SEKELUMIT TENTANG KARYA "LASKAR PELANGI"

 
Novel Laskar Pelangi memang fenomenal. Novel yang merupakan novel pertama dari tetralogi karya Andrea Hirata menjadi buah bibir di mana-mana. Hampir semua orang yang pernah membaca novel ini, lebih-lebih setelah menonton filmnya, menjadi keranjingan untuk membaca cerita demi cerita pada kelanjutan novel tersebut. Dan yang menarik adalah novel ini tercipta sebagai buah memoar dari si penulis sendiri. Dengan kata lain, karya itu adalah potret pengalaman hidup penulisnya sendiri yang hidup sebagai salah seorang anak Belitong.

Novel beserta filmnya memang benar-benar inspiratif dan evokatif bagi segenap pembaca (baca: masyarakat) di Indonesia. Mereka khususnya masyarakat kota dan kelas menengah ke atas tidak jarang yang terbelalak dan paham betapa kehidupan mereka jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh, anak-anak Laskar Pelangi dalam novel itu.

Di sisi lain, mereka pun tidak sedikit yang merasa geram terhadap pemerintah yang sejauh ini mendengung-dengungkan keberhasilan pembangunan mereka terutama di sektor pendidikan, ternyata pembangunan yang mereka agungkan itu masih jauh dari target atau sasaran yang sebenarnya. Betapa tidak. Sejumlah anak kelas bawah, golongan masyarakat miskin, yang nota bene mempunyai potensi yang tidak kalah dari anak kaum berada harus berjuang hidup mati demi mencicipi dan mengenyam banyu pendidikan di bangku formal. Kendatipun secara ekonomi mereka kurang, tetapi tekad dan potensi intelejensi patut diacungkan jempol. Misalnya, Lintang dengan otak yang superjeniusnya harus menngarungi perjalanan berkilo-kilo setiap hari demi mendapat pelajaran di bangku sekolah dasar Muhammadyah.

Terlepas dari nilai moral dan edukasional yang ditawarkan kepada pembaca Indonesia, dilihat dari sudut pandang bentuk dan penceritaannya karya Laskar Pelangi berikut dengan karya-karya lanjutannya sama sekali tidak menawarkan apa-apa. Biasa-biasa saja. Tidak ada hal baru dari emplotment. Artinya, karya ini tidak memberi terobosan baru jika dibandingkan anegan karya-karya Para Priyayi milik Umar Kayam ataupun Saman karya Ayu Utami pada eranya masing-masing. Bahkan pada karya-karya Sang Pemimpi, Edensor, bahkan boleh jadi Mariyamah Karpov (karena belum dirilis sejauh ini) Andrea Hirata cenderung mengulang-ulang fakta-fakta literer yang sudah disebutkan pada akhir cerita Laskar Pelangi. Dengan kata lain, terkesan sekali penulis sangat kehilangan ide dalam membangun pernik-pernik ceritanya, kalau tidak bisa dikatakan Andrea Hirata sendiri adalah seorang yang cenderung narsisis (mohon ampun, semoga saya keliru menilai orang). Ialah si penulis berkali-kali menceritakan apa dan bagaimana dia memperoleh beasiswa untuk S2 di Paris, misalnya. Singkatnya, novel ini memegang nilai kualitas pada sajian ceritanya yang inspiratif itu saja. Tapi, pada posisi ini saja keberadaan sebuah karya untuk menjadi karya sastra yang adiluhung sudah benar-benar bisa dicapai kalaupun toh masih belum mampu mencapai tataran bangunan suspensi yang menggelitik dalam emosi dan mengundang rasa penasaran pembacanya.

Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip

Yogyakarta, sekitar tahun 2012 silam
SEKELUMIT TENTANG KARYA "LASKAR PELANGI" SEKELUMIT TENTANG KARYA "LASKAR PELANGI" Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Januari 08, 2018 Rating: 5

Post Comments

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.