. Dia mengungkapkan kekagumannya pada sang proklamator sehingga dia secara pribadi merasa tersemangati karena munculnya optimisme dan harapan yang tengah membuncah. Selain puisi tersebut, puisi yang berjudul Ini juga patut dikategorikan sebagai puisi yang menunjukkan semangat dan optimisme si penyairnya. Hanya saja, pada puisi Ini tersebut, dia menunjukkan sikap elan vitalnya pada eksistensi egonya sendiri: “Akulah – aku”, yang berbeda dengan Soekarno, Khairil Anwar, ataupun tokoh-tokoh lainnya. Meskipun demikian, sebagai seorang manusia, sang penyair menunjukkan sikap kepasrahannya terhadap semua keadaan atau aliran takdir yang berkuasa, seperti yang terefleksi pada sejumlah puisinya, di antaranya: Semua telah Usai, Bisikan Ku, Ratapan Sunyi, Gubuk Kecilku, dan sebagainya. Dia seakan mau tidak mau harus menerima semuanya.
Akhirnya, antologi puisi yang ditulis oleh Mabrullah ini cukup menarik untuk dibaca dan dimiliki oleh khalayak umum, khususnya para pembelajar sastra, karena kita tidak hanya menemukan fakta baru yang dilukiskan atas dasar fenomena yang dialami penulisnya, tetapi juga kita dapat akhirnya dapat merasakan bahwa semua fenomena dapat stimulasi bagi penyairnya sehingga menjadi ‘medium’ baginya untuk berbagi inspirasi dan pemikiran kepada kita semua, selaku pembaca. Hampir pasti di antara inspirasi dan pemikiran itu, ada yang dapat menjadi referensi bagi kita di dalam mensikapi pelbagai dinamika dan labirin kehidupan ini.
#Mataram, 6 Februari 2015.
SEKAPUR SIRIH BUKU ANTOLOGI PUISI KARYA MABRULLAH (PENYAIR MUDA SASAK)
Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum
on
Januari 02, 2018
Rating:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar