MAKNA ‘LOMBOK’ DALAM REPRESENTASI KARAKTER ORANG SASAK

Lombok identik dengan Sasak. Kedua istilah ini tidak dapat dipisahkan dan saling bergantung satu dengan yang lain. Hal ini tidak hanya dikarenakan keduanya bersumber dari satu untaian penamaan yang berbunyi “Lombok Mirah Sasak Adi” yang disebut oleh Mpu Prapanca di dalam kitabnya. Akan tetapi, yang lebih esensial, dikarenakan keduanya berposisi sebagai identitas yang ‘saling menerangkan’ bagi keduanya, yang ujung-ujungnya menyaran pada fitur eksistensi salah satu suku bangsa di Indonesia. Kata ‘Lombok’ bagi Sasak mengacu pada lokus atau latar eksistensinya. Sementara itu, kata “Sasak” bagi Lombok mengacu pada kelompok manusia yang menghuni pulau tersebut yang mempunyai karakter, budaya, dan peradaban yang khas. Akibat hadirnya ‘Sasak’ ini, pulau Lombok berbeda dengan pulau-pulau lainnya. Terlebih, menurut sejumlah sumber, Sasak ternyata identik dengan Islam. Karena itu, pulau Lombok kemudian identik dengan sebutan sebagai “Pulau Seribu Masjid”.

Ada hal yang menarik untuk diperhatikan lebih jauh ketika berbicara soal istilah ‘Lombok’ terkait dengan keberadaannya sebagai penanda (signifier) karakter orang Sasak. Seperti sudah diketahui umum bahwa arti ‘Lombok’ itu adalah ‘lurus’ atau ‘jujur’. Makna tersebut sejauh ini cenderung dititikberatkan pada nilai dan akurasi kebenaran maksud yang dikatakan dan disikapkan oleh orang Sasak. Dengan kata lain, kandungan kata ‘jujur’ itu adalah bahwa orang Sasak itu tidak suka berbohong atau menyampaikan hal-hal yang tidak benar. Sikap orang Sasak seperti ini merupakan representasi dari sikap ‘tindih’, ‘ilaq’ dan bahkan ‘merang’ yang senantiasa diarifkan oleh leluhurnya. Apabila diketahui berbohong, misalnya, seseorang akan dianggap sebagai orang yang tidak berintegritas dan sulit lagi dipercaya, serta karenanya peran dan statusnya otomatis mengalami penurunan (susut) secara sosiokultural.

Pemaknaan istilah ‘Lombok’ seperti dipaparkan di atas tampaknya, dalam pandangan saya, perlu diperluas lagi. Apabila ditelisik secara mendalam, pemaknaan di atas hanya berkutat pada nilai dan akurasi kebenaran pesan yang disampaikan. Pemaknaan tersebut masih belum menyentuh bagaimana prosesi komunikatif dan sikap orang Sasak. Padahal, konsep yang terakhir ini berposisi penting di dalam menguatkan pemaknaan yang pertama selain mampu mengungkap budaya orang Sasak secara lebih holistis, sebagaimana yang tercermin pada tataran sosialnya. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran J.J. Gumperz (1982) yang menyatakan bahwa ekspresi kebahasaan dapat menjadi titik tolak identitas etnisitas, sehingga menjadi ‘pintu’ untuk mengetahui budaya yang terkandung di balik ekspresi kebahasaan itu.

Konkritnya, ‘Lombok’ sebagai leksikon Sasak yang dibaca /lomboq/ mencerminkan baik makna kultur maupun sikap berbahasa etnis Sasak. Makna ‘Lombok’ tidak hanya berarti ‘jujur’ atau ‘lurus’ saja dalam tataran kultural. Namun, ia juga mengacu pada bagaimana sikap atau cara berkomunikasi verbal orang Sasak. Yaitu, orang Sasak lebih suka berbicara terbuka, blak-blakan, dan apa-adanya. Apa yang ada di hatinya biasanya langsung diucapkan secara terus-terang. Terus-terang berarti tanpa pretensi menyembunyikan atau mengaburkan maksud. Akibatnya, orang yang menjadi lawan wicaranya dapat dengan mudah memahami maksud dan tujuan sebenarnya. Dengan kondisi ini, orang Sasak itu cenderung berkarakter “what you see is what you get” (apa yang kau lihat itulah yang kau dapat). Dia tidak berbelit-belit dan bertele-tele, melainkan menggunakan ekspresi yang efektif dan efisien.

Bahasa yang jujur adalah bahasa yang mampu mencerminkan secara jernih isi hati dan perasaan seseorang. Akan tetapi, indikator hadirnya kejujuran itu apabila diperlihatkan dengan sikap dan bahasa keterbukaan atau keterusterangan. Bahasa yang demikian itu tercermin dari pilihan kata, irama bahasa, dan tingkat suara. Kesemuanya ini berpadu dalam komunikasi bersamaan dengan ekspresi kesungguhan. Dalam konteks ini, kecenderungan orang Sasak agak sulit mencari pilihan kata yang sedikit kompleks atau metaforis ketika dia menyampaikan suatu hal, terlebih apabila itu sudah masuk tataran emosional. Dia akan cenderung mengungkapkan dengan bahasa yang lugas dan apa adanya seperti yang dia pikirkan atau rasakan saat itu. Misalnya, ketika marah, ekspresi kemarahannya akan langsung terlihat dari ujaran dan tingkat suaranya yang meninggi. Tidak hanya itu, gerak tubuh dan ekspresi lainnya pun mendukung akan ekspresi verbalnya itu. Dengan demikian, kita tidak hanya menerima pesan jujur seperti yang di dalam hati dan pikirannya saja, tetapi kita juga dapat memperoleh penegasan kejujuran tersebut dari bahasa dan sikap yang ditunjukkannya.

Sikap berbahasa yang terus terang dan terbuka ini tidak serta-merta muncul dengan seketika seperti yang berkembang di masyarakat Sasak dewasa ini. Sikap ini, dalam pandangan saya, sudah menjadi ciri khasnya sejak dahulu kala. Proposisi ini didasarkan pada natifitas kehadiran penduduk di pulau ini. Orang Sasak leluhurnya adalah pendatang dari Jawa, Makassar, Banjar, Bugis, dan Melayu yang kemudian berdomisili di pulau Lombok disebabkan oleh berbagai motif sebagai push factor-nya. Dalam pandangan teoretis, masyarakat yang (sering) melakukan migrasi adalah yang umumnya berada di daerah garis luar, bukan yang ada di daerah pedalaman. Karakter mereka yang berada di daerah ini cenderung memiliki sikap terbuka dan terus-terang. Contoh nyata terhadap karakter ini adalah ketika melihat kekhasan masyarakat Jawa yang ada di Solo atau Yogyakarta (kelompok pertama) dengan mereka yang berada di Jawa Timur atau wilayah-wilayah luar/pinggiran pulau Jawa (kelompok kedua). Masyarakat Jawa pada kelompok yang pertama cenderung bersikap dan berbicara halus, lembut, dan tertutup, sementara masyarakat Jawa yang berada pada kelompok kedua cenderung terbuka, sedikit kasar dan blak-blakan dalam berbahasa.

Dalam konteks ini, kelompok masyarakat yang datang ke Lombok adalah yang umumnya berada di daerah luar sehingga, akibatnya, karakter bawaannya adalah bersikap dan berbicara terbuka, blak-blakan, dan terus-terang. Orang Sasak yang seperti ini secara sosiologis dapat dilihat di daerah rural (pedesaan) atau masyarakat ‘mekanik’, meminjam istilah Emile Durkheim (dalam Coser, 1971), yang masih terikat kuat secara emosional. Dan memang keberadaan orang Sasak yang asli sebagian besar berada di daerah itu, terbukti paling tidak dengan konsistensi penggunaan bahasa Sasak sebagai media komunikasi kesehariannya. Dengan fakta ini, ketika berbicara, mereka tidak begitu memperhatikan unggah-ungguh yang rumit tetapi cenderung menyampaikan pesannya dengan secara terbuka. Ketika bersikap pun mereka lebih menonjolkan hal yang bersifat apa adanya, praktis, dan bersahaja. Sikap ini semakin menguatkan betapa hadirnya kelurusan atau keterbukaan dalam berbicara tersebut. Dengan demikian, sikap dan gaya berbicara yang terbuka dan terus-terang ini semakin memperjelas makna dan signifikansi ‘Lombok’ yang menjadi representasi karakter dan kearifan lokal yang dimiliki orang Sasak. Lombok itu, intinya, tidak hanya jujur dan lurus dalam arti akurasi maksud pembicaraan, tetapi terbuka dan terus-terang dalam konteks proses komunikatif saat penyampaian maksud tersebut. Seperti itulah konsep ‘Lombok’ orang Sasak yang sebenarnya.

Ditulis oleh: Dr. H. Nuriadi Sayip
MAKNA ‘LOMBOK’ DALAM REPRESENTASI KARAKTER ORANG SASAK MAKNA ‘LOMBOK’ DALAM REPRESENTASI KARAKTER ORANG SASAK Reviewed by Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip S.S., M.Hum on Desember 08, 2017 Rating: 5

Post Comments

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.